Perbandingan
Hukum
Perjanjian
Dalam Sistem Hukum Islam
dengan
Sistem Hukum Eropa Kontinental
oleh:
Hj.Awaliatun Nikmah,S.Ag.
I.
PENDAHULUAN
Istilah perjanjian dalam bahasa Arab lazim disebut عقد berasal dari عقد –يعقد - عقدyang
berarti mengikat, mengumpulkan.[1] عقد yang asal katanya berarti mengikat, mengumpulkan
ini pengertiannya adalah “mengumpulkan dua tepi tali dan mengikat salah satunya
dengan yang lain hingga bersambung, lalu keduanya bersambung menjadi sebagai
sepotong benda.[2] Para fuqaha memakai juga istilah akad untuk
sumpah, perjanjian maupun persetujuan jual beli.
Adapun menurut istilah syara’, Dr. as- Sanhury dalam kitabnya Nazariyyah
al- ‘Aqd mengutip dari kitab Mursyid al- Hairan sebagai
berikut:
العقد هو عبارة إرطباط الإيجاب الصّادر من إحد العاقدين بقبول الآخر على وجه يثبت أثره في المعقود
عليه [3]
Dalam istilah lain, Ahmad Azhar Basyir mendefinisikan akad sebagai berikut:
“ Suatu perikatan antara ijab dan kabul dengan cara yang dibenarkan syara’ yang
menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada objeknya. Ijab adalah pernyataan
pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan sedang kabul adalah
pernyataan pihak kedua untuk menerimanya”.[4]
Dengan memperhatikan pengertian-pengertian di atas, dapat diketahui bahwa
akad merupakan suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua belah pihak
berdasar kesediaan masing-masing dan mengikat pihak-pihak di dalamnya dengan
beberapa hukum syara’ yaitu hak dan kewajiban yang diwujudkan oleh akad
tersebut.
Selain itu ada pula yang memberi pengertian akad lebih luas, mencakup juga
segala tindakan orang yang dilakukan dengan niat dan keinginan kuat dalam hati,
meskipun merupakan keinginan satu pihak seperti wakaf, hibah dan sebagainya.[5]
Akad yang merupakan perikatan ijab dan kabul ini merupakan salah satu sebab
tamallu’ (memiliki) harta benda yang hukumnya diperbolehkan dalam Islam.
Sebagai dasar hukumnya secara umum dapat ditelusuri dari firman Allah:
$ygr'¯»t
úïÏ%©!$#
(#qãYtB#uä
w
(#þqè=à2ù's?
Nä3s9ºuqøBr&
Mà6oY÷t/
È@ÏÜ»t6ø9$$Î/
HwÎ)
br&
cqä3s?
¸ot»pgÏB
`tã
<Ú#ts?
öNä3ZÏiB
4
wur
(#þqè=çFø)s?
öNä3|¡àÿRr&
4
¨bÎ)
©!$#
tb%x.
öNä3Î/
$VJÏmu
ÇËÒÈ
Artinya : Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu.Sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu.[6]
Ayat di atas memberi pengertian, bahwa hukum asal dalam memiliki harta
orang lain atau menghalalkan memiliki harta orang lain adalah kerelaan
pemiliknya, baik secara tukar menukar, jual beli maupun dengan jalan pemberian.
Adapun definisi perjanjian secara umum adalah telah diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu bahwa perjanjian atau persetujuan adalah
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang lain atau lebih. Kata persetujuan tersebut merupakan terjemahan dari
perkataan overeekomst dalam bahasa Belanda. Kata overeekomst tersebut lazim
diterjemahkan juga dengan kata perjanjian. Jadi persetujuan dalam tersebut sama
artinya dengan perjanjian.[7]
Perjanjian merupakan terjemahan dari
oveereenkomst sedangkan perjanjian merupakan terjemahan dari toestemming yang ditafsirkan sebagai
wilsovereenstemming (persesuaian kehendak/kata sepakat).
