PEMILU
SECARA LANGSUNG
DALAM
PERSPEKTIF MAQOSIDUSSYARI’AH
Oleh : Hj.
Awaliatun Nikmah, S.Ag
I.
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pemilihan Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah secara langsung (Pilkada Langsung)
diatur dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 56 ayat 1 UU No. 32 tahun
2004 menyebutkan, “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu
pasang calon yang dilaksanakan secara demokratis, langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur dan adil”. Artinya, sejak kepala daerah dipilih secara langsung
oleh rakyat, maka secara konseptual telah terjadi pergeseran pelaksanaan
kedaulatan, yang sebelumnya dilaksanakan secara tidak langsung oleh DPRD
sekarang dilakukan sendiri oleh rakyat.
Selanjutnya
tentang tata caranya diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 6/2005 tentang
Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah. Merupakan agenda baru pemerintah bagi masyarakat
daerah untuk menentukan pemimpinnya sendiri, sebagaimana pemerintah telah
sukses melaksanakan agenda besar dalam hal ini pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden secara
langsung pada tahun 2004 kemarin.
Pilihan
terhadap sistem pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan
koreksi atas pilkada terdahulu yang menggunakan sistem perwakilan oleh DPRD,
sebagaimana tertuang dalam UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan PP
No.151/2000 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan
Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Dengan demikian masyarakat
daerah benar-benar buta pengetahuan terhadap siapa pemimpinnya serta bagaimana
pemimpin tersebut memimpin mereka.
Berdasarkan
analisa, dengan digunakannya sistem pemilihan langsung menunjukan perkembangan
penataan format demokrasi daerah yang berkembang dalam kerangka liberalisasi
politik. Liberalisasi politik digelar pada masa Presiden BJ Habibie ( Masa
Pemerintahan Reformasi ) sebagai respon atas tuntutan perubahan sistem dan
format politik menyusul kejatuhan Presiden Suharto. Dengan demikian, sistem
pemilihan langsung adalah
hasil pergulatan panjang untuk menemukan format demokrasi daerah.
Peristiwa pemilihan Presiden
secara langsung yang pertama kali di Indonesia pada tahun 2004, pemilihan presiden
secara langsung tersebut merupakan fenomena baru dalam sejarah politik dan
pemerintahan di Indonesia.
Tentu
saja, dipilihnya sistem pilkada langsung mendatangkan optimisme dan
pesimisme tersendiri. Pilkada langsung dinilai sebagai perwujudan
pengembalian "hak-hak dasar" masyarakat di daerah dengan memberikan
kewenangan yang utuh dalam rangka rekrutmen pimpinan daerah sehingga
mendinamisir kehidupan demokrasi di tingkat lokal.
Pemilihan
kepala daerah dalam hukum positif adalah jaminan hak-hak dasar terbatas pada
undang-undang, kedaulatan rakyat yang penerapannya melalui
pemilihan secara langsung dengan bentuk pencoblosan gambar calon
terpilih, dan prinsip mayoritas, dalam bentuk penentuan akhir dari pemilihan
adalah suara terbanyak rakyat dalam perolehan suara.
Pemilihan Kepala Daerah yang selanjutnya di sebut Pilkada
tentu menimbulkan banyak permasalahan baik dari implikasi politik maupun dampak
sosial ekonomi baik yang menguntungkan maupun tidak. Ada beberapa
keunggulan pilkada dengan model pemilihan secara langsung.
Pertama, pilkada
secara langsung memungkinkan proses yang lebih Partisipasi. Partisipasi jelas
akan membuka akses dan kontrol masyarakat yang lebih kuat sebagai aktor yang
telibat dalam pilkada dalam arti partisipasi secara langsung merupakan
prakondisi untuk mewujudkan kedaulatan ditangan rakyat dalam konteks politik
dan pemerintahan.
Kedua, proses
pilkada secara langsung memberikan ruang dan pilihan yang terbuka bagi
masyarakat untuk menentukan calon pemimpin yang memiliki kapasitas, dan
komitmen yang kuat serta legitimate dimata masyarakat sehingga pemimpin
yang baru tersebut dapat membuahkan keputusan-keputusan yang lebih baik dengan
dukungan dan kepercayaan dari masyarakat luas dan juga diharapkan akan
terjadinya rasa tanggung jawab secara timbal balik. Sang kepala daerah lebih
merasa mendapatkan dukungan dari masyarakat, sehingga kebijakan-kebijakan tentu
saja lebih berpihak pada kepentingan dan kesejahteraan rakyat. pada saat yang
sama, rakyat juga akan lebih mendukung kebijakan-kebijakan kepala daerah sebab
mereka telah berperan secara langsung dalam pengangkatan kepala daerah.
