Laman

Rabu, 10 Oktober 2012


STRATEGI PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA
Oleh : Hj. Awaliatun Nikmah, S.Ag
( Hakim PA Kajen-Kabupaten Pekalongan )
 




I. PENDAHULUAN
  ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $­KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿxœ #ZŽÅÁt/ ÇÎÑÈ  
“ Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”[1]( Q.S An-Nisa 58)
Firman Allah SWT di atas menjelaskan bahwa perintah berbuat adil adalah salah satu action untuk menegakkan hukum, lalu apakah hukum itu sesungguhnya ?. 
Hukum adalah seperangkat aturan kehidupan berbangsa dan bernegara. Hukum tidak begitu saja muncul, tapi tentunya melalui proses penciptaan oleh para pembuat hukum. Dalam Agama Islam hukum dibuat oleh para mujtahid dengan mengacu pada Al Qur’an da Hadits. Sedangkan pembuatan hukum positif di Indonesia baik itu hukum perdata, pidana, hukum administrasi negara dan yang lainnya dibuat oleh Pemerintah ( eksekutif ) bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat ( legislatif ).[2]
Salah satu fungsi hukum adalah alat penyelesaian sengketa atau konflik, disamping fungsi yang lain sebagai alat pengendalian sosial dan alat rekayasa sosial . Pembicaraan tentang hukum barulah dimulai jika terjadi suatu konflik antara dua pihak yang kemudian diselesaikan dengan bantuan pihak ketiga. Dalam hal ini munculnya hukum berkaitan dengan suatu bentuk penyelesaian konflik yang bersifat netral dan tidak memihak.
“Dewasa ini sedang berkembang suatu pandangan bahwa hukum mempunyai fungsi kritis, yaitu daya kerja hukum tidak semata-mata melakukan pengawasan pada aparatur pemerintah (petugas) saja melainkan aparatur penegak hukum termasuk didalamnya”.[3]
Pelaksanaan hukum di Indonesia sering dilihat dalam kacamata yang berbeda oleh masyarakat. Hukum sebagai dewa penolong bagi mereka yang diuntungkan, dan hukum sebagai hantu bagi mereka yang dirugikan. Hukum yang seharusnya bersifat netral bagi setiap pencari keadilan atau bagi setiap pihak yang sedang mengalami konflik, seringkali bersifat diskriminatif, memihak kepada yang kuat dan berkuasa.
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau  berfungsinya norma-norma hukum  secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam  lalulintas    atau    hubungan –  hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat  dan   bernegara.[4]
           Penegakan hukum (Law Enforcement) adalah suatu rangkaian kegiatan dalam rangka usaha pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum baik yang bersifat penindakan maupun pencegahan yang mencakup seluruh kegiatan baik teknis maupun administratif yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum sehingga dapat melahirkan suasana aman, damai dan tertib untuk mendapatkan kepastian hukum dalam masyarakat, dalam rangka menciptakan kondisi agar pembangunan disegala sektor itu dapat dilaksanakan oleh pemerintah.
            Penegakan hukum (law enforcement), merupakan suatu istilah yang mempunyai keragaman dalam difinisi. Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum diartikan sebagai suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum, yaitu pikiran-pikiran dari badanbadan pembuat undang-undang yang dirumuskan dan ditetapkan dalam peraturan-peraturan hukum yang kemudian menjadi kenyataan.[5]
Dalam pelaksanaan penegakan hukum, keadilan harus diperhatikan, namun hukum itu tidak identik dengan keadilan, hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. Setiap orang yang mencuri harus dihukum tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri. Sebaliknya keadilan bersifat subjektif, individualistis dan tidak menyamaratakan.[6]
Ditinjau  dari   segi   subyeknya,  penegakan  hukum   itu  dapat  dilakukan oleh   subyek     yang  luas,  yakni   upaya  penegakan  hukum  yang  melibatkan semua subyek hukum dalam  setiap  hubungan  hukum. Siapa  saja yang menjalankan aturan normatif dengan   melakukan   sesuatu    atau  tidak    melakukan sesuatu  dengan mendasarkan    diri   pada  norma  aturan  hukum  yang  berlaku, berarti dia telah menjalankan atau menegakkan  aturan  hukum.  Sedangkan dari  segi  subyeknya  dalam   pengertian yang  sempit adalah bahwa penegakan  hukum itu hanya diartikan sebagai upaya yang dilakukan oleh aparatur    penegak hukum  tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum itu,  dan apabila diperlukan,  maka  aparatur penegak  hukum  itu diperkenankan untuk  menggunakan daya paksa.
          Sedangkan pengertian penegakan  hukum apabila dilihat dari sudut obyeknya atau   dari    segi    hukumnya, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum  itu mencakup pada aspek nilai nilai keadilan yang terkandung di dalam bunyi aturan formal    maupun nilai – nilai  keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi dalam arti    sempit,  penegakan hukum  itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis  saja. Karena itu , penerjemahan  perkataan “Law enforcement” ke dalam bahasa Indonesia dalam   menggunakan perkataan “penegakan hukum” dapat diartikan dalam arti yang luas maupun dalam pengertian sempit.
          Sedangkan dalam istilah  “the rule  of  law  and not  of   man”,    dimaksudkan untuk  menegaskan bahwa  pada hakikatnya    pemerintahan    suatu   Negara  hukum modern itu dilakukan oleh hukum,   bukan  oleh orang.  Istilah  sebaliknya   adalah “the rule by law”  yang dimaksudkan     sebagai    pemerintahan  oleh    orang   yang   menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.[7]
          Namun demikian, antara hukum dan kekuasaan terdapat hubungan yang erat.[8] Diperlukannya kekuatan (force) sebagai pendukung serta pelindung bagi sistem aturan-aturan hukum untuk kepentingan penegakannya, berarti bahwa hukum pada akhirnya harus didukung serta dilindungi oleh sesuatu unsur yang bukan hukum , yaitu oleh kekuasaan.[9]
Idealnya memang hukum dan kekuasaan itu paling tidak harus saling mendukung, dalam arti hukum harus ditegakkan dengan kekuasaan agar daya paksanya bisa efektif. Sebaliknya kekuasaan dijalankan di atas prinsip-prinsip hukum agar tidak sewenang-wenang.[10]
          Ada beberapa lembaga Negara yang berkepentingan dengan penegakan hukum  dan keadilan di Indonesia, di antaranya Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA), Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Kejaksaan, Komisi Yudisial, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan sebagainya.
