STRATEGI PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA
Oleh : Hj. Awaliatun Nikmah, S.Ag
( Hakim PA Kajen-Kabupaten Pekalongan )
I.
PENDAHULUAN
¨bÎ)
©!$#
öNä.ããBù't
br&
(#rxsè?
ÏM»uZ»tBF{$#
#n<Î)
$ygÎ=÷dr&
#sÎ)ur
OçFôJs3ym
tû÷üt/
Ĩ$¨Z9$#
br&
(#qßJä3øtrB
ÉAôyèø9$$Î/
4
¨bÎ)
©!$#
$KÏèÏR
/ä3ÝàÏèt
ÿ¾ÏmÎ/
3
¨bÎ)
©!$#
tb%x.
$JèÏÿx
#ZÅÁt/
ÇÎÑÈ
“ Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
mendengar lagi Maha melihat”[1]( Q.S
An-Nisa 58)
Firman Allah SWT di atas menjelaskan bahwa perintah berbuat adil adalah
salah satu action untuk menegakkan hukum, lalu apakah hukum itu sesungguhnya ?.
Hukum adalah seperangkat
aturan kehidupan berbangsa dan bernegara. Hukum tidak begitu saja muncul, tapi
tentunya melalui proses penciptaan oleh para pembuat hukum. Dalam Agama Islam
hukum dibuat oleh para mujtahid dengan mengacu pada Al Qur’an da Hadits.
Sedangkan pembuatan hukum positif di Indonesia baik itu hukum perdata, pidana,
hukum administrasi negara dan yang lainnya dibuat oleh Pemerintah ( eksekutif )
bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat ( legislatif ).[2]
Salah satu fungsi hukum adalah alat penyelesaian
sengketa atau konflik, disamping fungsi yang lain sebagai alat pengendalian
sosial dan alat rekayasa sosial . Pembicaraan tentang hukum barulah dimulai
jika terjadi suatu konflik antara dua pihak yang kemudian diselesaikan dengan
bantuan pihak ketiga. Dalam hal ini munculnya hukum berkaitan dengan suatu
bentuk penyelesaian konflik yang bersifat netral dan tidak memihak.
“Dewasa
ini sedang berkembang suatu pandangan bahwa hukum mempunyai fungsi kritis,
yaitu daya kerja hukum tidak semata-mata melakukan pengawasan pada aparatur
pemerintah (petugas) saja melainkan aparatur penegak hukum termasuk
didalamnya”.[3]
Pelaksanaan hukum di
Indonesia sering dilihat dalam kacamata yang berbeda oleh masyarakat. Hukum
sebagai dewa penolong bagi mereka yang diuntungkan, dan hukum sebagai hantu
bagi mereka yang dirugikan. Hukum yang seharusnya bersifat netral bagi setiap
pencari keadilan atau bagi setiap pihak yang sedang mengalami konflik,
seringkali bersifat diskriminatif, memihak kepada yang kuat dan berkuasa.
Penegakan
hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku
dalam lalulintas atau
hubungan – hubungan hukum dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.[4]
Penegakan hukum (Law
Enforcement) adalah suatu rangkaian kegiatan dalam rangka usaha
pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum baik yang bersifat penindakan maupun
pencegahan yang mencakup seluruh kegiatan baik teknis maupun administratif yang
dilaksanakan oleh aparat penegak hukum sehingga dapat melahirkan suasana aman,
damai dan tertib untuk mendapatkan kepastian hukum dalam masyarakat, dalam
rangka menciptakan kondisi agar pembangunan disegala sektor itu dapat
dilaksanakan oleh pemerintah.
Penegakan
hukum (law enforcement), merupakan suatu istilah yang mempunyai
keragaman dalam difinisi. Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum diartikan
sebagai suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum, yaitu
pikiran-pikiran dari badanbadan pembuat undang-undang yang dirumuskan dan
ditetapkan dalam peraturan-peraturan hukum yang kemudian menjadi kenyataan.[5]
Dalam
pelaksanaan penegakan hukum, keadilan harus diperhatikan, namun hukum itu tidak
identik dengan keadilan, hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang,
bersifat menyamaratakan. Setiap orang yang mencuri harus dihukum tanpa
membeda-bedakan siapa yang mencuri. Sebaliknya keadilan bersifat subjektif,
individualistis dan tidak menyamaratakan.[6]
Ditinjau dari
segi subyeknya, penegakan
hukum itu dapat
dilakukan oleh subyek yang
luas, yakni upaya
penegakan hukum yang
melibatkan semua subyek hukum dalam
setiap hubungan hukum. Siapa
saja yang menjalankan aturan normatif dengan melakukan
sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu dengan
mendasarkan diri pada
norma aturan hukum
yang berlaku, berarti dia telah
menjalankan atau menegakkan aturan hukum.
Sedangkan dari segi subyeknya
dalam pengertian yang sempit adalah bahwa penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya yang
dilakukan oleh aparatur penegak
hukum tertentu untuk menjamin dan
memastikan tegaknya hukum itu, dan
apabila diperlukan, maka aparatur penegak hukum
itu diperkenankan untuk menggunakan
daya paksa.
Sedangkan pengertian penegakan hukum apabila dilihat dari sudut obyeknya
atau dari segi
hukumnya, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam
arti luas, penegakan hukum itu mencakup
pada aspek nilai nilai keadilan yang terkandung di dalam bunyi aturan
formal maupun nilai – nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi
dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang
formal dan tertulis saja. Karena itu ,
penerjemahan perkataan “Law
enforcement” ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan “penegakan hukum”
dapat diartikan dalam arti yang luas maupun dalam pengertian sempit.
Sedangkan dalam istilah “the rule
of law and not of
man”, dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu
Negara hukum modern itu dilakukan
oleh hukum, bukan oleh orang.
Istilah sebaliknya adalah “the rule by law” yang dimaksudkan sebagai
pemerintahan oleh orang
yang menggunakan hukum sekedar
sebagai alat kekuasaan belaka.[7]
Namun demikian, antara hukum dan
kekuasaan terdapat hubungan yang erat.[8] Diperlukannya
kekuatan (force) sebagai pendukung serta pelindung bagi sistem aturan-aturan
hukum untuk kepentingan penegakannya, berarti bahwa hukum pada akhirnya harus
didukung serta dilindungi oleh sesuatu unsur yang bukan hukum , yaitu oleh
kekuasaan.[9]
Idealnya
memang hukum dan kekuasaan itu paling tidak harus saling mendukung, dalam arti hukum
harus ditegakkan dengan kekuasaan agar daya paksanya bisa efektif. Sebaliknya
kekuasaan dijalankan di atas prinsip-prinsip hukum agar tidak sewenang-wenang.[10]
Ada beberapa lembaga Negara yang
berkepentingan dengan penegakan hukum dan
keadilan di Indonesia, di antaranya Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung
(MA), Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Kejaksaan, Komisi Yudisial, Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan
sebagainya.