Disamping adanya keunggulan/kelebihan Pilkada secara
langsung di atas, namun banyak juga kelemahannnya/ permasalahan yang
ditimbulkan dari Pilkada langsung tersebut. Sebagai contoh dari pelaksanaan
Pilkada di beberapa daerah selama tahun 2005, ada beberapa permasalahan yang
muncul berkaitan dengan persiapan daerah dalam penyelenggaraan pilkada,
permasalahan-permasalahan ini harus diantisipasi oleh pemerintah daerah
khususnya KPUD sebagai pelaksana Pilkada, permasalahan tersebut antara lain :
Pertama, beratnya
persyaratan pengajuan calon. Dalam UU No. 32 tahun 2004 Pasal 59 ayat 2
disebutkan bahwa hanya partai politik yang memperoleh suara 15% kursi DPRD atau
15% dari akumulasi suara sah yang diperoleh dalam pemilu legislatif yang berhak
mengajukan calon.
Pandangan
diatas sangat relefan dengan kejadian yang terjadi di beberapa daerah
termasuk daerah Bali. Dimana beberapa daerah yang ada di Bali, sekitar 80%
dimenangkan oleh PDIP sehingga daerah-daerah tersebut sulit mendapatkan dua
pasang calon.
Kedua, sistem dua
putaran yang dianut ternyata dijadikan sarana dibeberapa daerah untuk
mengajukan anggaran pilkada secara berlebihan. Di Surabaya misalnya, KPUD
mengajukan anggaran dua putaran, dan disetujui oleh DPRD kota Surabaya sekitar
36 milyar, dari dana ini, 23 milyar diantaranya dianggarkan untuk putaran
pertama dan selebihnya dianggarkan untuk putaran kedua. Padahal, disurabaya
tidak mungkin terjadi putaran kedua sebab calon yang ada tidak lebih dari empat
pasang.
Ketiga, maraknya
praktik-praktik money politics. Pilkada langsung ternyata tidak bisa
menghilangkan praktik money politics dimasyarakat, yang sebelumnya
berada pada tingkat DPRD. Bagi beberapa golongan, praktik money politics
menjadi sesuatu yang lumrah. Di jawa timur misalnya, ada tradisi pada saat
pemilihan kepala desa masing-masing calon harus menyediakan uang pengganti
kerja bagi para konstituen, yang besarnya tergantung kemampuan masing-masing
calon. Di beberapa daerah, kegiatan money politics ini malah
“dilegalkan”, karena diatur melalui musyawarah di tingkat panitia untuk
memutuskan berapa uang pengganti yang harus di bayar oleh masing-masing calon.
Hasil penelitian Pusat Studi Demokrasi dan PuSDeHAM menunjukkan bahwa
Surabaya masih cukup besar pemilih ditingkat desa mengharapkan imbalan materi
pada saat pilkada.
Keempat, cara
pemilihan kepala daerah dengan menempatkan figur sebagai pertimbangan utama
dalam menentukan pilihan kepala daerah. konsekuensi dari cara pemilihan semacam
akan meningkatkan ketegangan hubungan antar pendukung pasangan calon sebab
penerimaan dan penolakan terhadap pasangan calon dalam konteks kultur Indonesia
lebih banyak disebabkan oleh hubungan yang bersifat emosional ketimbang
rasional.
Kelima,Besarnya
daerah pemilihan, yaitu seluruh wilayah propinsi untuk pemilihan gubernur dan
seluruh wilayah kabupaten untuk pemilihan bupati, menyebabkan proses
pelaksanaan kampanye sulit dikendalikan.
Keenam,
ketidaksiapan pemilih untuk menerima kekalahan calon yang diunggulkan. Dibeberapa
daerah yang telah melakukan pemilihan kepala daerah secara langsung, kejadian
seperti ini sering terjadi sehingga menimbulkan konflik antar pendukung
pasangan calon.