          Lembaga-lembaga hukum tersebut mengemban tugas untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum. Tujuan tersebut sering dirumuskan sebagai menciptakan tata tertib di dalam masyarakat. Dengan demikian, maka apa yang disebut sebagai lembaga itu adalah pengorganisasian kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan-tujuan hukum tersebut.  Pengadilan merupakan salah satu organisasi yang mengemban tugas sedemikian itu.[11]
          Menurut Paulus E. Lotulung dalam sebuah makalahnya yang berjudul  “Kebebasan Hakim Dalam Sistim Penegakan Hukum “ yang disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII di Denpasar, Bali, tanggal 14 Juli 2003 bahwa apabila kita berbicara tentang Negara Hukum, maka independensi Kekuasaan Kehakiman merupakan salah satu pilar yang pokok, karena apabila komponen  tersebut tidak ada, maka kita tidak bisa berbicara lagi tentang Negara Hukum.[12] Untuk itu, independensi Kekuasaan Kehakiman menjadi sangat penting dalam rangka upaya penegakan hukum di Indonesia sebagai satu Negara Hukum untuk mencapai kebahagiaan rakyat dan bangsa ini. Karena tujuan akhir bernegara  hukum adalah untuk menjadikan kehidupan rakyat dan bangsa ini bahagia.[13]
          Menurut Ketua Mahkamah Agung, Harifin A Tumpa  sebagaimana disampaikan  dalam pembukaan Rakernas IKAHI tanggal 18 September 2011 di Jakarta yang lalu bahwa  independensi hakim saat ini sedang mengalami ujian.  Menurut beliau, bahwa  ada ancaman terhadap independensi hakim. Banyak pihak yang mencoba menghalangi independensi hakim dalam memutus suatu perkara. Padahal, independensi hakim merupakan hak pencari keadilan, bukan semata-mata milik hakim .[14]
            Strategi dapat berarti ; a) Ilmu dan seni menggunakan sumber daya bangsa untuk melaksanakan kebijaksanaan tertentu dalam perang dan damai; b) Ilmu dan seni memimpin bala tentara untuk menghadapi musuh dalam perang, dalam kondisi yang menguntungkan ; sebagai komandan ia memang menguasai betul Strategi seorang Perwira di medan perang; c) Rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus; d) Tempat yang baik menurut siasat perang.

II. PERMASALAHAN
Permasalahan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal, baik dari sistem peradilannya, perangkat hukumnya, inkonsistensi penegakan hukum, intervensi kekuasaan, maupun perlindungan hukum . Diantara banyaknya permasalahan tersebut, satu hal yang sering dilihat dan dirasakan oleh masyarakat awam adalah bagaimana konsep strategis penegakan hukum di Indonesia yang mampu meningkatkan keselamatan dan kepatuhan hukum.
Inkonsistensi penegakan hukum ini berlangsung dari hari ke hari, baik dalam peristiwa yang berskala kecil maupun besar.  Peristiwa kecil bisa terjadi pada saat berkendaraan di jalan raya. Masyarakat dapat melihat bagaimana suatu peraturan lalu lintas (misalnya aturan three-in-one  di beberapa ruas jalan di Jakarta) tidak berlaku bagi anggota TNI dan POLRI. Polisi yang bertugas membiarkan begitu saja mobil dinas TNI yang melintas meski mobil tersebut berpenumpang kurang dari tiga orang dan kadang malah disertai pemberian hormat apabila kebetulan penumpangnya berpangkat lebih tinggi.
Contoh kasus yang menjadi bacaan umum sehari-hari adalah : koruptor kelas kakap dibebaskan dari dakwaan karena kurangnya bukti, sementara kasus mbok Minah yang hanya mencuri 3 ( tiga ) buah biji kakau dijatuhi hukuman kurungan 1.5 bulan penjara karena adanya bukti nyata, bahkan yang belum lama ini menuai keras reaksi publik serta Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Sulawesi Tengah Sofyan Farid Lembah, berharap hakim segera menghentikan kasus AAL ( siswa SMK usia 15 tahun ) di Palu Sulawesi Tengah, yang diduga mencuri sandal jepit milik polisi berpangkat Briptu ( inisial AR ), yang saat ini sedang menunggu vonis hakim dan terancam dihukum 5 tahun penjara.  apakah hukum disini sudah memenuhi rasa keadilan masyarakat ?
Lalu untuk menyikapi dan menyelesaikan berbagai masalah tersebut langkah-langkah/strategi apa yang harus ditempuh agar Penegakan Hukum di Indonesia benar-benar dijalankan sesuai dengan harapan Undang-Undang dan masyarakat Indonesia pada umumnya .

III. PEMBAHASAN
Dalam rangka menuju strategi  pembangunan hukum responsif progresif, Garuda Nusantara mengusulkan perbaikan situasi hukum saat ini dengan cara :[15]
1. Penciptaan kondisi sosial memungkinkan pertumbuhan sejati kelompokkelompok kolektif masyarakat lapisan bawah memperjuangkan hak-hak dan kepentingan mereka;
2. Memperbesar akses masyarakat, khususnya masyarakat lapisan bawah ke lembaga-lembaga pengadilan. Bersamaan dengan cara itu,  pemerintah dan Mahkamah Agung berkewajiban pula  menciptakan kondisi-kondisi yang mendorong para hakim mampu berpikir secara bebas dalam menghadapi kasus-kasus startegis yang diajukan  kehadapannya. Dengan cara itu para hakim akan memiliki keberanian untuk menghasilkan jurisprudensi jurisprudensi progresif yang benar-benar tanggap terhadap tuntutan kebutuhan masyarakat luas, khususnya tuntutan-tuntutan kebutuhan masyarakat lapisan bawah.
3. Organisasi-organisasi sosial non pemerintah yang selama ini bergerak di bidang penyadaran masyarakat dan  atau bantuan hukum, seperti : LBH, lembaga konsumen, KSBH, kelompok-kelompok penyadar kelestarian lingkungan dan kelompok sejenis harus pula terus meningkatkan peranannya untuk menyadarkan hak-hak masyarakat lapisan bawah; bersamaan dengan itu merencanakan program-program litigasi baru yang diarahkan untuk mernagsang timbulnya jurisprudensi-jurisprudensi baru yang responsif- progresif.
4. Perlu dibentuk “lembaga arbitrase” yang menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda antara kelompok-kelompok masyarakat dan lembaga birokrasi pemerintah; lembaga itu harus mempunyai kewenanan menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Lembaga seperti ini diperlukan dengan rencana penggunaan tanah-tanah rakyat untuk kepentingan umum, masalah pengelolaan hutan dan sumber daya alam lainnya.
5. Pemerintah dan DPR harus mempercepat proses perundang-undangan peradilan tata usaha negara (lembaga ini sudah dibentuk berdasarkan UU NO.5 Tahun 1986).