Perbedaan pandangan dari para sarjana tersebut di atas, timbul karena
adanya sudut pandang yang berbeda, yaitu pihak yang satu melihat objeknya dari
perbuatan yang dilakukan subyek hukumnya. Sedangkan pihak yang lain meninjau
dari sudut hubungan hukum. Hal itu menyebabkan banyak sarjana yang memberikan
batasan sendiri mengenai istilah perjanjian tersebut. Menurut pendapat yang
banyak dianut (communis opinion cloctortinz) perjanjian adalah perbuatan hukum
berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum. Hal itu
sependapat pula dengan Sudikno, "perjanjian merupakan hubungan hukum
antara dua pihak atau lebih berdasar kata sepakat untuk menimbulkan suatu
akibat hukum".[9]
Menurut Subekti, suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana
seseorang berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji
untuk
R. Setiawan, menyebutkan bahwa perjanjian ialah suatu perbuatan hukum di
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih.[11]
Sedangkan pengertian “ Sistem
Hukum “ menurut Subekti adalah suatu susunan atau tatanan yanng teratur,
keseluruhan yang berkaitan satu sama lain yang merupakan hasil dari suatu
pemikiran untuk mencapai suatu tujuan, yang terpola dan menurut rencana.
Sedangkan menurut
Mariam Darus Badrulzaman, sistem sebagai sebuah kumpulan asas-asas yang
terpadu, yang merupakan landasan dimana dibangunnya tertib hukum. Peraturan
hukum di masyarakat merupakan suatu sistem hukum karena terkait dengan
sendi-sendi kehidupan masyarakat. Sistem hukum nasional dipengaruhi oleh 3
sistem hukum, yaitu sistem hukum Adat, sistem hukum Barat, dan sistem hukum
Islam.
II.
PERMASALAHAN
Sebelum Belanda datang
ke Indonesia, hukum adat menjadi sumber hukum yang berlaku di masyarakat pada
umumnya. Hukum adat umumnya tidak tertulis dan berlaku sesuai norma dan
ketentuan-ketentuan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dalam menjalankan
kehidupan sehari-harinya. Hukum adat bersifat komunal, dan merupakan cermin
kehidupan suatu bangsa dari waktu ke waktu. Hukum adat di Indonesia pertama
kali diperkenalkan oleh Cornelis Snouck Hoorgronje di Indonesia dari bahasa
Belanda “Adatrecht” yang selanjutnya oleh Van Vollenhoven diberikan istilah
baru akan hukum adat tersebut yaitu ‘hukum juridis’.
Snouck dalam bukunya
menuliskan sebuah teori yang terkenal yaitu Receptie, dimana Snouck menyebutkan
bahwa orang Indonesia yang telah diterima oleh hukum adatlah yang dapat
dikenakan hukum Islam oleh Belanda pada zaman kolonialismenya. Snouck juga
menunjukkan bagaimana hukum yang berkembang di Aceh adalah merupakan hukum adat
yang mempunyai konsekuensi hukum. Hukum adat di Indonesia adalah hukum
Statutair, yaitu hukum kebiasaan yang mengandung sebagian kecil hukum Islam.
Van Vollenhoven kemudian mengelompokkan hukum di Indonesia dalam 19 lingkaran
hukum adat yang terbagi menurut letak geografis Indonesia. Namun, hal itu
berubah semenjak Belanda datang ke Indonesia dengan status kolonial.
Pada zaman penjajahan
Belanda, hukum yang berlaku di Indonesia bukan hanya hukum adat yang dipegang
oleh masyarakat setempat, namun juga ditambahkan dengan hukum yang berlaku di
negeri Belanda. Semua orang Indonesia dan orang Asia Timur lainnya yang tinggal
di Indonesia dikenakan hukum adat sedangkan bagi golongan Eropa yang tinggal di
Indonesia dikenakan hukum Belanda.
Sistem hukum Barat
bersifat individualistik dan berbeda dengan hukum adat. Pada zaman penjajahan
Belanda, hukum Barat digunakan hanya untuk masyarakat Eropa yang tinggal di
Indonesia. Contoh dari hukum Belanda ini adalah hukum privat atu hukum perdata
di Indonesia atau Burgerlijk Wetboek. Berlakunya BW (singkatan Burgerlijk
Wetboek) di Indonesia ini tercantum dalam pasal 131 IS yang menyatakan bahwa
bagi setiap orang Belanda/Eropa yang menetap di Indonesia akan diberlakukan
hukum perdata dari Belanda. Untuk hukum Pidana, pada masa penjajahan Belanda,
terdapat 2 hukum pidana yang diterapkan oleh Belanda. Yaitu hukum pidana bagi
orang-orang Eropa (Wetboek Van Strafrecht Voor Europeanen) yang diterapkan
mulai 1 Januari 1867, dan (Wetboek Van Strafrecht Voor Inlander) yang mulai
berlaku sejak 1 Januari 1873. Terdapat perbedaan dalam dua hukum pidana ini.