Lalu
bagaimana sebenarnya Pemilu / Pilkada secara langsung ini ditinjau dari pandangan
fiqh. Dalam Sejarah Islam kelebihan dari pemilihan Khalifah adalah adanya jaminan
hak-hak dasar dalam pemilihan secara luas, hak memilih dan menentukan
Khalifah, dimana pemilihan Kholifah umat Islam melalui
pemilihan secara langsung dalam arti sebenarnya, di mana
umat Islam berkumpul di masjid nabawi dan mengadakan bai'at pada
Khalifah. Pada pemilihan masa ini tidak ditentukan kriteria khusus untuk
memilih ataupun dipilih dalam pemilihan. Dan penentuan calon terpilih adalah
perolehan suara mayoritas serta yang bertanggungjawab langsung adalah
Majlis Syuro, namun kelemahannya adalah tidak memiliki aturan
pemilihan secara jelas dan tertulis, serta jaminan hak-hak dasar yang
terlalu luas membuat pemilihan kurang efektif.
Dari
perbandingan di atas, disimpulkan untuk menemukan pemimpin yang benar-benar
membawa kesejahteraan bagi rakyat, diperlukan sistem pemilihan yang telah
memiliki aturan jelas tentang pemilihan dan perlu pembatasan atas pemenuhan hak
dasar rakyat dalam pemilihan, namun bukan pembatasan terlalu sempit yang kemudian
justru menjadikan demokrasi yang hegemonik dengan aturan-aturan yang terlalu
terperinci. Dan menjadikan pemaknaan demokrasi juga menjadi sempit dan
pelaksanaan pemilihan secara langsung kiranya perlu
direkonstruksi bukan dengan gambar melainkan
benar-benar secara langsung, karena pencoblosan gambar membuka
peluang besar adanya terjadinya manipulasi perolehan suara.
Dari beberapa permasalahan yang
muncul tersebut, diperlukan kesiapan yang matang bagi daerah sebelum
pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung sehingga permasalahan yang
mungkin muncul dapat di antisipasi.
Ada pula yang
berpandangan bahwa masyarakat Islam sedikit banyak masih berada di atas jalan
yang semestinya, meskipun mereka sepakat bahwa ada banyak hal yang harus
diperbaiki di tubuh ummat ini secara lembaga maupun individu. Tapi yang menjadi
pertanyaan kemudian adalah bagaimana cara memperbaikinya?
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Berdasarkan uraian latar
belakang masalah di atas, maka penulis mengidentifikasikan permasalahan yang
ada dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut :
1. Bagaimana hukum asal pemilu dan melibatkan diri di dalamnya?
2. Bagaimana pendapat Ulama tentang Pilkada
secara langsung ditinjau menurut Fiqh Islam ( Maqosidusysyari’ah ) apa saja
manfaat dan mafsadatnya.
3.
Metode mana yang paling
tepat dalam memilih seorang Pemimpin menurut Perspektif Islam/Fiqh ? Apakah
dipilih secara lagsung oleh orang perorang ( rakyat ) atau melalui tauliyah
kepada lembaga / Majelis ?
C. TUJUAN
Adapun tujuan dari
pembuatan makalah ini adalah :
1.
Untuk mengetahui
dan mengkaji hukum asal pemilu dan melibatkan diri di dalamnya.
2.
Untuk mengetahui apa
saja manfaat dan mafsadatnya melaksanakan Pilkada secara langsung menurut
pandangan ulama ditinjau dari Maqosidusysyari’ah.
3.
Untuk mengetahui metode
mana yang paling tepat dalam memilih seorang Pemimpin menurut Perspektif Islam/Fiqh,
apakah dengan cara memilih seorang pemimpin secara lagsung oleh orang perorang
( rakyat ) atau melalui tauliyah kepada lembaga / Majelis ?
II.
PEMBAHASAN
A.
Hukum Asal Pemilu
Pemilu di Indonesia saat ini ditujukan untuk:
1) Memilih wakil rakyat yang akan duduk di DPR/Parlemen dan
2) Memilih Penguasa.
1. Memilih wakil rakyat.
Hukum asal pemilu dan melibatkan diri di dalamnya adalah mubah, karena dalam
pandangan hukum Islam, Pemilu untuk memilih wakil rakyat merupakan salah satu
bentuk akad perwakilan (wakalah), ini didasarkan pada
kenyataan bahwa, pemilu merupakan aqad wakalah dalam hal aspirasi dan
pendapat. Selama hukum dan syarat wakalahnya telah terpenuhi dan sejalan dengan
prinsip Islam, maka absah-lah akad wakalah tersebut.[1] Adapun dasar hukum/dalilnya
antara lain:
Pertama,
hadis sahih penuturan Jabir bin Abdillah ra. yang berkata : “ Aku pernah hendak berangkat ke Khaibar.
Lalu aku menemui Nabi saw. Beliau kemudian bersabda “:
إِذَا
أَتَيْتَ وَكِيْلِيْ بِخَيْبَرَ فَخُذْ مِنْهُ خَمْسَةَ عَشَرَ وَسَقًا
Artinya : “ Jika engkau menemui wakilku di Khaibar, ambillah olehmu darinya lima belas wasaq (HR Abu Dawud “).
Kedua,
dalam Baiat ‘Aqabah II, Rasulullah saw. pernah meminta 12 wakil dari 75 orang
Madinah yang menghadap kepada Beliau saat itu. Keduabelas wakil itu dipilih
oleh mereka sendiri.
Wakalah
itu sah jika semua rukun-rukunnya dipenuhi. Rukun-rukun tersebut adalah: adanya
akad (ijab-qabul); dua pihak yang berakad, yaitu pihak yang mewakilkan
(muwakkil) dan pihak yang mewakili (wakîl); perkara yang diwakilkan; serta
bentuk redaksi akad perwakilannya (shigat tawkîl). Semuanya tadi harus sesuai
dengan syariah Islam.
Menyangkut
Pemilu untuk memilih wakil rakyat, yang menjadi sorotan utama adalah perkara
yang diwakilkan, yakni untuk melakukan aktivitas apa akad perwakilan itu
dilaksanakan. Dengan kata lain, apakah aktivitas para wakil rakyat itu sesuai
dengan syariah Islam atau tidak. Jika sesuai dengan syariah Islam maka wakalah
tersebut boleh dilakukan. Sebaliknya, jika tidak sesuai maka wakalah tersebut
batil dan karenanya haram dilakukan.
Sebagaimana
diketahui, paling tidak, ada 2 (dua) fungsi utama wakil rakyat di DPR/Parlemen
:
Pertama:
melegislasi UUD/UU. Berkaitan dengan fungsi legislasi ini, tidak ada pilihan
lain bagi kaum muslim dalam mengatur kehidupan pribadi, masyarakat, dan
negaranya kecuali dengan menggunakan syariah Allah SWT :
·
QS Yusuf ( 12 ) :
40
$tB
tbrßç7÷ès?
`ÏB
ÿ¾ÏmÏRrß
HwÎ)
[ä!$yJór&
!$ydqßJçGø£Jy
óOçFRr&
Nà2ät!$t/#uäur
!$¨B
tAtRr&
ª!$#
$pkÍ5
`ÏB
?`»sÜù=ß
4 ÈbÎ)
ãNõ3ßÛø9$#
wÎ)
¬! 4
ttBr&
wr&
(#ÿrßç7÷ès?
HwÎ)
çn$Î)
4 y7Ï9ºs
ßûïÏe$!$#
ãNÍhs)ø9$#
£`Å3»s9ur
usYò2r&
Ĩ$¨Z9$#
w cqßJn=ôèt
ÇÍÉÈ
Artinya
: “ Kamu tidak menyembah yang selain
Allah kecuali Hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu
membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama
itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. dia Telah memerintahkan agar kamu
tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia
tidak mengetahui."
·
QS an-Nisa (4) :
65
xsù
y7În/uur
w cqãYÏB÷sã
4Ó®Lym
x8qßJÅj3ysã
$yJÏù
tyfx©
óOßgoY÷t/
§NèO
w (#rßÅgs
þÎû
öNÎhÅ¡àÿRr&
%[`tym
$£JÏiB
|MøÒs%
(#qßJÏk=|¡çur
$VJÎ=ó¡n@
ÇÏÎÈ
Artinya
: “ Maka demi Tuhanmu, mereka (pada
hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara
yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka
sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya”.
·
QS al-Ahzab ( 33
): 36
$tBur
tb%x.
9`ÏB÷sßJÏ9
wur
>puZÏB÷sãB
#sÎ)
Ó|Ós%
ª!$#
ÿ¼ã&è!qßuur
#·øBr&
br&
tbqä3t
ãNßgs9
äouzÏø:$#
ô`ÏB
öNÏdÌøBr&
3 `tBur
ÄÈ÷èt
©!$#
¼ã&s!qßuur
ôs)sù
¨@|Ê
Wx»n=|Ê
$YZÎ7B
ÇÌÏÈ
Artinya
: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan
barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia Telah sesat,
sesat yang nyata”.
Oleh
karena itu, setiap aktivitas pembuatan perundang-undangan yang tidak merujuk
pada wahyu Allah (al-Quran dan as-Sunnah) merupakan aktivitas menyekutukan
Allah SWT (Lihat: QS at-Taubah [9]: 31). Pelakunya juga bisa terkategori kafir,
fasik atau zalim (Lihat: QS al-Maidah [5]: 44; 45; 47).
Dalam
Islam, kedaulatan hanyalah milik Allah, bukan milik rakyat sebagaimana yang
terdapat dalam sistem demokrasi. Artinya, yang diakui dalam Islam adalah ‘kedaulatan
syariah’, bukan kedaulatan rakyat. Ini berarti, dalam Islam, hanya Allahlah
yang berhak menentukan halal-haram, baik-buruk, haq-batil, serta
terpuji-tercela; bukan manusia (yang diwakili oleh para wakil rakyat)
sebagaimana dalam sistem demokrasi. Allah SWT berfirman :
إِنِ
الْحُكْمُ إِلاَّ ِللهِ
Hak
membuat hukum itu hanyalah milik Allah (QS Yusuf (12): 40.
Karena
itu, hukum wakalah dalam konteks membuat dan melegalisasikan UU yang tidak
bersumber pada syariah, atau hukum Allah, jelas tidak boleh.
Kedua:
fungsi pengawasan. Menyangkut fungsi pengawasan DPR/Parlemen—berupa koreksi dan
kritik terhadap pemerintah/para penguasa atau UU yang digodok dan dihasilkan
oleh DPR—jelas hukumnya wajib secara syar’i. Fungsi tersebut terkategori ke
dalam aktivitas amar makruf nahi munkar, yang wajib dilakukan oleh setiap
Muslim, terlebih para wakil rakyat.
Jadi, dalam pandangan hukum Islam, Pemilu untuk memilih para wakil rakyat hukumnya dikembalikan kepada dua fungsi yang mereka mainkan di atas.
Jadi, dalam pandangan hukum Islam, Pemilu untuk memilih para wakil rakyat hukumnya dikembalikan kepada dua fungsi yang mereka mainkan di atas.
2.
Memilih penguasa
Adapun
dalam konteks memilih penguasa, Islam memiliki pandangan tersendiri yang
berbeda dengan pandangan politik demokrasi sekular. Dalam sistem politik Islam,
aktivitas memilih dan mengangkat penguasa (imam/khalifah) untuk melaksanakan
hukum-hukum Islam bukan hanya boleh, bahkan wajib. Sebab, imam/khalifah
tersebut diangkat dalam rangka menjalankan hukum-hukum syariah dalam negara,
dan ketiadaan imam/khalifah akan menyebabkan tidak terlaksanakan hukum-hukum
syariah tersebut.
Adapun
dalam sistem demokrasi, Pemilu untuk memilih penguasa adalah dalam rangka
menjalankan sistem sekular, bukan sistem Islam. Karena itu, status Pemilu
Legislatif tidak sama dengan Pemilu Eksekutif. Dalam konteks Pemilu Legislatif,
status Pemilu tersebut merupakan akad wakalah sehingga berlaku ketentuan
sebelumnya. Namun, dalam konteks Pemilu Eksekutif, statusnya tidak bisa lagi
disamakan dengan status akad wakalah, melainkan akad ta’yîn wa tanshîb (memilih
dan mengangkat) untuk menjalankan hukum-hukum tertentu.
Dalam
hal ini statusnya kembali pada hukum apa yang hendak diterapkan. Jika hukum
yang diterapkan adalah hukum Islam maka memilih penguasa bukan saja
mubah/boleh, melainkan wajib. Demikian juga sebaliknya.[2]
Dalam sistem demokrasi,
wakil rakyat-badan legislatif adalah lembaga yang bertugas membuat dan
mengesahkan UU. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa, prinsip utama negara
demokrasi adalah “kedaulatan ada di tangan rakyat”, “vox poputi vox def”.
Prinsip ini telah menempatkan rakyat atau wakil rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi. Yang dimaksud dengan kedaulatan di sini adalah kekuasaan
tertinggi untuk membuat aturan dan undang-undang. Sedangkan kepala negara
(lembaga eksekutif) bertugas melaksanakan undang-undang.[3]
B.
Pendapat Ulama tentang Pilkada secara langsung
Dalam sistem
pemerintahan Islam, pemilu merupakan media untuk memilih anggota majelis ummat,
serta salah satu cara (uslub) untuk memilih seseorang yang akan
dicalonkan sebagai kepala negara (khalifah).[4]
Persis ( Persatuan Islam )
adalah salah satu ormas Islam di Indonesia yang memilki sejarah tersendiri
dalam gerakan pemahaman keagamaan dan pemahaman terhadap kancah politik di
Indonesia. Ormas ini telah melahirkan ulama, seperti Ustadz E. Abdurrahman dan
E. Abdullah di Bandung, dan Ustadz Ahmad Hassan serta putranya Ustadz Abdul
Qadir Hassan di Bangil, bahkan melahirkan negarawan dan politisi seperti,
Mohammad Natsir, M. Isa Anshari, dan M.Rusyad Nurdin. Sebagai organisasi
bernuansa agama, Persis juga mengeluarkan pelbagai fatwa dan keputusan politik
(siyasah), baik melalui Dewan Hisbah[5]
maupun melalui keputusan Pimpinan Pusat (PP) Persis. Keputusan PP Persis dalam
bidang politik (siyasah) yang dikeluarkannya adalah penggunaan hak pilih
secara bebas pada Pemilihan Presiden tahap kedua tahun 2004. Pada tahap ini
muncul dua pasangan calon, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono-Yusuf Kalla (SBY-YK)
dan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi (MS-HM). Terkait dengan itu, PP Persis
mengeluarkan ketetapan bahwa: “Untuk Pemilu Presiden putaran kedua, PP Persis
menyerahkan kepada para anggota untuk menggunakan hak pilihnya.”
Pada Surat Edaran sebelumnya, yaitu pada Pemilihan Presiden tahap kesatu, PP
Persis tidak menetapkan pilihan secara tegas, tetapi hanya menentukan kriteria
calon presiden dan wakilnya, dan anggota Persis dianjurkan untuk menggunakan
hak pilihnya, sesuai dengan kriteria yang ditetapkan[6].
Fatwa tersebut lahir setelah melalui proses perdebatan antara ulama yang
tergabung dalam Dewan Hisbah dan Pimpinan Persis pada tingkat Pusat, Wilayah
(Provinsi) maupun Daerah (Kotamadya/Kabupaten) se-Indonesia. Walaupun ulama
Persis dan Pimpinan Persis memiliki kesepakatan dalam hasil akhir musyawarah, mereka
sendiri memiliki pandangan yang beragam mengenai kriteria, syaratsyarat, dan
kewajiban memilih pemimpin atau tidak memilih (Golput).
Apabila kaum muslimin sangat butuh untuk memilih
pemimpin pusat (semacam dalam pemilihan khalifah atau kepala negara, pen), maka
pemilihan ini disyari’atkan namun dengan syarat bahwa yang melakukan pemilihan
adalah ahlul
hilli wal ‘aqd (orang yang terpandang ilmunya, yakni kumpulan para ulama)
dari umat ini sedangkan bagian umat yang lain hanya sekedar mengikuti hasil
keputusan mereka. Sebagaimana hal ini pernah terjadi di tengah-tengah para
sahabat radhiyallahu
‘anhum, ketika ahlul hilli wal ‘aqd di antara mereka memilih Abu
Bakr radhiyallahu ‘anhu (sebagai
pengganti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam) dan mereka pun membai’at beliau. Bai’at ahlul
hilli wal ‘aqd kepada
Abu Bakr inilah yang dianggap sebagai bai’at dari seluruh umat.
Begitu pula ‘Umar bin Al Khaththab radhiyallahu
‘anhu menyerahkan
pemilihan imam sesudah beliau kepada enam orang sahabat, yang masih hidup di
antara sepuluh orang sahabat yang dikabarkan masuk surga. Akhirnya pilihan
mereka jatuh pada ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, kemudian mereka pun
membai’at Utsman. Bai’at mereka ini dinilai sebagai bai’at dari seluruh umat.
Adapun untuk
pengangkatan pemimpin di daerah (semacam dalam pemilihan gubernur, bupati, dan
lurah ) maka itu wewenang kepala negara (ulil amri), dengan mengangkat orang
yang memiliki kapabilitas dan amanat serta bisa membantu pemimpin pusat untuk
menjalankan roda pemerintahan. Sebagaimana hal ini terdapat dalam firman Allah Ta’ala,
إِنَّ
اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا
حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
Artinya :“Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil” (QS. An Nisa’:
58).
Ayat ini ditujukan
kepada kepala negara. Yang dimaksud amanat dalam ayat di atas adalah kekuasaan
dan jabatan dalam sebuah negara. Wewenang inilah yang Allah jadikan sebagai hak
bagi kepala negara, kemudian kepala negara tersebut menunaikannya dengan cara
memilih orang yang capable (memiliki kemampuan) dan amanat untuk menduduki
jabatan tersebut. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, para khulafaur rosyidin, dan para ulil amri kaum muslimin
sesudahnya. Mereka semua memilih untuk menduduki berbagai jabatan orang yang
layak untuk mendudukinya dan menjalankannya sebagaimana yang diharapkan.
Menyoal Pilkada Langsung , para ulama angkat bicara : Majelis Ulama
Indonesia menganggap pilkada langsung, yang selama ini banyak menimbulkan
masalah seperti rawan konflik, suburnya politik uang, berbiaya besar, dan tidak
menghasilkan kepemimpinan yang berkualitas, perlu dievaluasi dan dikaji.
Dalam Sidang Komisi ”Masail Qonuniyyah” (masalah perundang-undangan), para
ulama mengungkapkan, pilkada langsung menimbulkan banyak masalah. Alih-alih
menghasilkan kepala daerah yang berkualitas dan efektif bekerja untuk rakyat,
sebagian pemimpin terpilih justru terlibat korupsi. Kondisi ini tak bisa
dibiarkan karena akan terus menimbulkan mudarat (dampak buruk) bagi masyarakat.[7]
Para tokoh ulama itu menilai adanya urgensi mencari sistem terbaik untuk
memilih pemimpin daerah. Dalam sidang tersebut, berbicara Dirjen Otonomi Daerah
Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan yang menyoroti rendahnya
efektivitas kepemimpinan kepala daerah terpilih akibat pasangan pecah kongsi.
Dari 753 pasangan kepala daerah terpilih sejak 2005 hingga akhir 2011, sebanyak
732 pasangan pecah kongsi di tengah jalan. Selain itu, ada 271 yang tersangkut
masalah hukum. [8]
Penyelesaian masalah itu, menurut Djohermansyah, pemerintah gubernur
dipilih lewat DPRD. Hal ini karena gubernur pada dasarnya merupakan kepanjangan
tangan pemerintah pusat. Sedangkan Bupati/walikota tetap dipilih langsung,
namun tidak berpasangan. Kepala daerah terpilih akan memilih wakilnya yang
berasal dari pegawai negeri sipil yang memenuhi syarat.
Pendapat para ulama itu ada benarnya, kita perlu mencari sistem terbaik
untuk memilih pemimpin daerah. Sistem tersebut adalah sistem yang bisa menghilangkan
berbagai kekurangan dan kelemahan sistem yang ada sekarang namun tetap
mengakomodasi prinsip-prinsip demokrasi.
Apakah usulan pemerintah untuk mengubah mekanisme pemilihan gubernur
menjadi tidak langsung merupakan usulan yang masih dalam koridor demokrasi. Demokrasi memang
tidak selalu harus diimplementasikan dengan cara memilih langsung oleh rakyat,
bisa juga demokrasi diterapkan dengan sistem perwakilan.
Namun apakah dipilihnya gubernur oleh DPRD ini tidak semakin memperumit
masalah. Sekarang ini, saat gubernur dipilih rakyat, banyak bupati/walikota
yang menyepelekan gubernur. Jika gubernur dipilih oleh DPRD, apakah kedudukan
gubernur tidak semakin disepelekan oleh bupati/walikota yang sesungguhnya
berada di bawahnya.
Usulan pemerintah
lainnya, yaitu pemilihan langsung hanya terhadap bupati/walikota, dan tidak
terhadap pasangannya, tampaknya cukup masuk akal. Mekanisme pemilihan wakil
bupati/wakil walikota yang dipilih oleh bupati/walikota akan menghilangkan
semangat persaingan antara bupati/walikota dengan wakilnya. Usulan ini bagus
karena akan menghilangkan pecah kongsi yang selama ini banyak terjadi.
Dintara Point Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI ke-IV,
Cipasung –Tasikmalaya salah satunya adalah “ Masail Asasiyyah Wathaniyah
“ ( masalah poltik kenegaraan ) yang
menyangkut Pilkada Langsung antara lain adalah sebagai berikut : Soal pemilihan
umum kepala daerah, MUI menetapkan agar Pemilukada dilakukan melalui sistem
perwakilan. MUI berpendapat demikian karena pemilihan langsung pasca reformasi
membawa kemafsadatan lebih besar seperti munculnya disharmoni dalam hirarki
kepemimpinan secara nasional.
Selain itu, pemilihan secara langsung mengakibatkan
mahalnya biaya demokrasi, sehingga menunda skala prioritas pembangunan
masyarakat yang saat ini sedang berada dalam ekonomi sulit, berpotensi membuat
konflik horizontal antarelemen masyarakat yang dapat melibatkan unsur SARA, dan
kerusakan moral yang melanda masyarakat luas akibat maraknya money politic
(risywah siyâsiyyah). “Berdasarkan prinsip mendahulukan mencegah kemafsadatan,
pemilihan kepala daerah sebaiknya dilakukan dengan sistem perwakilan.”[9]
III. PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan analisa
masalah yang telah penulis lakukan, maka didapat suatu kesimpulan, antara lain
:
1.
Dalam pandangan Islam,
hukum asal pemilu dan melibatkan diri di dalamnya adalah mubah. Ini didasarkan
pada kenyataan bahwa pemilu merupakan aqad wakalah dalam hal aspirasi
dan pendapat. Selama hukum dan syarat wakalahnya telah terpenuhi dan sejalan
dengan prinsip Islam, maka absah-lah akad wakalah tersebut. Namun dalam
konteks memilih penguasa, Islam memiliki pandangan tersendiri yang berbeda
dengan pandangan politik demokrasir. Dalam sistem politik Islam, aktivitas
memilih dan mengangkat penguasa (imam/khalifah) untuk melaksanakan hukum-hukum
Islam bukan hanya boleh, bahkan wajib.
2.
Pilkada secara
langsung menurut Majelis Ulama Indonesia selama ini banyak menimbulkan masalah/ mafsadat daripada
manfaatnya yang diantaranya :
- Rawan konflik ;
- Suburnya politik uang ;
- Berbiaya besar ;
- Tidak menghasilkan kepemimpinan yang berkualitas ;
3.
Jadi berdasarkan prinsip mendahulukan mencegah kemafsadatan, menurut
Majelis Ulama Indonesia pemilihan kepala daerah sebaiknya dilakukan dengan
sistem perwakilan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Al-Qur 'an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, Proyek Pengadaan Kitab
Suci Al-Qur,an,. Jakarta ,1984.
2.
Dadan Wildan, Sejarah Perjuangan Persis 1923-1953, Gema Syahida,
Bandung, 1995, 28 dan 142.
8. Harian
Kompas, 3 Juli 2012.
9.
Ibid.
10. Kriteria calon presiden menurut PP Persis, berdasarkan
Surat Edaran bernomor JJ-C.3/2004 tertanggal 17 Rabi’ al-Tsânî/05 Juni 2004.
[5] Persis adalah salah satu
ormas Islam di Indonesia, berdampingan dengan Muhammadiyah, NU, PUI, dan
Jami’atul Wasliyah dalam mengemban tugas dakwah. Persis didirikan tgl. 12
September 1923 M bertepatan dengan 1 Shafar 1342 H di Bandung oleh H. Zamzam
alumnus Dar al-Ulum Mekkah. Pada Muktamar VI Persis tahun 1956 bernama Majlis
Ulama Persatuan Islam dan menjadi Dewan Hisbah pada
Muktamar Persis VIII tahun 1967. Fatwa–fatwa berkaitan dengan aspek aqidah,
ibadah, dan muamalah dikeluarkan, utamanya menolak taqlid, jumud,
khurafat, bidah, takhayul dan yirik. Fatwa saat ini, meliputi ekonomi
dan politik. Lihat Dadan Wildan, Sejarah Perjuangan Persis 1923-1953,
Gema Syahida, Bandung, 1995, 28 dan 142.
[6] Kriteria calon presiden
menurut PP Persis, berdasarkan Surat Edaran bernomor JJ-C.3/2004 tertanggal 17
Rabi’ al-Tsânî/05 Juni 2004, adalah: a) Tokoh Islam