6. Pemerintah dan pihak swasta atau  kelompok-kelompok sosial harus mulai mengadakan suatu proyek penelitian  untuk mempelajari, menganalisis dan memberikan catatan-catatan atas putusan-putusan hakim menyangkut kasus strategi yang menyangkut kepentingan mayoritas rakyat.
Muladi[16] menyebutkan bahwa penegakan hukum pasca reformasi diwujudkan melalui perlindungan hukum terhadap hak-hak sipil, selain upaya mengembalikan fungsi hukum sesuai tatanan  nilai-nilai demokrasi seperti keterbukaan, tanggung jawab, kebebasan, dan keadilan. Untuk mencapai hal tersebut, Indonesia memerlukan kondisi-kondisi awal yang menunjukkan bahwa proses penegakkan hukum tersebut dilaksanakan. Kondisi awal itu antara lain meliputi keberadaan pemerintahan yang terbuka, bertanggung jawab, dan responsif. Ini  artinya pemerintahan tersebut harus membuka peluang seluas-luasnya bagi keterbukaan informasi, persamaan hukum, keadilan, kepastian hukum, dan peran serta masyarakat.
Adanya beberapa permasalahan hukum di Indonesia yang begitu komplek tersebut perlu ada strategi bagaimana caranya agar Hukum di Bumi Indonesia bisa ditegakkan,  menurut pendapat penulis  ada beberapa strategi yang sangat efektif  sebagai berikut :
A. Lembaga Kekuasaan Kehakiman dan Lembaga Penegak Hukum di Indonesia harus Independen
Menurut Lawrence Friedman, unsur-unsur sistem hukum itu terdiri dari struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture).[17]
Struktur hukum meliputi badan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta lembaga-lembaga terkait, seperti Kejaksaan, Kepolisian, Pengadilan, Komisi Judisial, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lain-lain.
Sedangkan substansi hukum adalah mengenai norma, peraturan maupun undang-undang.
Budaya hukum adalah meliputi pandangan, kebiasaan maupun perilaku dari masyarakat mengenai pemikiran nilai-nilai dan pengharapan dari sistim hukum yang berlaku, dengan perkataan lain, budaya hukum itu adalah iklim dari pemikiran sosial tentang bagaimana hukum itu diaplikasikan, dilanggar atau dilaksanakan.
Tanpa budaya hukum sistem hukum itu sendiri tidak akan berdaya, seperti ikan mati yang terkapar di keranjang, bukan seperti ikan hidup yang berenang di lautnya (without legal culture, the legal system is inert, a dead fish lying in a basket, not a living fish swimming in its sea).[18] Setiap masyarakat, negara dan komunitas mempunyai budaya hukum. Selalu ada sikap dan pendapat mengenai hukum. Hal ini tidak berarti bahwa setiap orang dalam satu komunitas memberikan pemikiran yang sama.
Dalam Pasal 1 angka 1 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum  Republik Indonesia.
Selanjutnya dalam ketentuan  Pasal 24 ayat (2) UUD R.I. tahun 1945 disebutkan bahwa Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Kemudian dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 ditentukan ada badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman dan diatur dengan undang-undang.
Adapun lembaga-lembaga yang berkepentingan dengan penegakan  hukum dan keadilan di Indonesia adalah Mahkamah Agung, Kejaksaan, Kepolisian, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ( Komnas HAM ) dan yang lainnya.
Oleh karena itu, penulis ingin mengetengahkan beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjelaskan tentang kemandirian atau independensi beberapa lembaga penegakan hukum tersebut.
1.  Mahkamah Agung (MA)
Dalam Pasal 1 UU  RI Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung  yang kemudian diubah dan ditambah dengan UU RI Nomor 5  tahun 2004  yang kemudian diubah dan ditambah lagi yang  kedua dengan UU RI Nomor 3 Tahun 2009 disebutkan bahwa Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Selanjutnya tugas dan wewenang Mahkamah Agung sebagaimana bunyi Pasal 24 A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara R.I. disebutkan bahwa Mahkamah Agung berwenang untuk :
-  mengadili pada tingkat kasasi,
- menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang- undang terhadap undang-undang,
-  kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
Selanjutnya dalam pasal 2 UU Nomor 14 tahun 1985 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Negara R.I. Nomor 5 tahun 2004 dan terakhir telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009  diatur tentang independensi Mahkamah Agung yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut :
“ Mahkamah Agung adalah Lembaga Tinggi Negara dari semua Lingkungan Peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain.”
2.  Kejaksaan                                                                                                         
Kejaksaan Republik Indonesia atau  Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain  berdasarkan undang-undang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) UU RI Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tersebut disebutkan bahwa “Kekuasaan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara merdeka”.
Dalam penjelasan umum angka 1 UU RI Nomor 16 Tahun 2004 tersebut dijelaskan bahwa  Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan ditegaskan kekuasaan Negara tersebut dilaksanakan secara merdeka. Oleh karena itu, Kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lainnya. Selanjutnya ditentukan Jaksa Agung bertanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani. Dengan demikian Jaksa Agung selaku pimpinan Kejaksaan  dapat sepenuhnya merumuskan dan mengendalikan arah dan kebijakan penanganan perkara untuk keberhasilan penuntutan.
3. Kepolisian
Dalam  Pasal 1 angka (1) UU RI Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa  Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan        lembaga      polisi      sesuai      dengan    peraturan perundang - undangan.  Sedangkan  dalam  Pasal 8  ayat (1) UU RI Nomor 2 tahun 2002 tersebut disebutkan bahwa kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden.
Pada awal era reformasi, salah satu tuntutan yang mencuat dan segera direspon oleh Pemerintah adalah pemisahan Polri dan ABRI. Melalui Inpres Nomor : 02/1999 telah diambil langkah-langkah kebijakan pemisahan Polri dari TNI dan penempatannya untuk sementara pada Dephankam, yang ditandai oleh suatu upacara bersejarah pada tanggal 1 April 1999 di Mabes ABRI Cilangkap.  Langkah tersebut telah ditindak lanjuti dengan berbagai kebijakan Menhankam/Panglima TNI yang menyerahkan wewenang pembinaan dan operasional Polri dari Pangab kepada Menhankam dan Kapolri.[19]
Secara universal, tugas pokok lembaga kepolisian mencakup dua hal, yaitu  pemeliharaan keamanan dan ketertiban  (peace and order maintenance) dan penegakan hukum (law enforcement).[20] Dalam perkembangannya, tanggung jawab “pemeliharaan” dipandang pasif, sehingga tidak mampu menanggulangi kejahatan. Polisi kemudian dituntut untuk secara proaktif melakukan “pembinaan”, sehingga tidak hanya “menjaga” agar kamtib terpelihara, tetapi juga menumbuhkan kesadaran masyarakat, menggugah dan mengajak peran serta masyarakat dalam upaya pemeliharaan keamanan dan ketertiban, dan bahkan ikut memecahkan masalah-masalah sosial yang menjadi sumber kejahatan. Tugas-tugas ini dipersembahkan oleh polisi untuk membantu (to support) masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya akan rasa aman, sehingga memungkinkan tercapainya kesejahteraan.[21]
4. Mahkamah Konstitusi (MK)
Dalam pasal 24 ayat (1) dan (2) UUD 1945 dijelaskan bahwa Mahkamah  Konstitusi merupakan salah satu pelaku Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Dan pula ditegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.