Lembaga-lembaga hukum tersebut
mengemban tugas untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum. Tujuan tersebut sering
dirumuskan sebagai menciptakan tata tertib di dalam masyarakat. Dengan
demikian, maka apa yang disebut sebagai lembaga itu adalah pengorganisasian kegiatan-kegiatan
untuk mencapai tujuan-tujuan hukum tersebut.
Pengadilan merupakan salah satu organisasi yang mengemban tugas
sedemikian itu.[11]
Menurut Paulus E. Lotulung dalam sebuah
makalahnya yang berjudul “Kebebasan
Hakim Dalam Sistim Penegakan Hukum “ yang disampaikan pada Seminar Pembangunan
Hukum Nasional VIII di Denpasar, Bali, tanggal 14 Juli 2003 bahwa apabila kita
berbicara tentang Negara Hukum, maka independensi Kekuasaan Kehakiman merupakan
salah satu pilar yang pokok, karena apabila komponen tersebut tidak ada, maka kita tidak bisa
berbicara lagi tentang Negara Hukum.[12] Untuk
itu, independensi Kekuasaan Kehakiman menjadi sangat penting dalam rangka upaya
penegakan hukum di Indonesia sebagai satu Negara Hukum untuk mencapai
kebahagiaan rakyat dan bangsa ini. Karena tujuan akhir bernegara hukum adalah untuk menjadikan kehidupan
rakyat dan bangsa ini bahagia.[13]
Menurut Ketua Mahkamah Agung, Harifin
A Tumpa sebagaimana disampaikan dalam pembukaan Rakernas IKAHI tanggal 18
September 2011 di Jakarta yang lalu bahwa
independensi hakim saat ini sedang mengalami ujian. Menurut beliau, bahwa ada ancaman terhadap independensi hakim.
Banyak pihak yang mencoba menghalangi independensi hakim dalam memutus suatu
perkara. Padahal, independensi hakim merupakan hak pencari keadilan, bukan
semata-mata milik hakim .[14]
Strategi dapat berarti ; a) Ilmu dan
seni menggunakan sumber daya bangsa untuk melaksanakan kebijaksanaan tertentu
dalam perang dan damai; b) Ilmu dan seni memimpin bala tentara untuk menghadapi
musuh dalam perang, dalam kondisi yang menguntungkan ; sebagai komandan ia
memang menguasai betul Strategi seorang Perwira di medan perang; c) Rencana
yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus; d) Tempat yang
baik menurut siasat perang.
II.
PERMASALAHAN
Permasalahan hukum di Indonesia terjadi karena
beberapa hal, baik dari sistem peradilannya, perangkat hukumnya, inkonsistensi
penegakan hukum, intervensi kekuasaan, maupun perlindungan hukum . Diantara
banyaknya permasalahan tersebut, satu hal yang sering dilihat dan dirasakan
oleh masyarakat awam adalah bagaimana konsep strategis
penegakan hukum di Indonesia yang mampu meningkatkan keselamatan dan kepatuhan
hukum.
Inkonsistensi penegakan hukum ini
berlangsung dari hari ke hari, baik dalam peristiwa yang berskala kecil maupun
besar. Peristiwa kecil bisa terjadi pada saat berkendaraan di jalan raya.
Masyarakat dapat melihat bagaimana suatu peraturan lalu lintas (misalnya aturan
three-in-one di beberapa ruas jalan di Jakarta) tidak berlaku bagi
anggota TNI dan POLRI. Polisi yang bertugas membiarkan begitu saja mobil dinas
TNI yang melintas meski mobil tersebut berpenumpang kurang dari tiga orang dan
kadang malah disertai pemberian hormat apabila kebetulan penumpangnya berpangkat
lebih tinggi.
Contoh kasus yang menjadi bacaan umum sehari-hari adalah : koruptor kelas
kakap dibebaskan dari dakwaan karena kurangnya bukti, sementara kasus mbok
Minah yang hanya mencuri 3 ( tiga ) buah biji kakau dijatuhi hukuman kurungan
1.5 bulan penjara karena adanya bukti nyata, bahkan yang belum lama ini menuai
keras reaksi publik serta Ketua Komisi Nasional Perlindungan
Anak (Komnas PA) Sulawesi Tengah Sofyan Farid Lembah, berharap hakim segera
menghentikan kasus AAL ( siswa SMK usia 15 tahun ) di Palu
Sulawesi Tengah, yang diduga mencuri sandal jepit milik
polisi berpangkat Briptu ( inisial AR ), yang saat ini sedang menunggu vonis hakim dan terancam dihukum 5 tahun
penjara. apakah hukum disini sudah memenuhi rasa keadilan masyarakat
?
Lalu untuk menyikapi dan menyelesaikan berbagai
masalah tersebut langkah-langkah/strategi apa yang harus ditempuh agar
Penegakan Hukum di Indonesia benar-benar dijalankan sesuai dengan harapan
Undang-Undang dan masyarakat Indonesia pada umumnya .
III. PEMBAHASAN
Dalam rangka menuju strategi pembangunan hukum responsif progresif, Garuda
Nusantara mengusulkan perbaikan situasi hukum saat ini dengan cara :[15]
1. Penciptaan kondisi sosial memungkinkan
pertumbuhan sejati kelompokkelompok kolektif masyarakat lapisan bawah
memperjuangkan hak-hak dan kepentingan mereka;
2. Memperbesar akses masyarakat, khususnya
masyarakat lapisan bawah ke lembaga-lembaga pengadilan. Bersamaan dengan cara
itu, pemerintah dan Mahkamah Agung
berkewajiban pula menciptakan
kondisi-kondisi yang mendorong para hakim mampu berpikir secara bebas dalam
menghadapi kasus-kasus startegis yang diajukan
kehadapannya. Dengan cara itu para hakim akan memiliki keberanian untuk
menghasilkan jurisprudensi jurisprudensi progresif yang benar-benar tanggap terhadap
tuntutan kebutuhan masyarakat luas, khususnya tuntutan-tuntutan kebutuhan
masyarakat lapisan bawah.
3. Organisasi-organisasi sosial non
pemerintah yang selama ini bergerak di bidang penyadaran masyarakat dan atau bantuan hukum, seperti : LBH, lembaga
konsumen, KSBH, kelompok-kelompok penyadar kelestarian lingkungan dan kelompok
sejenis harus pula terus meningkatkan peranannya untuk menyadarkan hak-hak
masyarakat lapisan bawah; bersamaan dengan itu merencanakan program-program
litigasi baru yang diarahkan untuk mernagsang timbulnya
jurisprudensi-jurisprudensi baru yang responsif- progresif.
4. Perlu dibentuk “lembaga arbitrase” yang
menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda antara kelompok-kelompok
masyarakat dan lembaga birokrasi pemerintah; lembaga itu harus mempunyai
kewenanan menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan kelompok-kelompok
masyarakat tertentu. Lembaga seperti ini diperlukan dengan rencana penggunaan
tanah-tanah rakyat untuk kepentingan umum, masalah pengelolaan hutan dan sumber
daya alam lainnya.
5. Pemerintah dan DPR harus mempercepat
proses perundang-undangan peradilan tata usaha negara (lembaga ini sudah
dibentuk berdasarkan UU NO.5 Tahun 1986).