Hukum pidana untuk orang-orang Eropa mempunyai ancaman pidana yang lebih ringan
dari hukuman untuk orang-orang pribumi/inlanders pada masa itu. Pada masa
pendudukan Jepang, hukum perdata Belanda ini masih digunakan karena Jepang
sendiri hanya berada di Indonesia selama 3 tahun.
Hukum Islam di
Indonesia ada semenjak sebelum Belanda hadir di Indonesia dengan bukti adanya
kerajaan Islam besar Samudra Pasai dengan ahli agama Islam Sultan Malikul
Zahir. Selain itu masih banyak kerajaan-kerajaan Islam lainnya yang menggunakan
hukum Islam ketika penjajah datang ke Indonesia. Contohnya adalah perlawanan
pasukan pangeran Dipenogoro kepada Belanda yang dimaksudkan untuk
mempertahankan hukum Islam di wilayahnya. Hal ini didukung oleh teori Receptio
in Complexu yang ditemukan oleh pemikir-pemikir Belanda seperti Carel Frederik
Winter dkk yang menyatakan bahwa dalam setiap kehidupan penduduk, berlaku hukum
agama mereka masing-masing, hingga akhirnya teradapat teori eksistensi yang
menjelaskan posisi hukum Islam didalam hukum nasional Indonesia.
Dari ketiga sistem
hukum diatas, dapat dilihat bahwa ketiganya mempengaruhi sistem hukum nasional
Indonesia semenjak kemeredekaannya dalam UUD 1945 hingga kini. Hukum adat
mempengaruhi hukum nasional dalam ketatanegaraan, hukum adat mengenai warga
(perwalian sanak, tanah, perhutangan dkk) dan hukum adat mengenai delik atau
pidana. Sedangkan hukum Barat peninggalan kolonial sangat berpengaruh besar
dalam hukum tertulis nasional Indonesia semenjak kemerdekaannya. Terutama dalam
hukum perdata yang hingga saat ini masih menggunakan BW peninggalan Belanda dan
diatur dalam Aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945. Hukum Islam juga
berlaku di Indonesia dimana tidak bisa dipungkiri keberadaannya. Karena hukum
nasional Indonesia sendiri sangat kental kaitannya dengan kaidah-kaidah Islam
yang bersumber kepada Al-Quran, Al Hadist, Ijmadan Qiyas serta mengenal sistem
wajib, sunnah, haram, mubah dan makruh.
Ketiga elemen sistem
hukum tersebut kemudian membentuk sistem hukum nasional Indonesia yang berlaku
di Indonesia hingga saat ini atau Ius Constitutum. Ius constitutum sendiri
merupakan hukum positif yang berlaku pada waktu tertentu dan wilayah tertentu.
Hukum positif Indonesia terdiri dari hukum tertulis dan hukum tidak tertulis.[12]
Dari sinilah penulis
ingin mengetahui dengan adanya tiga sistem hukum di Indonesia tentu ada
perbedaan aturan yang dimiliki oleh masing-masing sistem hukum karena
perbedaaan historis/latar belakang kelahirannya dll, namun demikian tentu ada
pula persamaannya. Disini penulis ingin membahas secara khusus hanya mengenai
masalah hukum perjanjian di dalam Sistem Hukum Islam dan perjanjian dalam Sistem
Hukum Eropa Kontinental, adakah persamaannya atau perbedaannya, kemudian
menganalisa dari adanya persamaan dan perbedaan tersebut.