Dalam  penjelasan umum Undang-Undang RI Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dijelaskan bahwa sejalan dengan prinsip ketatanegaraan di atas, maka salah satu substansi penting perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi.
Berdasarkan pasal 24 C ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara R.I. tahun 1945, Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan untuk :
-  Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara R.I tahun 1945.
-  Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenanganya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara R.I. tahun 1945.
-  Memutus pembubaran partai politik.
-  Memutus perselisihan hasil pemilihan umum, dan
-  Memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara R.I. tahun 1945.
Indepedensi Mahkamah Konstitusi disebutkan dalam pasal 2 Undang-Undang R.I. Nomor 24 tahun 2003 sebagai berikut :
“ Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan “.
5. Komisi Yudisial
Komisi Yudisial sebenarnya bukan merupakan lembaga pelaksana Kekuasaan Kehakiman, akan tetapi Komisi Yudisial adalah lembaga Pengawas Kekuasaan Kehakiman, lembaga ini bersifat penunjang ( auxiliary ) namun demikian lembaga ini ikut berperan besar dalam rangka menegakkan kehakiman di Indonesia.
Dalam ketentuan  Pasal 1 angka (1)  UU R.I. Nomor 22 tahun 2004   yang kemudian telah diubah dan ditambah dengan UU RI Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial disebutkan bahwa  Komisi Yudisial adalah lembaga Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Ditegaskan pula bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.
Sejalan dengan prinsip ketatanegaraan di atas, salah satu substansi penting perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 adalah adanya Komisi Yudisial. Komisi Yudisial tersebut merupakan lembaga Negara yang bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Pasal 24 B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 memberikan landasan hukum yang kuat bagi reformasi bidang hukum, yakni dengan memberikan kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk mewujudkan  checks and balances, walaupun Komisi Yudisial bukan pelaku kekuasaan kehakiman namun fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman.
6.  Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ( Komnas HAM )
Dalam  Pasal 1 angka (7)  UU R.I. Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa  Komisi Nasional Hak Asasi Manusia  yang selanjutnya disebut Komnas HAM adalah lembaga mandiri yang berkedudukan setingkat dalam negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyaluran, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia.
Dalam pasal 75 Undang-Undang R.I. Nomor 39 tahun 1999 disebutkan bahwa Komnas HAM bertujuan :
-    mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia; dan
-    meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya dalam berbagai bidang kehidupan.
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan bebas dari campur tangan pihak-pihak di luar kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan peradilan demi terselenggaranya negara hukum.[22] Oleh karenanya dalam Pasal 3 ayat (2) UU Nomor 48 Tahun 2009 ditentukan bahwa segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Kekuasaan kehakiman telah memasuki babak baru ketika sistem peradilan satu atap  (one roof system) sejak tanggal 31 Maret 2004 mulai dilaksanakan. Kini Mahkamah Agung tidak hanya mengurusi pembinaan para hakim, tetapi juga menangani organisasi, administrasi dan finansial yang sebelumnya diatur dan di bawah kekuasaan eksekutif.[23] Perubahan tersebut sesuai dengan tuntutan reformasi, diharapkan akan memudahkan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap para hakim dan para pejabat lainnya yang bertugas di pengadilan, baik pada pengadilan tingkat pertama, banding, maupun kasasi. Selama ini hal tersebut menjadi sulit dilakukan karena adanya dualisme kendali.
Menjadi    pertanyaan bagi      kita sekarang     apakah hakekat independensi Kekuasaan Kehakiman  itu  memang harus mandiri dan merdeka dalam    arti sebebas – bebasnya   tanpa ada batasnya secara absolut? Menurut Prof. Dr. Paulus E. Lotulung, S.H.[24] tidak demikian, sebab tidak ada kekuasaan atau kewenangan di dunia ini yang tidak tak-terbatas, atau tanpa batas, kecuali kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa di dunia ini maupun di akhirat. Kekuasaan Kehakiman, yang dikatakan independensi atau mandiri itu pada hakekatnya diikat dan dibatasi oleh rambu-rambu tertentu.
Batasan  atau rambu -  rambu yang  harus   diingat  dan    diperhatikan dalam   implementasi  kebebasan itu adalah terutama mengenai aturan-aturan hukum itu sendiri. Ketentuan-ketentuan hukum, baik segi prosedural maupun substansial / materiil itu sendiri sudah merupakan batasan bagi Kekuasaan Kehakiman agar dalam melakukan independensinya tidak melanggar hukum,  dan bertindak sewenangwenang.
Selanjutnya, harus disadari bahwa kebebasan dan independensi tersebut harus diikat pula dengan pertanggungan-jawab atau akuntabilitas, yang kedua-duanya itu, yakni  independensi dan akuntabilitas pada dasarnya merupakan  dua sisi koin mata uang yang saling melekat. Tidak ada kebebasan mutlak tanpa tanggung jawab. Dengan perkataan lain dapat dipahami bahwa dalam konteks kebebasan hakim (independency of judiciary) haruslah diimbangi dengan pasangannya yaitu akuntabilitas peradilan (Judicial accountability).[25]
Konsekuensi    lebih  lanjut dari adanya akuntabilitas tersebut diatas  adalah adanya pengawasan atau kontrol terhadap kinerja badan-badan peradilan,  baik mengenai jalannya peradilan maupun termasuk perilaku  para aparatnya, agar kemandirian dan kebebasan Kekuasaan Kehakiman tidak disalah gunakan,  sehingga dikawatirkan dapat menjadi  " tirani Kekuasaan Kehakiman ".  Banyak bentuk dan mekanisme pengawasan yang dapat dipikirkan dan dilaksanakan, baik oleh lembaga formal seperti oleh Mahkamah Agung sendiri (secara internal) maupun oleh Komisi Yudisial (secara eksternal)[26] , juga oleh lembaga informal yang salah satu bentuk kontrol atau pengawasan melalui mass-media, termasuk pers.
Dengan demikian,  menurut Paulus E Lotulung  aspek akuntabilitas, integritas dan aspek transparansi, maupun aspek pengawasan merupakan 4 (empat) ramburambu yang menjadi pelengkap dari diakuinya kebebasan dan independiensi Kekuasaan Kehakiman.
Dalam hubungan dengan tugasnya  sebagai hakim, maka independensi Hakim masih harus  pula  dilengkapi dengan sikap impartialitas dan profesionalisme dalam bidangnya. Oleh karenanya kebebasan Hakim sebagai penegak hukum haruslah dikaitkan dengan :
a.  Akuntabiltas
b.  Integritas moral dan etika
c.  Transparansi
d.  Pengawasan (kontrol)
e.  Profesionalisme dan impartialitas
Tetapi sebaliknya, lanjut Paulus E Lotulung bahwa independensi Kekuasaan Kehakiman itu juga mengandung makna perlindungan pula bagi Hakim sebagai penegak hukum untuk bebas dari pengaruh-pengaruh dan direktiva yang dapat berasal dari antara lain :
a. Lembaga -Iembaga di luar badan – badan peradilan,   baik  eksekutif mapun legislatif, dan lain-Iain.
b. Lembaga-Iembaga internal di dalam jajaran Kekuasaan Kehakiman sendiri.
c. Pengaruh-pengaruh pihak yang berperkara.
d. Pengaruh tekanan-tekanan masyarakat, baik nasional maupun internasional.
e. Pengaruh-pengaruh yang bersifat "trial by the press".[27]
B. Pembaharuan Peraturan Perundang-undangan ( the legislation of law atau law and rule making ),
Langkah utama  dalam rangka pembaharuan kelembagaan hukum dan peraturan perundang-undangan adalah dengan mencabut atau menyempurnakan dan menetapkan peraturan perundang-undangan baru yang sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Dengan demikian diharapkan peraturan perundang-undangan yang baru atau yang telah disempurnakan tersebut akan benar-benar dapat dijadikan pedoman atau pegangan bertindak  bagi aparat penyelenggara negara dan setiap anggota masyarakat.
Penetapan prioritas dari pencabutan, penyempurnaan, dan penetapan peraturan perundang-undangan baru terutama ditujukan untuk mendukung supremasi hukum, pemulihan ekonomi yang meliputi bidang perbankan, industri, dan perdagangan; serta perlindungan HAM.
Untuk mendukung upaya terwujudnya sistem hukum nasional yang benar-benar menjamin tegaknya supremasi hukum dan HAM berdasarkan keadilan dan kebenaran, dengan Keppres No.15 Tahun 2000 telah dibentuk Komisi Hukum Nasional dan Komisi Ombudsman Nasional dengan Keppres No.44 Tahun 2000. Kedua Komisi ini merupakan salah satu upaya pemerintah untuk membuka jalan ke arah reformasi hukum dan reformasi aparatur yang lebih mendasar dan bertujuan menemukan gagasan dan persepektif baru untuk melakukan perubahan lembaga-lembaga hukum yang ada.
Yang sangat urgen saat ini dan mestinya segera disahkan adalah Rancangan Undang-Undang (RUU) pembaruan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang sejak sekitar tahun 1970-an sampai saat ini masih dalam pembahasan harus segera disahkan oleh pemerintah karena permasalahan dalam penegakan hukum banyak terganjal KUHAP.
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ) yang sampai sekarang masih kita gunakan adalah warisan Hindia Belanda, negara yang telah menjajah kita selama 350 tahun, yang sudah perlu diperbaharui karena sudah tidak mewakili rasa keadilan masyarakat dan sudah tidak sesui lagi dengan kondisi masyarakat Indonesia.  
Semarang (ANTARA News) - Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berlaku saat ini perlu segera diperbarui karena di dalamnya banyak ketidakjelasan aturan.
Akibatnya dapat merugikan hak-hak tersangka, korban maupun saksi baik selama dalam penanganan pihak kepolisian, kejaksaan hingga pengadilan, kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, Siti Rahma Mary Herawati, di Semarang, Minggu.
"Pembaruan KUHAP ini juga dimaksudkan agar pelaksanaan sistem peradilan pidana lebih sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia dan untuk menghindari kemungkinan terjadinya penyimpangan selama proses penegakan hukum," tambahnya. Ia menjelaskan, ada sekitar puluhan hal dalam KUHAP yang dinilai masih rancu.[28]
Adapun yang telah terealisasi ( Pembaharuan Peraturan Perundang-undangan ) pedalam bidang ekonomi antara lain dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), telah dikeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No.162/M/2000, yang menetapkan keanggotaan dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). KPPU yang ditetapkan dengan Keppres No.75 Tahun 1999, merupakan lembaga independen yang bebas dari pengaruh pihak manapun dalam rangka menegakkan undang-undang (UU) No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Undang-undang ini memberikan perubahan mendasar terhadap iklim kompetisi usaha di Indonesia. Tujuan undang-undang ini adalah untuk melindungi masyarakat dari pelaku usaha yang curang sekaligus memberikan koridor bagi pelaku usaha untuk bersaing secara sehat dan jujur dalam arena yang sama dan juga meningkatkan efisiensi serta mencegah terjadinya praktik KKN dalam dunia usaha .
Sedangkan dalam rangka mendukung perlindungan terhadap HAM telah ditetapkan UU No.1 Tahun 2000  tentang Pengesahan Konvensi ILO No.182 mengenai Pelarangan dan Tindakan segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan (ILO Convention No. 182 Concerning the Prohibition and Immediate Action For the Elimination of The Worst Forms of Child Labour).
C. Peningkatan Pelayanan Hukum dan Kualitas Aparatur Hukum
Pembenahan terhadap kelembagaan hukum juga harus didukung oleh peningkatan kualitas, kemampuan, dan kesejahteraan aparatur penegak hukum. Pengembangan profesionalisme, berupa peningkatan keterampilan teknis hukum, maupun pendidikan di berbagai bidang hukum, baik di dalam maupun di luar negeri, baik yang sifatnya gelar maupun non gelar, terus dilakukan baik kepada aparat penegak hukum pusat maupun di daerah. Selain itu, upaya peningkatan kualitas dan integritas aparat penegak hukum juga dilakukan melalui perbaikan sistem rekrutmen, promosi, dan sistem pengawasan.
Upaya penegakan hukum juga tidak akan tercapai tanpa dilakukan melalui upaya penyadaran hukum yang ditujukan tidak hanya terhadap masyarakat tetapi juga terhadap aparat penyelenggara negara. Era reformasi yang di satu sisi bertujuan untuk menegakkan kembali supremasi hukum, namun pada sisi lain  telah semakin meningkatkan sikap kritis dan main hakim sendiri dari masyarakat yang sangat bertentangan dengan rasa kemanusian dan jiwa kekeluargaan masyarakat Indonesia yang telah terbina selama ini. Kondisi tersebut pada dasarnya disebabkan karena kepercayaan masyarakat yang sudah semakin menurun terhadap lembaga penegak hukum sehingga tidak lagi menghormati ketentuan hukum yang berlaku. Oleh karena itu, upaya penyadaran hukum sangat penting sekali untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat agar kembali menghormati lembaga hukum dan ketentuan hukum yang berlaku serta aparat penegak hukum. Di sisi lain, aparat penegak hukum juga dituntut untuk benar-benar memberikan pelayanan, pengayoman dan perlindungan kepada masyarakat.
Upaya pelaksanaan kegiatan penyadaran hukum kepada masyarakat maupun aparat penyelenggara negara pada tahun 1999/2000, telah dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung dilakukan melalui media cetak dan elektronik, juga dengan membina desa untuk dijadikan desa sadar hukum serta membentuk keluarga sadar hukum (kadarkum). Selain itu, untuk lebih memantapkan langkah penyadaran hukum telah ditempuh koordinasi dan kerjasama antarinstansi baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah dengan melibatkan masyarakat maupun lembaga kemasyarakatan yang ada. Sejalan dengan dinamika tuntutan masyarakat, pola penyadaran hukum juga dilakukan dengan cara menumbuhkan swakarsa dan swadaya masyarakat. Materi yang disuluhkan juga disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat setempat.           
Pendidikan dan pelatihan bagi para aparat penegak hukum lebih diprioritaskan untuk meningkatkan kualitas kemampuan dan keterampilan, serta membina sikap dan kepekaan para aparat penegak hukum terhadap rasa keadilan masyarakat. Pada tahun 1999/2000 telah dilaksanakan pelatihan dan pendidikan bagi para hakim maupun tenaga teknis di lingkungan lembaga peradilan maupun lembaga penegak hukum lainnya, baik untuk pendidikan penjenjangan maupun pendidikan keterampilan teknis, misalnya pelatihan bagi penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) dan penataran tenaga pemasyarakatan. Secara bertahap telah dilakukan pendidikan dan pelatihan bagi calon hakim dan calon panitera peradilan tata usaha negara.
Upaya untuk meningkatkan penegakan hukum melalui pelayanan hukum juga terus dilakukan oleh lembaga penegak hukum, sebagai contoh di Lingkungan Peradilan  Agama, Dirjen Badilag, Wahyu Widiana juga menyampaikan bahwa Badilag tahun 2011 menekankan tiga program unggulan yakni :
1. Peningkatan Kualitas dan Kuantitas putusan, terutama putusan diharapkan mencapai 100 %.
2. Peningkatan dan Mengefektifitas Sitem Informasi Administrasi Perkara Pengadilan Agama ( SIADPA ).
3. Peningkatan dan mengefektifkan Tehnologi Informasi. Meskipun IT bukanlah pekerjaan pokok peradilan, namun dengan IT seluruh kegiatan administrasi dan pelayanan di peradilan dapat di percepat dan dapat meningkatkan kinerja.[29]
Masih menurut Dirjen Badilag, Wahyu Widiana, untuk mewujudkan ketiga program tersebut perlu diselenggarakan pelatihan-pelatihan yang akan meningkatkan capacity building bagi SDM peradilan agama.
Tentang peningkatan dan mengefektifkan Tehnologi Informasi, Ia menilai bahwa IT menjadi syarat bagi terwujudnya modernitas pengadilan. Ia pun mengemukakan bahwa sesuai tema rakernas MARI 2008, pengadilan di Indonesia diarahkan menjadi pengadilan yang modern. “Meski tidak semata-mata modernitas pengadilan itu berarti penerapan TI, tapi kehadiran IT di pengadlan menjadi satu bagian yang tidak boleh diabaikan”, ungkapnya[30].
Adapaun kaitannya dengan peningkatan kualitas aparatur hukum/peradilan, di dalam Agama Islam, sebagai konsekwensinya bagi Hakim yang tidak punya iman dan intelektual dalam memutus perkara maka balasannya adalah neraka, sungguh  betapa urgennya peran iman dan ilmu dalam mewujudkan keadilan, sebagaimana Hadits Riwayat Imam Empat di bawah ini :

عن بريد ة  قال : قال رسو ل الله صلى الله عليه وسلم " القضاة ثلا ثة : اثنا ن فى النا ر وواحد فى الجنة - رجل عرف الحق فقضى به فهو فى الجنة - و رجل عرف الحق فلم يقض به و جار فى الحكم فهو فى النار- و رجل لم يعرف الحق فقضى للناس على جهل فهو فى النار   - رواه الاربعه وصححه الحاكم. 
Artinya : Dari Buraidah, ia berkata : telah bersabda Rasulallah SAW : qadli-qadli iti ada tiga : dua orang di neraka dan seorang di surga. Seorang tahu kebenaran dan ia beri hukum dengannya, maka ia di syurga ; dan seorang tahu kebenaran, tetapi ia tidak menghukum dengannya, dan ia zalim dalam menghukum, maka ia di neraka ; dan seorang tidak tahu kebenaran tetapi ia menghukum antara manusia dengan kebodohan, maka ia di neraka[31] .
Menurut Ahmad Fauzi, bahwa persoalan utama praktik jual beli hukum di pengadilan lebih dipengaruhi oleh dua faktor yang saling berkelindan, yakni moral dan finansial. Ketua Mahkamah Konstitusi, Moh. Mahfud MD, dalam seminar "Suap dan Pemerasan dalam Perspektif Moral dan Penegakan Hukum" yang diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Universitas Islam Indonesia, Sabtu (26/2), mengatakan bahwa aturan moral di masyarakat lebih efektif dalam mencegah terjadinya suap dan pemerasan.
Suap bagi hakim merupakan godaan berat dalam proses supremasi hukum dan keadilan. Kendati hakim kuat menahan godaan suap, tak jarang anak dan keluarganya menjadi sasaran suap. Para penyuap kadangkala paham membaca situasi, ia datang tatkala hakim atau keluarganya sedang membutuhkan sokongan finansial. Oleh karena itu, untuk membendung godaan suap, hakim harus membentengi diri dengan kesadaran moral dan keimanan yang kokoh. Kesadaran itu tentunya harus ditumbuhkan dan dibiasakan dari lingkungan keluarga yang notabene menjadi komunitas terkecil dalam masyarakat berbangsa.
Ada ajaran kebajikan yang mengatakan, jika ingin menjadi bangsa bermartabat, maka perbaikilah perilaku pemimpinnya. Jika ingin memperbaiki moral pemimpin, tatalah peradaban masyarakatnya. Jika ingin memperbaiki kualitas masyarakat, maka perbaikilah moral keluarganya. Jika moral keluarga sudah baik, maka baik pula tatanan masyarakatnya, kualitas pemimpinnya, dan martabat bangsanya.
Ahmad Fauzi juga mengupas falsafah dunia pewayangan yang merumuskan delapan sifat manusia bijaksana atau dikenal Asta Brata. Asta Brata diadopsi dari delapan simbol alam yang bisa dijadikan pedoman moral bagi para hakim dalam tugasnya. Pertama, sifat api yang bermakna tegas dan bersemangat. Seorang hakim harus memiliki ketegasan dan independensi dalam menuntaskan kasus hukum. Tidak boleh ada intervensi dari pihak manapun yang dapat memengaruhi penanganan perkara. Demi integritas, sebesar apa pun iming-iming dari pihak yang beperkara harus ditolak secara tegas. Kedua, sifat angin yang bermakna dinamis dan menyegarkan. Seorang hakim dituntut untuk selalu menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Tujuannya agar produk putusan yang dihasilkan mencermikan rasa keadilan. Ketiga, sifat awan yang identik dengan kewibawaan. Seorang hakim dikatakan berwibawa jika tidak mau berkooperasif dengan siapa saja (independent), tidak diskriminatif (equality), dan terbuka dari segala masukan dari masyarakat. Keempat, sifat bintang. Bintang sering dijadikan kompas bagi para pelaut yang tersesat. Artinya, perilaku hakim harus mencerminkan keteladanan bagi keluarga dan masyarakat. Kelima, sifat bulan yang berarti penerang kegelapan. Peran hakim memberi cahaya bagi perjalanan bangsa Indonesia sebagai negara hukum. Keenam, sifat matahari yang mencerminkan kedisiplinan. Dalam bekerja, hakim dituntut untuk disiplin dalam segala hal. Contohlah sifat matahari yang meskipun cuaca mendung, tapi demi menjalankan tugas ia tetap terbit tepat waktu. Disiplin kerja ditumbuhkan bukan di atas rasa takut ; takut remunerasinya dipotong, takut ditegur pimpinan, atau takut raportnya jelek. Tetapi semata-mata atas kesadaran moral sebagai abdi Negara. Ketujuh, sifat samudera. Samudera adalah simbol keluasan pikiran dan muara bagi sungai. Hakim dituntut untuk memiliki wawasan hukum yang luas. Setiap perkara ditinjau secara holistik dengan maksud menghindari kesalahan penerapan hukum. Kedelapan, sifat bumi .yang identik dengan kesabaran dan kasih sayang. Citra negatif bahwa penegak hukum cenderung jarang senyum memang tidak bisa disangkal. Ini disebabkan karena dalam kesehariannya bergelut dengan perkara atau kasus yang membutuhkan kerja berpikir keras.[32]

E. Peningkatan Kesejahteraan Aparat Penegak Keadilan
Semangat untuk menegakkan kode etik/moral bagi hakim tanpa dibarengi dengan kebijakan pemerintah dengan memberikan gaji dan fasilitas yang cukup kepada hakim, seperti menegakkan benang yang basah. Perlu dipahami, bahwa hakim dalam UU disebut sebagai pejabat Negara. Namun fasilitas dan penggajiannya tidak mencerminkan pejabat negara. Ketika PNS setiap tahun naik gaji, hakim tidak demikian.
Mantan Ketua KPK Taufiequrrahman Ruki pernah menyampaikan bahwa reformasi aparatur peradilan bisa dilakukan salah satunya dengan pemuliaan hakim, yaitu jadikan hakim sebagai the honourable, yang dimuliakan dengan memberi gaji, upah, tunjangan dan fasilitas terbaik bagi hakim.
Achmad Fauzi, Hakim Pengadilan Agama Kotabaru, Kalsel dalam tulisannya yang mengupas habis potret hakim di Indonesia, yang notabene Hakim adalah Pejabat Negara namun ironisnya kehidupan mereka banyak yang tidak memiliki rumah dinas. Jika musim hujan kontrakannya kebanjiran dan harusmenggulung karpet. Ke kantor naik becak, angkot atau jalan kaki karena tidak ada kendaraan dinas, terkadang harus “menyekolahkan” SK ke bank untuk memperoleh pinjaman. Sungguh sangat memprihatinkan. Mereka sangat rentan menerima suap jika tidak memilik kesadaran moral yang tinggi.[33] 
Secara mengejutkan, tulisan Achmad Fauzi tersebut berimplikasi terhadap para hakim untuk membuat group di facebook yang mereka beri nama “Rencana Peserta Aksi Hakim Indonesia Menggugat Presiden dan DPR” yang digagas oleh Andi Norvyta, untuk menggambarkan nasib hakim di Indonesia. 
Narasi di atas memang itulah realita yang ada, bukan hanya hakim saja, namun aparat penegak hukum yang lain juga demikian halnya dari jaksa maupun polisi.  
D. Sosialisasi, penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum ( socialization and promulgation of law )
Menurut Achmad Ali, sosialisasi undang-undang merupakan proses penting dalam law enforcement, karena bertujuan :
1) Bagaimana agar warga masyarakat dapat mengetahui kehadiran suatu undang atau peraturan;
2) Bagaimana agar warga masyarakat dapat mengetahui isi suatu undang-undang atau Peraturan ;
3) Bagaimana agar warga masyarakat dapat menyesuaikan diri (pola pikir dan tingkah laku) dengan tujuan yang dikehendaki oleh undang-undang atau peraturan hukum tersebut[34].
Bahkan Mahkamah Agung terlebih dahulu memulai untuk mensosialisasikan hukum melalui KMA 144/2007 Tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan, telah membuka akses yang seluas-luasnya  bagi masyarakat untuk memperoleh informasi, mulai dari publikasi putusan, transparansi anggaran dan biaya perkara, pos bantuan hukum, standar operasional prosedur beracara, hingga prosedur pengaduan bagi yang tidak puas atas pelayanan peradilan.