6. Pemerintah dan pihak swasta atau kelompok-kelompok sosial harus mulai mengadakan
suatu proyek penelitian untuk
mempelajari, menganalisis dan memberikan catatan-catatan atas putusan-putusan
hakim menyangkut kasus strategi yang menyangkut kepentingan mayoritas rakyat.
Muladi[16]
menyebutkan bahwa penegakan hukum pasca reformasi diwujudkan melalui
perlindungan hukum terhadap hak-hak sipil, selain upaya mengembalikan fungsi
hukum sesuai tatanan nilai-nilai
demokrasi seperti keterbukaan, tanggung jawab, kebebasan, dan keadilan. Untuk
mencapai hal tersebut, Indonesia memerlukan kondisi-kondisi awal yang
menunjukkan bahwa proses penegakkan hukum tersebut dilaksanakan. Kondisi awal
itu antara lain meliputi keberadaan pemerintahan yang terbuka, bertanggung
jawab, dan responsif. Ini artinya
pemerintahan tersebut harus membuka peluang seluas-luasnya bagi keterbukaan
informasi, persamaan hukum, keadilan, kepastian hukum, dan peran serta
masyarakat.
Adanya beberapa permasalahan hukum di Indonesia yang
begitu komplek tersebut perlu ada strategi bagaimana caranya agar Hukum di Bumi
Indonesia bisa ditegakkan, menurut
pendapat penulis ada beberapa strategi yang
sangat efektif sebagai berikut :
A.
Lembaga Kekuasaan Kehakiman dan Lembaga Penegak Hukum di Indonesia harus
Independen
Menurut Lawrence Friedman, unsur-unsur sistem hukum
itu terdiri dari struktur hukum (legal
structure), substansi hukum (legal
substance) dan budaya hukum (legal
culture).[17]
Struktur hukum meliputi badan eksekutif, legislatif
dan yudikatif serta lembaga-lembaga terkait, seperti Kejaksaan, Kepolisian,
Pengadilan, Komisi Judisial, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lain-lain.
Sedangkan substansi hukum adalah mengenai norma,
peraturan maupun undang-undang.
Budaya hukum adalah meliputi pandangan, kebiasaan
maupun perilaku dari masyarakat mengenai pemikiran nilai-nilai dan pengharapan
dari sistim hukum yang berlaku, dengan perkataan lain, budaya hukum itu adalah
iklim dari pemikiran sosial tentang bagaimana hukum itu diaplikasikan,
dilanggar atau dilaksanakan.
Tanpa budaya hukum sistem hukum itu sendiri tidak akan
berdaya, seperti ikan mati yang terkapar di keranjang, bukan seperti ikan hidup
yang berenang di lautnya (without legal
culture, the legal system is inert, a dead fish lying in a basket, not a living
fish swimming in its sea).[18] Setiap masyarakat, negara dan komunitas mempunyai budaya
hukum. Selalu ada sikap dan pendapat mengenai hukum. Hal ini tidak berarti
bahwa setiap orang dalam satu komunitas memberikan pemikiran yang sama.
Dalam
Pasal 1 angka 1 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya
Negara Hukum Republik Indonesia.
Selanjutnya
dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD
R.I. tahun 1945 disebutkan bahwa Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Kemudian dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 ditentukan ada badan-badan lain yang
fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman dan diatur dengan undang-undang.
Adapun
lembaga-lembaga yang berkepentingan dengan penegakan hukum dan keadilan di Indonesia adalah Mahkamah
Agung, Kejaksaan, Kepolisian, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia ( Komnas HAM ) dan yang lainnya.
Oleh
karena itu, penulis ingin mengetengahkan beberapa ketentuan peraturan
perundang-undangan yang menjelaskan tentang kemandirian atau independensi
beberapa lembaga penegakan hukum tersebut.
1. Mahkamah Agung (MA)
Dalam
Pasal 1 UU RI Nomor 14 tahun 1985
tentang Mahkamah Agung yang kemudian diubah
dan ditambah dengan UU RI Nomor 5 tahun
2004 yang kemudian diubah dan ditambah
lagi yang kedua dengan UU RI Nomor 3
Tahun 2009 disebutkan bahwa Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945.
Selanjutnya tugas dan
wewenang Mahkamah Agung sebagaimana bunyi Pasal 24 A ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara R.I. disebutkan bahwa Mahkamah Agung berwenang untuk :
-
mengadili pada tingkat kasasi,
- menguji peraturan perundang-undangan di bawah
undang- undang terhadap undang-undang,
-
kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
Selanjutnya dalam pasal
2 UU Nomor 14 tahun 1985 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan
Undang-Undang Negara R.I. Nomor 5 tahun 2004 dan terakhir telah diubah dan
ditambah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009 diatur tentang independensi Mahkamah
Agung yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut :
“
Mahkamah Agung adalah Lembaga Tinggi Negara dari semua Lingkungan Peradilan,
yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan
pengaruh-pengaruh lain.”
2. Kejaksaan
Kejaksaan
Republik Indonesia atau Kejaksaan adalah
lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan
serta kewenangan lain berdasarkan
undang-undang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) UU RI Nomor 16
tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Selanjutnya
dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tersebut disebutkan
bahwa “Kekuasaan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara
merdeka”.
Dalam
penjelasan umum angka 1 UU RI Nomor 16 Tahun 2004 tersebut dijelaskan
bahwa Kejaksaan sebagai lembaga
pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan ditegaskan
kekuasaan Negara tersebut dilaksanakan secara merdeka. Oleh karena itu,
Kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari
pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lainnya. Selanjutnya ditentukan
Jaksa Agung bertanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara
independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani. Dengan demikian
Jaksa Agung selaku pimpinan Kejaksaan
dapat sepenuhnya merumuskan dan mengendalikan arah dan kebijakan
penanganan perkara untuk keberhasilan penuntutan.
3.
Kepolisian
Dalam Pasal 1 angka (1) UU RI Nomor 2 tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang
berkaitan dengan fungsi dan
lembaga polisi sesuai dengan
peraturan perundang - undangan.
Sedangkan dalam Pasal 8
ayat (1) UU RI Nomor 2 tahun 2002 tersebut disebutkan bahwa kedudukan
Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden.
Pada
awal era reformasi, salah satu tuntutan yang mencuat dan segera direspon oleh
Pemerintah adalah pemisahan Polri dan ABRI. Melalui Inpres Nomor : 02/1999
telah diambil langkah-langkah kebijakan pemisahan Polri dari TNI dan
penempatannya untuk sementara pada Dephankam, yang ditandai oleh suatu upacara
bersejarah pada tanggal 1 April 1999 di Mabes ABRI Cilangkap. Langkah tersebut telah ditindak lanjuti
dengan berbagai kebijakan Menhankam/Panglima TNI yang menyerahkan wewenang
pembinaan dan operasional Polri dari Pangab kepada Menhankam dan Kapolri.[19]
Secara
universal, tugas pokok lembaga kepolisian mencakup dua hal, yaitu pemeliharaan keamanan dan ketertiban (peace and order maintenance) dan penegakan
hukum (law enforcement).[20] Dalam
perkembangannya, tanggung jawab “pemeliharaan” dipandang pasif, sehingga tidak
mampu menanggulangi kejahatan. Polisi kemudian dituntut untuk secara proaktif
melakukan “pembinaan”, sehingga tidak hanya “menjaga” agar kamtib terpelihara,
tetapi juga menumbuhkan kesadaran masyarakat, menggugah dan mengajak peran
serta masyarakat dalam upaya pemeliharaan keamanan dan ketertiban, dan bahkan
ikut memecahkan masalah-masalah sosial yang menjadi sumber kejahatan.