III. PEMBASANAN
A. Perjanjian Dalam Hukum Islam
Perjanjian dalam hukum Islam dikenal dengan
istilah al-’aqd yang berarti perikatan, perjanjian,
permufakatan. Secara terminologi fiqh akad didefinisikan dengan :
”Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan)
dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang
berpengaruh pada objek perikatan”
Pencantuman kalimat ”dengan kehendak syariat” maksudnya
adalah seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak
dianggap sah apabila tidak sejalan dengan kehendak syara’. Misalnya,
kesepakatan untuk melakukan transaksi riba, menipu orang lain, atau merampok
kekayaan orang lain.
Sedangkan pencatuman kalimat ”berpengaruh pada objek perikatan”
maksudnya terjadi perpindahan pemilikan/hak dari satu pihak (yang
melakukan ijab) kepada pihak lain (yang melakukan qabul).[13]
Rukun Akad
Terdapat perbedaan pendapat
ulama fiqh dalam menentukan rukun suatu akad. Jumhur ulama menyatakan bahwa
rukun akad adalah : [14]
|
||
-
|
pernyataan untuk mengikatkan
diri (shighat al-’aqd).
|
|
-
|
pihak-pihak yang berakad (al-muta’aqidain).
|
|
-
|
Objek akad (al-ma’qud ’alaih).
|
|
Syarat-syarat Akad
|
||
-
|
Kedua orang yang melakukan akad
cakap bertindak (ahli), tidak sah orang yang tidak cakap bertindak, seperti
orang gila, orang yang berada dibawah pengampuan (mahjur) karena boros
dan lainnya.
|
|
-
|
Yang dijadikan objek akad dapat
menerima hukumnya.
|
|
-
|
Akad diizinkan oleh syara’,
dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya walaupun dia bukan aqid yang
memiliki barang.
|
|
-
|
Akad itu bukan akad yang
dilarang syara’.
|
|
-
|
Ijab itu berjalan terus, tidak
dicabut sebelum terjadinya kabul. Maka bila seseorang yang berijab menarik
kembali ijabnya sebelum kabul, maka batallah ijabnya.
|
|
-
|
Ijab dan kabul mesti bersambung
sehingga bila seseorang yang berijab sudah berpisah sebelum adanya kabul,
maka ijabnya tersebut menjadi batal.
|
|
Para ulama fiqh menetapkan
bahwa akad yang telah memenuhi rukun dan syaratnya mempunyai kekuatan
mengikat terhadap para pihak yang berakad. Setiap manusia memiliki kebebasan
untuk mengikatkan diri pada suatu akad dan wajib dipenuhi segala akibat hukum
yang ditimbulkan akad itu. Hal ini sejalan dengan firman Allah :
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr& Ïqà)ãèø9$$Î/ 4 ôM¯=Ïmé& Nä3s9 èpyJÍku5 ÉO»yè÷RF{$# wÎ) $tB 4n=÷Fã öNä3øn=tæ uöxî Ìj?ÏtèC Ïø¢Á9$# öNçFRr&ur îPããm 3 ¨bÎ) ©!$# ãNä3øts $tB ßÌã ÇÊÈ
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, penuhilah
aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan
kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu
sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut
yang dikehendaki-Nya”.[17]
Ulama Hanafiah dan Syafi’iyah
berpendapat bahwa setiap orang yang melakukan akad bebas untuk mengemukakan
dan menentukan syarat, selama syarat itu tidak bertentangan dengan kehendak
syara’ dan tidak bertentangan pula dengan hakikat akad. Sedangkan menurut
ulama Hanabilah dan malikiyah, pihak-pihak yang berakad bebas mengemukakan
persyaratan dalan suatu akad selama syarat-syarat itu bermanfaat bagi kedua
belah pihak.
|
||
Para ulama menyatakan suatu
akad dapat berakhir apabila :
|
||
-
|
Berakhirnya masa berlaku akad
tersebut, apabila akad tersebut memiliki tenggang waktu.
|
|
-
|
Dibatalkan oleh pihak-pihak
yang berakad, apabila akad itu sifatnya tidak mengikat.
|
|
-
|
Dalam akad yang bersifat
mengikat, suatu akad dianggap berakhir jika :
|
|
|
-
|
jual beli itu fasad, seperti terdapat
unsur-unsur tipuan, salah satu rukun atau syarat tidak terpenuhi.
|
|
-
|
Berlakunya Khiyar.
|
|
-
|
Akad itu tidak dilaksanakan
oleh salah satu pihak.
|
|
-
|
Tercapainya tujuan akad itu
secara sempurna.
|
|
-
|
Salah satu pihak yang berakad
meninggal dunia untuk akad-akad tertentu misalnya: sewa-menyewa, ar-rahn,
al-wakalah, al-kafalah.
|
B. Perjanjian Dalam Hukum Eropa Kontinental
-
|
Perjanjian dan
|
-
|
Undang-undang.
|
”Suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau
lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain
berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi”.