IV. KESIMPULAN
Dari pembahasan tersebut di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa konsep strategi penegakan hukum di Indoneia adalah sebagai  berikut :
1. Realitasnya Penegakan Hukum di Indonesia masih banyak menemui masalah dan kendala baik itu dari sistem peradilannya, perangkat hukumnya, inkonsistensi penegakan hukum, intervensi kekuasaan, maupun perlindungan hukum .
2. Untuk menyikapi dan menyelesaikan berbagai masalah tersebut diperlukan langkah-langkah/strategi agar Penegakan Hukum di Indonesia benar-benar dijalankan sesuai dengan harapan Undang-Undang dan masyarakat Indonesia pada umumnya, adapun beberapa strateginya antara lain :
a. Lembaga Kekuasaan Kehakiman dan Lembaga Penegak Hukum di Indonesia harus Independen.
b. Pembaharuan Peraturan Perundang-undangan ( the legislation of law atau law and rule making ).
c.  Peningkatan Pelayanan Hukum dan Kualitas Aparatur Hukum.
d. Peningkatan Kesejahteraan Aparat Penegak Keadilan.
e. Sosialisasi, penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum ( socialization and promulgation of law ).

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur 'an dan Terjemahnya, 1984, Departemen Agama RI, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur,an,. Jakarta.
Ali Mansyur, 2010, Pranata Hukum dan Penegakannya di Indonesia cet.pertama, Unissula Press,Semarang.
Achmad Ali, 1998, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Jakarta,  PT Yarsif Watampone.
Abdul Hakim Garuda Nusantara, 1988, Politik Hukum Indonesia, LBHI, Jakarta.
A.M. Mujahidin, 2005, Kemandirian Lembaga Peradilan Dalam Upaya Penegakan Hukum Di Indonesia  : Studi atas Penerapan Konsep One Roof System Lembaga Peradilan di Bawah Kekuasaan Mahkamah Agung, Majalah 10 Mimbar Hukum No. 66 tahun XVI , Al Hikmah & DITBINPERA Islam, Jakarta.
A.Hassan , 2002, Tarjamah Bulughul –Maram cetakan ke XXVI,  CV Penerbit Diponegoro, Bandung.
Farouk Muhammad, 2003, Menuju Reformasi Polri, cet. Pertama , PTIK Press bekerjasama dengan CV Restu Agung, Jakarta.
Lawrence Friedman, 1984 , “American Law”, London: W.W. Norton & Company.
Lili Rasjidi, 1993, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, cet. Ke VI., Citra Aditya Bakti, Bandung.
Mahfud MD, 1998, Hukum dan Kekuasaan, Menegakkan Supremasi Hukum Melalui Demokratisasi, cet.pertama, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Muladi, Penegakan Hukum Pasca Refoemasi Di Indonesia, Artikel, Jurnal Keadilan. Vol. 1 No. 3.
Paulus E. Lotulung, 2003, makalah berjudul  “ Kebebasan Hakim Dalam Sistim Penegakan Hukum “ yang disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII di Denpasar, Bali.
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum. 
Satijpto Rahardjo, 2006, Membedah Hukum Progresif, cetakan pertama, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
----------------------, 1980, Hukum dan Masyarakat, cetakan ke empat, Penerbit Angkasa, Bandung.
------------------------------, 1993, 2001, Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar Baru, Bandung.
Sudikno Mertokusumo, 1993 , “Bab-bab Tentang Penemuan Hukum”, Citra Aditya Bakti, Yogyakarta.
------------------------------, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, edisi keempat,  Liberty, Yogyakarta.
UU R.I. Nomor 3 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
www.ifip.com.     
www.solusihukum.com.
www.mahkamah agung.go.id






[1]   Al-Qur 'an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur,an,. Jakarta ,1984.
[2] Prof.DR.H.M.Ali Mansyur,S.H.,Sp.N.,M.Hum., Pranata Hukum dan Penegakannya di Indonesia,Unissula Press,Semarang,cet.pertama 2010 hal.75.
[3] Dr. Soedjono Dirdjosisworo, S.H ,Pengantar Ilmu Hukum, hal 155. 
[4] www.solusihukum.com.2
[5] Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar Baru, Bandung, 1993, hal. 15.
[6] Sudikno Mertokusumo, “Bab-bab Tentang Penemuan Hukum”, (Yoyakarta: Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 2.
[7] Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar Baru, Bandung, 1993, hal. 15.

[8] Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, cet. Ke VI, 1993, hal. 80.
[9] Ibid, hal.82.3
[10] Mahfud MD, Hukum dan Kekuasaan, Menegakkan Supremasi Hukum Melalui Demokratisasi, cet.pertama, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1998, hal.50.
[11] Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Penerbit Angkasa, Bandung, cetakan ke empat, Pebruari 1980, hal. 65.
[12] www.Ifip.com.
[13] Satijpto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, cetakan pertama, agustus 2006, hal.15.
[14] www.mahkamah agung.go.id.
[15] Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Indonesia, LBHI, Jakarta, 1988, hal 45 - 46
[16] Muladi, Penegakan Hukum Pasca Refoemasi Di Indonesia, Artikel, Jurnal Keadilan. Vol. 1 No. 3,
September 2001.
[17] Lawrence Friedman, “American Law”, (London: W.W. Norton & Company, 1984), hal. 6.
[18] Ibid, hal. 7.
[19] Farouk Muhammad, Menuju Reformasi Polri, PTIK Press bekerjasama dengan CV Restu Agung, Jakarta, cet. Pertama, April 2003, hal. 103.
[20] Ibid, hal 107.
[21] Ibid, hal.108
[22] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, edisi keempat, Agustus 1993, hal.18.
[23] A.M. Mujahidin, Kemandirian Lembaga Peradilan Dalam Upaya Penegakan Hukum Di Indonesia  : Studi atas Penerapan Konsep One Roof System Lembaga Peradilan di Bawah Kekuasaan Mahkamah Agung, Majalah 10 Mimbar Hukum No. 66 tahun XVI , Al Hikmah & DITBINPERA Islam, Jakarta, September-Oktober 2005, hal.26.
[24] Paulus E. Lotulung, makalah berjudul  “ Kebebasan Hakim Dalam Sistim Penegakan Hukum “ yang disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII di Denpasar, Bali, tanggal 14 Juli 2003
[25] Ibid

[26] Lihat pasal 32A UU R.I. Nomor 3 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
[27] Ibid.13


[31] A.Hassan , 2002, cetakan ke XXVI, Tarjamah Bulughul –Maram ,  Bandung,  CV Penerbit Diponegoro hal.637.
[32] www.primaironline.com

[34]  Achmad Ali, 1998, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Jakarta,  PT Yarsif Watampone