Tugas-tugas ini dipersembahkan oleh polisi untuk membantu (to support)
masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya akan rasa aman, sehingga memungkinkan
tercapainya kesejahteraan.[21]
4.
Mahkamah Konstitusi (MK)
Dalam
pasal 24 ayat (1) dan (2) UUD 1945 dijelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku
Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada
di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Dan pula
ditegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.
Dalam penjelasan umum Undang-Undang RI Nomor 24
tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dijelaskan bahwa sejalan dengan prinsip
ketatanegaraan di atas, maka salah satu substansi penting perubahan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 adalah keberadaan Mahkamah
Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di
bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara
bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya
pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman
kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda
terhadap konstitusi.
Berdasarkan pasal 24 C
ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara R.I. tahun 1945, Mahkamah
Konstitusi mempunyai kewenangan untuk :
- Menguji
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara R.I tahun 1945.
- Memutus
sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenanganya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara R.I. tahun 1945.
- Memutus
pembubaran partai politik.
- Memutus
perselisihan hasil pemilihan umum, dan
- Memberikan
putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara R.I. tahun 1945.
Indepedensi Mahkamah
Konstitusi disebutkan dalam pasal 2 Undang-Undang R.I. Nomor 24 tahun 2003
sebagai berikut :
“
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan
kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan “.
5.
Komisi Yudisial
Komisi
Yudisial sebenarnya bukan merupakan lembaga pelaksana Kekuasaan Kehakiman, akan
tetapi Komisi Yudisial adalah lembaga Pengawas Kekuasaan Kehakiman, lembaga ini
bersifat penunjang ( auxiliary ) namun demikian lembaga ini ikut berperan besar
dalam rangka menegakkan kehakiman di Indonesia.
Dalam
ketentuan Pasal 1 angka (1) UU R.I. Nomor 22 tahun 2004 yang kemudian telah diubah dan ditambah
dengan UU RI Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial disebutkan bahwa Komisi Yudisial adalah lembaga Negara
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945.
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada
di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Ditegaskan pula
bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.
Sejalan
dengan prinsip ketatanegaraan di atas, salah satu substansi penting perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 adalah adanya Komisi
Yudisial. Komisi Yudisial tersebut merupakan lembaga Negara yang bersifat
mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim.
Pasal
24 B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 memberikan
landasan hukum yang kuat bagi reformasi bidang hukum, yakni dengan memberikan
kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk mewujudkan checks and balances, walaupun Komisi Yudisial
bukan pelaku kekuasaan kehakiman namun fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman.
6. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ( Komnas
HAM )
Dalam Pasal 1 angka (7) UU R.I. Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia disebutkan bahwa Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia yang selanjutnya
disebut Komnas HAM adalah lembaga mandiri yang berkedudukan setingkat dalam
negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyaluran,
pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia.
Dalam
pasal 75 Undang-Undang R.I. Nomor 39 tahun 1999 disebutkan bahwa Komnas HAM
bertujuan :
- mengembangkan kondisi yang kondusif bagi
pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar
1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia; dan
- meningkatkan perlindungan dan penegakan hak
asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan
kemampuannya dalam berbagai bidang kehidupan.
Kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan bebas dari campur tangan
pihak-pihak di luar kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan peradilan demi
terselenggaranya negara hukum.[22] Oleh
karenanya dalam Pasal 3 ayat (2) UU Nomor 48 Tahun 2009 ditentukan bahwa segala
campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan
kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Kekuasaan
kehakiman telah memasuki babak baru ketika sistem peradilan satu atap (one roof system) sejak tanggal 31 Maret 2004
mulai dilaksanakan. Kini Mahkamah Agung tidak hanya mengurusi pembinaan para
hakim, tetapi juga menangani organisasi, administrasi dan finansial yang
sebelumnya diatur dan di bawah kekuasaan eksekutif.[23] Perubahan
tersebut sesuai dengan tuntutan reformasi, diharapkan akan memudahkan untuk
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap para hakim dan para pejabat lainnya
yang bertugas di pengadilan, baik pada pengadilan tingkat pertama, banding,
maupun kasasi. Selama ini hal tersebut menjadi sulit dilakukan karena adanya
dualisme kendali.
Menjadi pertanyaan bagi kita sekarang apakah hakekat independensi Kekuasaan
Kehakiman itu memang harus mandiri dan merdeka dalam arti sebebas – bebasnya tanpa ada batasnya secara absolut? Menurut
Prof. Dr. Paulus E. Lotulung, S.H.[24] tidak
demikian, sebab tidak ada kekuasaan atau kewenangan di dunia ini yang tidak
tak-terbatas, atau tanpa batas, kecuali kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa di
dunia ini maupun di akhirat. Kekuasaan Kehakiman, yang dikatakan independensi
atau mandiri itu pada hakekatnya diikat dan dibatasi oleh rambu-rambu tertentu.
Batasan atau rambu -
rambu yang harus diingat
dan diperhatikan dalam implementasi
kebebasan itu adalah terutama mengenai aturan-aturan hukum itu sendiri.
Ketentuan-ketentuan hukum, baik segi prosedural maupun substansial / materiil
itu sendiri sudah merupakan batasan bagi Kekuasaan Kehakiman agar dalam
melakukan independensinya tidak melanggar hukum, dan bertindak sewenangwenang.
Selanjutnya,
harus disadari bahwa kebebasan dan independensi tersebut harus diikat pula
dengan pertanggungan-jawab atau akuntabilitas, yang kedua-duanya itu, yakni independensi dan akuntabilitas pada dasarnya
merupakan dua sisi koin mata uang yang
saling melekat. Tidak ada kebebasan mutlak tanpa tanggung jawab. Dengan
perkataan lain dapat dipahami bahwa dalam konteks kebebasan hakim (independency
of judiciary) haruslah diimbangi dengan pasangannya yaitu akuntabilitas
peradilan (Judicial accountability).[25]
Konsekuensi lebih
lanjut dari adanya akuntabilitas tersebut diatas adalah adanya pengawasan atau kontrol
terhadap kinerja badan-badan peradilan,
baik mengenai jalannya peradilan maupun termasuk perilaku para aparatnya, agar kemandirian dan
kebebasan Kekuasaan Kehakiman tidak disalah gunakan, sehingga dikawatirkan dapat menjadi " tirani Kekuasaan Kehakiman
". Banyak bentuk dan mekanisme
pengawasan yang dapat dipikirkan dan dilaksanakan, baik oleh lembaga formal
seperti oleh Mahkamah Agung sendiri (secara internal) maupun oleh Komisi
Yudisial (secara eksternal)[26] , juga
oleh lembaga informal yang salah satu bentuk kontrol atau pengawasan melalui
mass-media, termasuk pers.