-
|
Menyerahkan suatu barang.
|
-
|
Melakukan suatu perbuatan.
|
-
|
Tidak melakukan suatu perbuatan.
|
-
|
Adanya dua pihak atau lebih.
|
-
|
Adanya kata sepakat diantara para pihak.
|
-
|
Adanya akibat hukum yang ditimbulkan berupa hak dan kewajiban atau
melakukan suatu perbuatan.
|
Syarat-syarat objek perikatan/prestasi
Objek perikatan atau prestasi harus memenuhi
syarat-syarat:
-
|
Harus tertentu dan dan dapat ditentukan.
|
-
|
Objeknya diperkenankan.
|
-
|
Prestasinya dimungkinkan.
|
Syarat sahnya suatu perjanjian
Untuk syarat sahnya suatu perikakatan/perjanjian
ditetapkan pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:
-
|
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
|
|
-
|
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan orang yang tidak cakap membuat
perjanjian adalah :
|
|
|
-
|
Orang-orang yang belum dewasa.
|
|
-
|
Dibawah pengampuan.
|
|
-
|
Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan UU, dan semua orang kepada
siapa UU telah melarang membuat perjanjian tertentu.
|
-
|
Suatu hal tertentu yang diperjanjikan.
|
|
-
|
Suatu sebab yang halal (menurut UU).
|
Kemerdekaan/kebebasan membuat perjanjian
Hukum perjanjian menganut sistem terbuka artinya
bahwa setiap orang boleh membuat perjanjian mengenai apa saja baik yang sudah
ada ketentuan dalam UU maupun yang belum ada ketentuannya, asalkan tidak
melanggar UU, ketertiban umum dan kesusilaan.
Hukum perjanjian bersikap sebagai hukum pelengkap,
artinya pasal-pasal dalam buku III KUH Perdata dapat dikesampingkan berlakunya
manakala para pihak membuat ketentuan sendiri.
Berakhirnya perjanjian :
-
|
Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak.
|
-
|
UU menentukan batas berlakunya perjanjian.
|
-
|
Para pihak atau UU dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa
tertentu maka perjanjian akan hapus.
|
-
|
Pernyataan penghentian perjanjian.
|
-
|
Perjanjian hapus karena putusan hakim.
|
-
|
Tujuan perjanjian telah tercapai.
|
-
|
Dengan perjanjian para pihak.
|
C. Persamaan Hukum Perjanjian Dalam Sistem Hukum Islam dengan
Sistem Hukum Eropa Kontinental
Secara umum terlihat banyak kesamaan tentang hukum
perjanjian antara kedua sistem hukum tersebut (seperti pada uraian diatas).
Keduanya mengatur tentang unsur-unsur perjanjian,
syarat-syarat perjanjian, kebebasan membuat perjanjian dan berakhirnya suatu
perjanjian. Walaupun terdapat perbedaan dalam rinciannya yang disebabkan
filosofi hukum, istilah yang digumnakan, sumber hukum dan proses
pencarian kedua hukum tersebut.
D. Perbedaan Hukum Perjanjian Dalam Sistem Hukum Islam dengan
Sistem Hukum Eropa Kontinental
Secara garis besar perbedaan yang sangat relevan
dan signifikan tentang perjanjian antara kedua sistem hukum tersebut adalah :
-
|
Perjanjian menurut hukum Islam sah bila tidak bertentangan dengan syariat sedangkan menurut hukum eropa kontinental perjanjian
sah bila tidak bertentangan dengan UU.
|
-
|
Subjek perjanjian menurut hukum Islam adalah mukalaf yang
ahli (baik laki-laki atau perempuan) dan tidak dalam pengampuan sedangkan
dalam hukum eropa kontinental selain disyaratkan dewasa dan dan tidak dalam pengampuan,
wanita yang menjadi istri tidak mempunyai hak untuk mengikatkan diri tanpa
adanya izin dari suami (pasal ini tidak berlaku di RI dengan SE MA no. 1
tahun 1963).
|
-
|
Dalam Islam secara tegas dinyatakan perjanjian tidak boleh
mengandung riba, ghoror dan maisyir. Dalam
hukum eropa kontinental ini tidak diatur dengan rinci.
|
E. Analisa Perbandingan Hukum Perjanjian Dalam Sistem Hukum Islam dengan
Sistem Hukum Eropa Kontinental
Secara umum hukum perjanjian dalam kedua
sistem hukum tersebut memiliki banyak kesamaan Keduanya mengatur tentang
unsur-unsur perjanjian, syarat-syarat perjanjian, kebebasan membuat perjanjian
dan berakhirnya suatu perjanjian. Walaupun terdapat perbedaan dalam
rinciannya yang disebabkan filosofi hukum, istilah yang digunakan, sumber hukum
dan proses pencarian kedua hukum tersebut.
Hukum Islam bersumber dari al-Qur’an dan Hadits
sedangkan hukum eropa kontinental bersumber dari Statue Law (hukum
tertulis) yang sangat dipengaruhi pandangan hidup manusia pembuatnya yang
sangat subjektif.
Walaupun ciri khas hukum eropa kontinental
produk-produk hukumnya terkodifikasi dalam suatu hukum tertulis (UU) tapi
khusus untuk perjanjian UU hanya sebagai pelengkap dari perjanjian, atau
berlaku agium Lex specialis derogate lex generalis dimana lex
spesialis adalah isi perjanjian tersebut dan lex generalis UU.
Berlaku pula asas pacta sunt servanda, bahwa perjanjian
berlaku laksana UU bagi mereka yang membuat. Hal ini serupa dengan sifat
kebebasan menentukan syarat dalam akad pada hukum Islam, bahwa setiap orang
yang melakukan akad bebas untuk mengemukakan dan menentukan syarat, selama
syarat itu tidak bertentangan dengan kehendak syara’ dan tidak bertentangan
pula dengan hakikat akad, pihak-pihak yang berakad bebas mengemukakan
persyaratan dalam suatu akad selama syarat-syarat itu bermanfaat bagi kedua
belah pihak.
Kemaslahatan yang ingin dicapai hukum eropa
kontinental adalah melindungi kesusilaan dan kepentingan umum sedang hukum
Islam juga berusaha mewujudkan hal tersebut yang dikenal dalam Maqasidul
Syariah (melindungi agama, jiwa, akal, kehormatam dan harta), karena
aspek melindungi agama ini menurut hemat penulis hukum Islam berbeda dengan
hukum lainnya termasuk juga dalam hukum perjanjian, makanya dalam perikatan
Islam tidak boleh mengandung riba, maisyir dan ghoror yang
dilarang dalam syariat.
III.
KESIMPULAN
Dari pembahasan
tersebut di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa Perbandingan Hukum
Perjanjian Dalam Sistem Hukum Islam dengan Sistem Hukum Eropa Kontinental adalah sebagai
berikut :
1. Persamaannya : Keduanya mengatur tentang
unsur-unsur perjanjian, syarat-syarat perjanjian, kebebasan membuat perjanjian
dan berakhirnya suatu perjanjian.
2. Perbedaannya antara lain :
a.
Perjanjian menurut hukum Islam
sah bila tidak bertentangan dengan syariat sedangkan menurut hukum eropa kontinental perjanjian
sah bila tidak bertentangan dengan UU.
b.