Dengan
demikian, menurut Paulus E Lotulung aspek akuntabilitas, integritas dan aspek
transparansi, maupun aspek pengawasan merupakan 4 (empat) ramburambu yang
menjadi pelengkap dari diakuinya kebebasan dan independiensi Kekuasaan Kehakiman.
Dalam hubungan dengan
tugasnya sebagai hakim, maka
independensi Hakim masih harus pula dilengkapi dengan sikap impartialitas dan
profesionalisme dalam bidangnya. Oleh karenanya kebebasan Hakim sebagai penegak
hukum haruslah dikaitkan dengan :
a.
Akuntabiltas
b.
Integritas moral dan etika
c.
Transparansi
d.
Pengawasan (kontrol)
e.
Profesionalisme dan impartialitas
Tetapi sebaliknya, lanjut
Paulus E Lotulung bahwa independensi Kekuasaan Kehakiman itu juga mengandung makna
perlindungan pula bagi Hakim sebagai penegak hukum untuk bebas dari
pengaruh-pengaruh dan direktiva yang dapat berasal dari antara lain :
a. Lembaga -Iembaga di luar badan – badan
peradilan, baik eksekutif mapun legislatif, dan lain-Iain.
b. Lembaga-Iembaga internal di dalam jajaran
Kekuasaan Kehakiman sendiri.
c. Pengaruh-pengaruh pihak yang berperkara.
d. Pengaruh tekanan-tekanan masyarakat, baik
nasional maupun internasional.
e. Pengaruh-pengaruh yang bersifat "trial by
the press".[27]
B.
Pembaharuan Peraturan Perundang-undangan ( the
legislation of law atau law and rule making ),
Langkah utama dalam rangka
pembaharuan kelembagaan hukum dan peraturan perundang-undangan adalah dengan
mencabut atau menyempurnakan dan menetapkan peraturan perundang-undangan baru
yang sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Dengan demikian
diharapkan peraturan perundang-undangan yang baru atau yang telah disempurnakan
tersebut akan benar-benar dapat dijadikan pedoman atau pegangan bertindak bagi aparat penyelenggara negara dan setiap
anggota masyarakat.
Penetapan prioritas dari pencabutan, penyempurnaan, dan penetapan
peraturan perundang-undangan baru terutama ditujukan untuk mendukung supremasi hukum, pemulihan
ekonomi yang meliputi bidang perbankan, industri, dan perdagangan; serta perlindungan
HAM.
Untuk mendukung upaya terwujudnya sistem
hukum nasional yang benar-benar menjamin tegaknya supremasi hukum dan HAM
berdasarkan keadilan dan kebenaran, dengan Keppres No.15 Tahun 2000 telah
dibentuk Komisi Hukum Nasional dan Komisi Ombudsman Nasional dengan Keppres
No.44 Tahun 2000. Kedua Komisi ini merupakan salah satu upaya pemerintah untuk
membuka jalan ke arah reformasi hukum dan reformasi aparatur yang lebih
mendasar dan bertujuan menemukan gagasan dan persepektif baru untuk melakukan
perubahan lembaga-lembaga hukum yang ada.
Yang sangat urgen saat ini dan mestinya segera disahkan adalah Rancangan
Undang-Undang (RUU) pembaruan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
yang sejak sekitar tahun 1970-an sampai saat ini masih dalam pembahasan harus
segera disahkan oleh pemerintah karena permasalahan dalam penegakan hukum
banyak terganjal KUHAP.
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ) yang sampai sekarang masih
kita gunakan adalah warisan Hindia Belanda, negara yang telah menjajah kita
selama 350 tahun, yang sudah perlu diperbaharui karena sudah tidak mewakili
rasa keadilan masyarakat dan sudah tidak sesui lagi dengan kondisi masyarakat
Indonesia.
Semarang (ANTARA News) - Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
yang berlaku saat ini perlu segera diperbarui karena di dalamnya banyak
ketidakjelasan aturan.
Akibatnya dapat merugikan hak-hak tersangka, korban maupun saksi baik
selama dalam penanganan pihak kepolisian, kejaksaan hingga pengadilan, kata
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, Siti Rahma Mary Herawati, di
Semarang, Minggu.
"Pembaruan KUHAP ini juga dimaksudkan agar pelaksanaan sistem
peradilan pidana lebih sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia
dan untuk menghindari kemungkinan terjadinya penyimpangan selama proses
penegakan hukum," tambahnya. Ia menjelaskan, ada sekitar puluhan hal dalam
KUHAP yang dinilai masih rancu.[28]
Adapun yang telah terealisasi ( Pembaharuan Peraturan Perundang-undangan ) pedalam bidang ekonomi antara lain dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), telah dikeluarkan Keputusan Presiden
(Keppres) No.162/M/2000, yang menetapkan keanggotaan dari Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU). KPPU yang ditetapkan dengan
Keppres No.75 Tahun 1999, merupakan lembaga independen yang bebas dari pengaruh
pihak manapun dalam rangka menegakkan undang-undang (UU) No.5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Undang-undang ini memberikan perubahan mendasar terhadap iklim kompetisi usaha
di Indonesia. Tujuan undang-undang ini adalah untuk melindungi masyarakat dari
pelaku usaha yang curang sekaligus memberikan koridor bagi pelaku usaha untuk
bersaing secara sehat dan jujur dalam arena yang sama dan juga meningkatkan
efisiensi serta mencegah terjadinya praktik KKN dalam dunia usaha .
Sedangkan dalam rangka mendukung
perlindungan terhadap HAM telah ditetapkan UU No.1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO No.182
mengenai Pelarangan dan Tindakan segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan
(ILO Convention No. 182 Concerning the Prohibition and Immediate Action For the
Elimination of The Worst Forms of Child Labour).
C.
Peningkatan Pelayanan Hukum dan Kualitas Aparatur Hukum
Pembenahan terhadap kelembagaan hukum juga harus
didukung oleh peningkatan kualitas, kemampuan, dan kesejahteraan aparatur
penegak hukum. Pengembangan profesionalisme, berupa peningkatan keterampilan
teknis hukum, maupun pendidikan di berbagai bidang hukum, baik di dalam maupun
di luar negeri, baik yang sifatnya gelar maupun non gelar, terus dilakukan baik
kepada aparat penegak hukum pusat maupun di daerah. Selain itu, upaya
peningkatan kualitas dan integritas aparat penegak hukum juga dilakukan melalui
perbaikan sistem rekrutmen, promosi, dan sistem pengawasan.
Upaya penegakan hukum juga tidak akan tercapai
tanpa dilakukan melalui upaya penyadaran hukum yang ditujukan tidak hanya
terhadap masyarakat tetapi juga terhadap aparat penyelenggara negara. Era
reformasi yang di satu sisi bertujuan untuk menegakkan kembali supremasi hukum,
namun pada sisi lain telah semakin
meningkatkan sikap kritis dan main hakim sendiri dari masyarakat yang sangat
bertentangan dengan rasa kemanusian dan jiwa kekeluargaan masyarakat Indonesia
yang telah terbina selama ini. Kondisi tersebut pada dasarnya disebabkan karena
kepercayaan masyarakat yang sudah semakin menurun terhadap lembaga penegak
hukum sehingga tidak lagi menghormati ketentuan hukum yang berlaku. Oleh karena itu, upaya penyadaran hukum sangat penting sekali untuk
mengembalikan kepercayaan masyarakat agar kembali menghormati lembaga hukum dan
ketentuan hukum yang berlaku serta aparat penegak hukum. Di sisi lain, aparat
penegak hukum juga dituntut untuk benar-benar memberikan pelayanan, pengayoman
dan perlindungan kepada masyarakat.
Upaya pelaksanaan kegiatan penyadaran hukum kepada masyarakat maupun
aparat penyelenggara negara pada tahun 1999/2000, telah dilakukan baik secara
langsung maupun tidak langsung dilakukan melalui media cetak dan elektronik,
juga dengan membina desa untuk dijadikan desa sadar hukum serta membentuk
keluarga sadar hukum (kadarkum). Selain itu, untuk lebih memantapkan langkah
penyadaran hukum telah ditempuh koordinasi dan kerjasama antarinstansi baik di
tingkat pusat maupun di tingkat daerah dengan melibatkan masyarakat maupun
lembaga kemasyarakatan yang ada. Sejalan dengan dinamika tuntutan masyarakat,
pola penyadaran hukum juga dilakukan dengan cara menumbuhkan swakarsa dan
swadaya masyarakat. Materi yang disuluhkan juga disesuaikan dengan kebutuhan
dan kondisi masyarakat setempat.
Pendidikan dan pelatihan bagi para
aparat penegak hukum lebih diprioritaskan untuk meningkatkan kualitas kemampuan
dan keterampilan, serta membina sikap dan kepekaan para aparat penegak hukum
terhadap rasa keadilan masyarakat. Pada tahun 1999/2000 telah dilaksanakan
pelatihan dan pendidikan bagi para hakim maupun tenaga teknis di lingkungan
lembaga peradilan maupun lembaga penegak hukum lainnya, baik untuk pendidikan
penjenjangan maupun pendidikan keterampilan teknis, misalnya pelatihan bagi penyidik
pegawai negeri sipil (PPNS) dan penataran tenaga pemasyarakatan. Secara
bertahap telah dilakukan pendidikan dan pelatihan bagi calon hakim dan calon
panitera peradilan tata usaha negara.
Upaya
untuk meningkatkan penegakan hukum melalui pelayanan hukum juga terus dilakukan
oleh lembaga penegak hukum, sebagai contoh di Lingkungan Peradilan Agama, Dirjen Badilag, Wahyu Widiana juga
menyampaikan bahwa Badilag tahun 2011 menekankan tiga program unggulan yakni :
1. Peningkatan Kualitas dan Kuantitas
putusan, terutama putusan diharapkan mencapai 100 %.
2. Peningkatan dan Mengefektifitas Sitem
Informasi Administrasi Perkara Pengadilan Agama ( SIADPA ).
3. Peningkatan dan mengefektifkan
Tehnologi Informasi. Meskipun IT bukanlah pekerjaan pokok peradilan, namun
dengan IT seluruh kegiatan administrasi dan pelayanan di peradilan dapat di
percepat dan dapat meningkatkan kinerja.[29]
Masih menurut
Dirjen Badilag, Wahyu Widiana, untuk mewujudkan ketiga program tersebut perlu
diselenggarakan pelatihan-pelatihan yang akan meningkatkan capacity building
bagi SDM peradilan agama.
Tentang
peningkatan dan mengefektifkan Tehnologi Informasi, Ia menilai bahwa IT menjadi syarat bagi terwujudnya
modernitas pengadilan. Ia pun mengemukakan bahwa sesuai tema rakernas MARI
2008, pengadilan di Indonesia diarahkan menjadi pengadilan yang modern. “Meski
tidak semata-mata modernitas pengadilan itu berarti penerapan TI, tapi
kehadiran IT di pengadlan menjadi satu bagian yang tidak boleh diabaikan”,
ungkapnya[30].
Adapaun kaitannya dengan peningkatan kualitas
aparatur hukum/peradilan, di dalam Agama Islam, sebagai konsekwensinya bagi
Hakim yang tidak punya iman dan intelektual dalam memutus perkara maka
balasannya adalah neraka, sungguh betapa
urgennya peran iman dan ilmu dalam mewujudkan keadilan, sebagaimana Hadits
Riwayat Imam Empat di bawah ini :
عن
بريد ة قال : قال رسو ل الله صلى الله
عليه وسلم " القضاة ثلا ثة : اثنا ن فى النا ر وواحد فى الجنة - رجل عرف الحق
فقضى به فهو فى الجنة - و رجل عرف الحق فلم يقض به و جار فى الحكم فهو فى النار- و
رجل لم يعرف الحق فقضى للناس على جهل فهو فى النار - رواه الاربعه وصححه الحاكم.
Artinya : Dari Buraidah, ia berkata : telah bersabda
Rasulallah SAW : qadli-qadli iti ada tiga : dua orang di neraka dan seorang di
surga. Seorang tahu kebenaran dan ia beri hukum dengannya, maka ia di syurga ;
dan seorang tahu kebenaran, tetapi ia tidak menghukum dengannya, dan ia zalim
dalam menghukum, maka ia di neraka ; dan seorang tidak tahu kebenaran tetapi ia
menghukum antara manusia dengan kebodohan, maka ia di neraka[31] .
Menurut Ahmad Fauzi, bahwa persoalan utama praktik
jual beli hukum di pengadilan lebih dipengaruhi oleh dua faktor yang saling
berkelindan, yakni moral dan finansial. Ketua Mahkamah Konstitusi, Moh. Mahfud
MD, dalam seminar "Suap dan Pemerasan dalam Perspektif Moral dan Penegakan
Hukum" yang diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Universitas Islam
Indonesia, Sabtu (26/2), mengatakan bahwa aturan moral di masyarakat lebih
efektif dalam mencegah terjadinya suap dan pemerasan.
Suap bagi hakim merupakan godaan berat dalam proses
supremasi hukum dan keadilan. Kendati hakim kuat menahan godaan suap, tak
jarang anak dan keluarganya menjadi sasaran suap. Para penyuap kadangkala paham
membaca situasi, ia datang tatkala hakim atau keluarganya sedang membutuhkan
sokongan finansial. Oleh karena itu, untuk membendung godaan suap, hakim harus
membentengi diri dengan kesadaran moral dan keimanan yang kokoh. Kesadaran itu
tentunya harus ditumbuhkan dan dibiasakan dari lingkungan keluarga yang
notabene menjadi komunitas terkecil dalam masyarakat berbangsa.
Ada ajaran kebajikan yang mengatakan, jika ingin
menjadi bangsa bermartabat, maka perbaikilah perilaku pemimpinnya. Jika ingin
memperbaiki moral pemimpin, tatalah peradaban masyarakatnya. Jika ingin
memperbaiki kualitas masyarakat, maka perbaikilah moral keluarganya. Jika moral
keluarga sudah baik, maka baik pula tatanan masyarakatnya, kualitas
pemimpinnya, dan martabat bangsanya.
Ahmad Fauzi juga mengupas falsafah dunia pewayangan
yang merumuskan delapan sifat manusia bijaksana atau dikenal Asta Brata. Asta
Brata diadopsi dari delapan simbol alam yang bisa dijadikan pedoman moral bagi
para hakim dalam tugasnya. Pertama, sifat api yang bermakna tegas
dan bersemangat. Seorang hakim harus memiliki ketegasan dan independensi dalam
menuntaskan kasus hukum. Tidak boleh ada intervensi dari pihak manapun yang
dapat memengaruhi penanganan perkara. Demi integritas, sebesar apa pun
iming-iming dari pihak yang beperkara harus ditolak secara tegas. Kedua,
sifat angin yang bermakna dinamis dan menyegarkan. Seorang hakim
dituntut untuk selalu menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat. Tujuannya agar produk putusan yang dihasilkan mencermikan
rasa keadilan. Ketiga, sifat awan yang identik dengan kewibawaan.
Seorang hakim dikatakan berwibawa jika tidak mau berkooperasif dengan siapa
saja (independent), tidak diskriminatif (equality), dan terbuka dari segala
masukan dari masyarakat. Keempat, sifat bintang. Bintang sering
dijadikan kompas bagi para pelaut yang tersesat. Artinya, perilaku hakim harus
mencerminkan keteladanan bagi keluarga dan masyarakat. Kelima, sifat
bulan yang berarti penerang kegelapan. Peran hakim memberi cahaya bagi
perjalanan bangsa Indonesia sebagai negara hukum. Keenam, sifat matahari
yang mencerminkan kedisiplinan. Dalam bekerja, hakim dituntut untuk disiplin
dalam segala hal. Contohlah sifat matahari yang meskipun cuaca mendung, tapi
demi menjalankan tugas ia tetap terbit tepat waktu. Disiplin kerja ditumbuhkan
bukan di atas rasa takut ; takut remunerasinya dipotong, takut ditegur
pimpinan, atau takut raportnya jelek. Tetapi semata-mata atas kesadaran moral
sebagai abdi Negara. Ketujuh, sifat samudera. Samudera adalah
simbol keluasan pikiran dan muara bagi sungai. Hakim dituntut untuk memiliki wawasan
hukum yang luas. Setiap perkara ditinjau secara holistik dengan maksud
menghindari kesalahan penerapan hukum. Kedelapan, sifat bumi .yang
identik dengan kesabaran dan kasih sayang. Citra negatif bahwa penegak hukum
cenderung jarang senyum memang tidak bisa disangkal. Ini disebabkan karena
dalam kesehariannya bergelut dengan perkara atau kasus yang membutuhkan kerja
berpikir keras.[32]
E.
Peningkatan Kesejahteraan Aparat Penegak Keadilan
Semangat
untuk menegakkan kode etik/moral bagi hakim tanpa dibarengi dengan kebijakan
pemerintah dengan memberikan gaji dan fasilitas yang cukup kepada hakim,
seperti menegakkan benang yang basah. Perlu dipahami, bahwa hakim dalam UU
disebut sebagai pejabat Negara. Namun fasilitas dan penggajiannya tidak
mencerminkan pejabat negara. Ketika PNS setiap tahun naik gaji, hakim tidak
demikian.
Mantan Ketua KPK Taufiequrrahman Ruki pernah
menyampaikan bahwa reformasi aparatur peradilan bisa dilakukan salah satunya
dengan pemuliaan hakim, yaitu jadikan hakim sebagai the honourable, yang
dimuliakan dengan memberi gaji, upah, tunjangan dan fasilitas terbaik bagi
hakim.
Achmad Fauzi, Hakim Pengadilan Agama
Kotabaru, Kalsel dalam tulisannya yang mengupas habis potret hakim di
Indonesia, yang notabene Hakim adalah Pejabat Negara namun ironisnya kehidupan
mereka banyak yang tidak memiliki rumah dinas. Jika musim hujan kontrakannya
kebanjiran dan harusmenggulung karpet. Ke kantor naik becak, angkot atau jalan
kaki karena tidak ada kendaraan dinas, terkadang harus “menyekolahkan” SK ke
bank untuk memperoleh pinjaman. Sungguh sangat memprihatinkan. Mereka sangat
rentan menerima suap jika tidak memilik kesadaran moral yang tinggi.[33]
Secara
mengejutkan, tulisan Achmad Fauzi tersebut berimplikasi terhadap para hakim
untuk membuat group di facebook yang mereka beri nama “Rencana Peserta Aksi
Hakim Indonesia Menggugat Presiden dan DPR” yang digagas oleh Andi Norvyta,
untuk menggambarkan nasib hakim di Indonesia.
Narasi
di atas memang itulah realita yang ada, bukan hanya hakim saja, namun aparat
penegak hukum yang lain juga demikian halnya dari jaksa maupun polisi.
D.
Sosialisasi, penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum ( socialization and
promulgation of law )
Menurut
Achmad Ali, sosialisasi undang-undang merupakan proses penting dalam law
enforcement, karena bertujuan :
1)
Bagaimana agar warga masyarakat dapat mengetahui kehadiran suatu undang atau peraturan;
2)
Bagaimana agar warga masyarakat dapat mengetahui isi suatu undang-undang atau Peraturan
;
3)
Bagaimana agar warga masyarakat dapat menyesuaikan diri (pola pikir dan tingkah
laku) dengan tujuan yang dikehendaki oleh undang-undang atau peraturan hukum tersebut[34].
Bahkan Mahkamah Agung terlebih dahulu memulai untuk
mensosialisasikan hukum melalui KMA 144/2007 Tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan,
telah membuka akses yang seluas-luasnya
bagi masyarakat untuk memperoleh informasi, mulai dari publikasi
putusan, transparansi anggaran dan biaya perkara, pos bantuan hukum, standar
operasional prosedur beracara, hingga prosedur pengaduan bagi yang tidak puas
atas pelayanan peradilan.
IV.
KESIMPULAN
Dari
pembahasan tersebut di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa konsep strategi
penegakan hukum di Indoneia adalah sebagai berikut :
1. Realitasnya Penegakan Hukum di
Indonesia masih banyak menemui masalah dan kendala baik itu dari sistem peradilannya, perangkat hukumnya, inkonsistensi penegakan hukum,
intervensi kekuasaan, maupun perlindungan hukum .
2. Untuk menyikapi dan
menyelesaikan berbagai masalah tersebut diperlukan langkah-langkah/strategi
agar Penegakan Hukum di Indonesia benar-benar dijalankan sesuai dengan harapan
Undang-Undang dan masyarakat Indonesia pada umumnya, adapun beberapa
strateginya antara lain :
a. Lembaga Kekuasaan Kehakiman dan
Lembaga Penegak Hukum di Indonesia harus Independen.
b. Pembaharuan Peraturan Perundang-undangan (
the legislation of law atau law and rule making ).
c. Peningkatan Pelayanan Hukum dan Kualitas
Aparatur Hukum.
d. Peningkatan Kesejahteraan Aparat
Penegak Keadilan.
e. Sosialisasi, penyebarluasan dan
bahkan pembudayaan hukum ( socialization and promulgation of law ).
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur 'an dan Terjemahnya, 1984, Departemen Agama RI, Proyek Pengadaan Kitab Suci
Al-Qur,an,. Jakarta.
|
Ali Mansyur, 2010, Pranata
Hukum dan Penegakannya di Indonesia cet.pertama, Unissula Press,Semarang.
|
Achmad Ali, 1998, Menjelajahi Kajian Empiris
Terhadap Hukum, Jakarta, PT Yarsif
Watampone.
|
Abdul Hakim Garuda Nusantara, 1988, Politik
Hukum Indonesia, LBHI, Jakarta.
|
A.M. Mujahidin, 2005, Kemandirian
Lembaga Peradilan Dalam Upaya Penegakan Hukum Di Indonesia : Studi atas Penerapan Konsep One Roof
System Lembaga Peradilan di Bawah Kekuasaan Mahkamah Agung, Majalah 10
Mimbar Hukum No. 66 tahun XVI , Al Hikmah & DITBINPERA Islam, Jakarta.
|
A.Hassan , 2002, Tarjamah Bulughul –Maram cetakan
ke XXVI, CV Penerbit Diponegoro,
Bandung.
|
Farouk Muhammad, 2003, Menuju Reformasi Polri,
cet. Pertama , PTIK Press bekerjasama dengan CV Restu Agung, Jakarta.
|
Lawrence Friedman, 1984 , “American Law”, London: W.W. Norton & Company.
|
Lili Rasjidi, 1993, Dasar-Dasar Filsafat
Hukum, cet. Ke VI., Citra Aditya Bakti, Bandung.
|
Mahfud MD, 1998, Hukum dan Kekuasaan,
Menegakkan Supremasi Hukum Melalui Demokratisasi, cet.pertama, Fakultas
Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
|
Muladi, Penegakan
Hukum Pasca Refoemasi Di Indonesia, Artikel, Jurnal Keadilan. Vol. 1 No.
3.
|
Paulus E. Lotulung, 2003, makalah berjudul “ Kebebasan Hakim Dalam Sistim Penegakan
Hukum “ yang disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII di
Denpasar, Bali.
|
Soedjono
Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum.
|
Satijpto Rahardjo, 2006, Membedah Hukum
Progresif, cetakan pertama, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
|
----------------------, 1980, Hukum dan
Masyarakat, cetakan ke empat, Penerbit Angkasa, Bandung.
|
------------------------------,
1993, 2001, Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis,
Sinar Baru, Bandung.
|
Sudikno
Mertokusumo, 1993 , “Bab-bab Tentang
Penemuan Hukum”, Citra Aditya Bakti, Yogyakarta.
|
------------------------------, 1993, Hukum
Acara Perdata Indonesia, edisi keempat,
Liberty, Yogyakarta.
|
UU R.I. Nomor 3 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
atas UU Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
|
www.ifip.com.
|
www.solusihukum.com.
|
www.mahkamah
agung.go.id
|
|
|
|
[1] Al-Qur 'an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, Proyek Pengadaan
Kitab Suci Al-Qur,an,. Jakarta ,1984.
[2] Prof.DR.H.M.Ali
Mansyur,S.H.,Sp.N.,M.Hum., Pranata Hukum dan Penegakannya di Indonesia,Unissula
Press,Semarang,cet.pertama 2010 hal.75.
[3] Dr. Soedjono Dirdjosisworo, S.H ,Pengantar
Ilmu Hukum, hal 155.
[4] www.solusihukum.com.2
[5] Satjipto Rahardjo, Masalah
Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar Baru, Bandung,
1993, hal. 15.
[6]
Sudikno Mertokusumo, “Bab-bab Tentang Penemuan Hukum”,
(Yoyakarta: Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 2.
[7] Satjipto Rahardjo, Masalah
Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar Baru, Bandung,
1993, hal. 15.
[8] Lili Rasjidi,
Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, cet. Ke VI, 1993,
hal. 80.
[9] Ibid, hal.82.3
[10] Mahfud MD, Hukum dan
Kekuasaan, Menegakkan Supremasi Hukum Melalui Demokratisasi,
cet.pertama, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1998,
hal.50.
[11] Satjipto
Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Penerbit Angkasa, Bandung, cetakan ke
empat, Pebruari 1980, hal. 65.
[13] Satijpto
Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta,
cetakan pertama, agustus 2006, hal.15.
[14] www.mahkamah agung.go.id.
[15] Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik
Hukum Indonesia, LBHI, Jakarta, 1988, hal 45 - 46
[16]
Muladi, Penegakan Hukum
Pasca Refoemasi Di Indonesia, Artikel, Jurnal Keadilan. Vol. 1 No. 3,
September 2001.
[17]
Lawrence Friedman, “American Law”, (London: W.W. Norton
& Company, 1984), hal. 6.
[18] Ibid, hal. 7.
[19] Farouk
Muhammad, Menuju Reformasi Polri, PTIK Press bekerjasama dengan CV Restu
Agung, Jakarta, cet. Pertama, April 2003, hal. 103.
[20] Ibid, hal 107.
[21] Ibid, hal.108
[22] Sudikno
Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, edisi
keempat, Agustus 1993, hal.18.
[23] A.M. Mujahidin,
Kemandirian Lembaga Peradilan Dalam Upaya Penegakan Hukum Di Indonesia : Studi atas Penerapan Konsep One Roof System
Lembaga Peradilan di Bawah Kekuasaan Mahkamah Agung, Majalah 10 Mimbar Hukum
No. 66 tahun XVI , Al Hikmah & DITBINPERA Islam, Jakarta, September-Oktober
2005, hal.26.
[24] Paulus E.
Lotulung, makalah berjudul “ Kebebasan
Hakim Dalam Sistim Penegakan Hukum “ yang disampaikan pada Seminar
Pembangunan Hukum Nasional VIII di Denpasar, Bali, tanggal 14 Juli 2003
[25] Ibid
[26] Lihat pasal 32A
UU R.I. Nomor 3 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 14 tahun 1985
tentang Mahkamah Agung.
[27] Ibid.13
[28] http://www.infogue.com/viewstory/2010/02/22/kuhap_perlu_segera_diperbarui/?url=http://www.antaranews.com/berita/1266770448/kuhap-perlu-segera-diperbarui
[31] A.Hassan , 2002, cetakan ke
XXVI, Tarjamah Bulughul –Maram , Bandung, CV Penerbit Diponegoro hal.637.
[34]
Achmad Ali, 1998, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum,
Jakarta, PT Yarsif Watampone