Subjek perjanjian menurut hukum
Islam adalah mukalaf yang ahli (baik laki-laki atau perempuan)
dan tidak dalam pengampuan sedangkan dalam hukum eropa kontinental selain
disyaratkan dewasa dan dan tidak dalam pengampuan, wanita yang menjadi istri
tidak mempunyai hak untuk mengikatkan diri tanpa adanya izin dari suami (pasal
ini tidak berlaku di RI dengan SE MA no. 1 tahun 1963). Subjek perjanjian
menurut hukum Islam adalah mukalaf yang ahli (baik laki-laki
atau perempuan) dan tidak dalam pengampuan sedangkan dalam hukum eropa
kontinental selain disyaratkan dewasa dan dan tidak dalam pengampuan, wanita
yang menjadi istri tidak mempunyai hak untuk mengikatkan diri tanpa adanya izin
dari suami (pasal ini tidak berlaku di RI dengan SE MA no. 1 tahun 1963).c. Peningkatan Pelayanan Hukum dan Kualitas
Aparatur Hukum.
c. Dalam Islam secara tegas dinyatakan perjanjian tidak
boleh mengandung riba, ghoror dan maisyir. Dalam
hukum eropa kontinental ini tidak diatur dengan rinci.
3. Keduanya bertujuan untuk kemaslahatan, kemaslahatan yang ingin dicapai hukum eropa kontinental
adalah melindungi kesusilaan dan kepentingan umum sedang hukum Islam juga
berusaha mewujudkan hal tersebut yang dikenal dalam Maqasidul Syariah (melindungi
agama, jiwa, akal, kehormatam dan harta).
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur 'an dan Terjemahnya, 1984, Departemen Agama RI, Proyek Pengadaan
Kitab Suci Al-Qur,an,. Jakarta.
Ahmad Warson Munawwir, 1997,
al -Munawwir Kamus Arab Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka
Progressif.
‘Abd ar- Razzaq as-
Sanhury, Nazariyyah
al- ‘Aqd, Beirut: Dar al- Fikr, t.t.
Ahmad Azhar Basyir, 2000,
Asas-Asas Hukum Muamalat, Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia Press.
Hasanuddin rahmat, 2003,
Contract drafting : Seri Keteramoilan merancang kontrak Bisnis, Bandung: PT. Cipta Aditya bakti.
Hendi
Suhendi, 2002, Fiqh Muamalat, Jakarta: Rajawali Press.
M. Hasbi ash- Shiddieqy, 1997,
Pengantar Fiqh Mu’amalah, cet. I,Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Nasrun Harun, 2000, Fiqh Muamalat, Jakarta:
Gaya Media Pratama.
Nindyo Pramono, 2003, Hukum Komersil, Jakarta: PP UT.
Pasal 1313 KUH Perdata
R. Setiawan, 1999, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung: Putra Abadin.
R.Subekti, 2005, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa.
R. Setiawan, 1987, Hukum Perikatan-Perikatan Pada
Umumnya, Bina Cipta, Bandung.
Sudikno Mertokusumo, 1985, Hukum Acara Perdata
Indonesia, Liberty, Yogyakarta.
Subekti, 2001, Pokok-Pokok Hukum
Perdata, PT. Intermasa, Jakarta,
http://fellinkinanti-fisip10.web.unair.ac.id/artikel_detail-45642
[1] Ahmad Warson Munawwir, al
-Munawwir Kamus Arab Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif,
1997), hlm.953.
[2] .M. Hasbi ash- Shiddieqy, Pengantar
Fiqh Mu’amalah, cet. I, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm.26.
[3] ‘Abd ar- Razzaq as- Sanhury, Nazariyyah
al- ‘Aqd, (Beirut: Dar al- Fikr, t.t. ), hlm. 83.
[4] Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas
Hukum Muamalat, (Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia Press, 2000), hlm.
65.
[5] Ibid, hlm. 66.
[6] Q.S. An- Nisa’ ( 4 ) :29
[7] Pasal 1313 KUH
Perdata
[8] Sudikno
Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1985, hal. 97
[9] Ibid., hal.
97-98
[10] Subekti,
Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 2001, hal. 36
[11] R. Setiawan,
Hukum Perikatan-Perikatan Pada Umumnya, Bina Cipta, Bandung, 1987, hal.
49
[12]
http://fellinkinanti-fisip10.web.unair.ac.id/artikel_detail-45642
[14] Ibid, h 99
[15] Hendi
Suhendi, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Rajawali Press, 2002), h 50
[19] Hasanuddin rahmat, Contract drafting : Seri Keterampilan merancang
kontrak Bisnis, (Bandung: PT. Cipta Aditya bakti,2003), h 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar