Laman

Kamis, 22 November 2012


PEMILU SECARA LANGSUNG
DALAM PERSPEKTIF MAQOSIDUSSYARI’AH
Oleh : Hj. Awaliatun Nikmah, S.Ag


I.              PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung (Pilkada Langsung) diatur dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 56 ayat 1 UU No. 32 tahun 2004 menyebutkan, “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasang calon yang dilaksanakan secara demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil”. Artinya, sejak kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat, maka secara konseptual telah terjadi pergeseran pelaksanaan kedaulatan, yang sebelumnya dilaksanakan secara tidak langsung oleh DPRD sekarang dilakukan sendiri oleh rakyat.
Selanjutnya tentang tata caranya diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 6/2005 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Merupakan agenda baru pemerintah bagi masyarakat daerah untuk menentukan pemimpinnya sendiri, sebagaimana pemerintah telah sukses melaksanakan agenda besar dalam hal ini pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung pada tahun 2004 kemarin.
Pilihan terhadap sistem pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan koreksi atas pilkada terdahulu yang menggunakan sistem perwakilan oleh DPRD, sebagaimana tertuang dalam UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No.151/2000 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Dengan demikian masyarakat daerah benar-benar buta pengetahuan terhadap siapa pemimpinnya serta bagaimana pemimpin tersebut memimpin mereka.
Berdasarkan analisa, dengan digunakannya sistem pemilihan langsung menunjukan perkembangan penataan format demokrasi daerah yang berkembang dalam kerangka liberalisasi politik. Liberalisasi politik digelar pada masa Presiden BJ Habibie ( Masa Pemerintahan Reformasi ) sebagai respon atas tuntutan perubahan sistem dan format politik menyusul kejatuhan Presiden Suharto. Dengan demikian, sistem pemilihan langsung adalah hasil pergulatan panjang untuk menemukan format demokrasi daerah.
Peristiwa pemilihan Presiden secara langsung yang pertama kali di Indonesia pada tahun 2004, pemilihan presiden secara langsung tersebut merupakan fenomena baru dalam sejarah politik dan pemerintahan di Indonesia.
Tentu saja, dipilihnya sistem pilkada langsung mendatangkan optimisme dan pesimisme tersendiri. Pilkada langsung dinilai sebagai perwujudan pengembalian "hak-hak dasar" masyarakat di daerah dengan memberikan kewenangan yang utuh dalam rangka rekrutmen pimpinan daerah sehingga mendinamisir kehidupan demokrasi di tingkat lokal. 
Pemilihan kepala daerah dalam hukum positif adalah jaminan hak-hak dasar terbatas pada undang-undang, kedaulatan rakyat yang penerapannya melalui pemilihan secara langsung dengan bentuk pencoblosan gambar calon terpilih, dan prinsip mayoritas, dalam bentuk penentuan akhir dari pemilihan adalah suara terbanyak rakyat dalam perolehan suara.
Pemilihan Kepala Daerah yang selanjutnya di sebut Pilkada tentu menimbulkan banyak permasalahan baik dari implikasi politik maupun dampak sosial ekonomi baik yang menguntungkan maupun tidak. Ada beberapa keunggulan pilkada dengan model pemilihan secara langsung.
Pertama, pilkada secara langsung memungkinkan proses yang lebih Partisipasi. Partisipasi jelas akan membuka akses dan kontrol masyarakat yang lebih kuat sebagai aktor yang telibat dalam pilkada dalam arti partisipasi secara langsung merupakan prakondisi untuk mewujudkan kedaulatan ditangan rakyat dalam konteks politik dan pemerintahan.
Kedua, proses pilkada secara langsung memberikan ruang dan pilihan yang terbuka bagi masyarakat untuk menentukan calon pemimpin yang memiliki kapasitas, dan komitmen yang kuat serta legitimate dimata masyarakat sehingga pemimpin yang baru tersebut dapat membuahkan keputusan-keputusan yang lebih baik dengan dukungan dan kepercayaan dari masyarakat luas dan juga diharapkan akan terjadinya rasa tanggung jawab secara timbal balik. Sang kepala daerah lebih merasa mendapatkan dukungan dari masyarakat, sehingga kebijakan-kebijakan tentu saja lebih berpihak pada kepentingan dan kesejahteraan rakyat. pada saat yang sama, rakyat juga akan lebih mendukung kebijakan-kebijakan kepala daerah sebab mereka telah berperan secara langsung dalam pengangkatan kepala daerah.
Disamping adanya keunggulan/kelebihan Pilkada secara langsung di atas, namun banyak juga kelemahannnya/ permasalahan yang ditimbulkan dari Pilkada langsung tersebut. Sebagai contoh dari pelaksanaan Pilkada di beberapa daerah selama tahun 2005, ada beberapa permasalahan yang muncul berkaitan dengan persiapan daerah dalam penyelenggaraan pilkada, permasalahan-permasalahan ini harus diantisipasi oleh pemerintah daerah khususnya KPUD sebagai pelaksana Pilkada, permasalahan tersebut antara lain :
Pertama, beratnya persyaratan pengajuan calon. Dalam UU No. 32 tahun 2004 Pasal 59 ayat 2 disebutkan bahwa hanya partai politik yang memperoleh suara 15% kursi DPRD atau 15% dari akumulasi suara sah yang diperoleh dalam pemilu legislatif yang berhak mengajukan calon.
Pandangan diatas sangat relefan dengan kejadian yang terjadi di beberapa  daerah termasuk daerah Bali. Dimana beberapa daerah yang ada di Bali, sekitar 80% dimenangkan oleh PDIP sehingga daerah-daerah tersebut sulit mendapatkan dua pasang calon.
Kedua, sistem dua putaran yang dianut ternyata dijadikan sarana dibeberapa daerah untuk mengajukan anggaran pilkada secara berlebihan. Di Surabaya misalnya, KPUD mengajukan anggaran dua putaran, dan disetujui oleh DPRD kota Surabaya sekitar 36 milyar, dari dana ini, 23 milyar diantaranya dianggarkan untuk putaran pertama dan selebihnya dianggarkan untuk putaran kedua. Padahal, disurabaya tidak mungkin terjadi putaran kedua sebab calon yang ada tidak lebih dari empat pasang.
Ketiga, maraknya praktik-praktik money politics. Pilkada langsung ternyata tidak bisa menghilangkan praktik money politics dimasyarakat, yang sebelumnya berada pada tingkat DPRD. Bagi beberapa golongan, praktik money politics menjadi sesuatu yang lumrah. Di jawa timur misalnya, ada tradisi pada saat pemilihan kepala desa masing-masing calon harus menyediakan uang pengganti kerja bagi para konstituen, yang besarnya tergantung kemampuan masing-masing calon. Di beberapa daerah, kegiatan money politics ini malah “dilegalkan”, karena diatur melalui musyawarah di tingkat panitia untuk memutuskan berapa uang pengganti yang harus di bayar oleh masing-masing calon. Hasil penelitian Pusat Studi Demokrasi dan PuSDeHAM menunjukkan bahwa  Surabaya masih cukup besar pemilih ditingkat desa mengharapkan imbalan materi pada saat pilkada.
Keempat, cara pemilihan kepala daerah dengan menempatkan figur sebagai pertimbangan utama dalam menentukan pilihan kepala daerah. konsekuensi dari cara pemilihan semacam akan meningkatkan ketegangan hubungan antar pendukung pasangan calon sebab penerimaan dan penolakan terhadap pasangan calon dalam konteks kultur Indonesia lebih banyak disebabkan oleh hubungan yang bersifat emosional ketimbang rasional.
Kelima,Besarnya daerah pemilihan, yaitu seluruh wilayah propinsi untuk pemilihan gubernur dan seluruh wilayah kabupaten untuk pemilihan bupati, menyebabkan proses pelaksanaan kampanye sulit dikendalikan.
Keenam, ketidaksiapan pemilih untuk menerima kekalahan calon yang diunggulkan. Dibeberapa daerah yang telah melakukan pemilihan kepala daerah secara langsung, kejadian seperti ini sering terjadi sehingga menimbulkan konflik antar pendukung pasangan calon.
Lalu bagaimana sebenarnya Pemilu / Pilkada secara langsung ini ditinjau dari pandangan fiqh. Dalam Sejarah Islam kelebihan dari pemilihan Khalifah adalah adanya jaminan hak-hak dasar dalam pemilihan secara luas, hak memilih dan menentukan Khalifah, dimana pemilihan Kholifah umat Islam melalui pemilihan secara langsung dalam arti sebenarnya, di mana umat Islam berkumpul di masjid nabawi dan mengadakan bai'at pada Khalifah. Pada pemilihan masa ini tidak ditentukan kriteria khusus untuk memilih ataupun dipilih dalam pemilihan. Dan penentuan calon terpilih adalah perolehan suara mayoritas serta yang bertanggungjawab langsung adalah Majlis Syuro, namun kelemahannya adalah tidak memiliki aturan pemilihan secara jelas dan tertulis, serta jaminan hak-hak dasar yang terlalu luas membuat pemilihan kurang efektif.
Dari perbandingan di atas, disimpulkan untuk menemukan pemimpin yang benar-benar membawa kesejahteraan bagi rakyat, diperlukan sistem pemilihan yang telah memiliki aturan jelas tentang pemilihan dan perlu pembatasan atas pemenuhan hak dasar rakyat dalam pemilihan, namun bukan pembatasan terlalu sempit yang kemudian justru menjadikan demokrasi yang hegemonik dengan aturan-aturan yang terlalu terperinci. Dan menjadikan pemaknaan demokrasi juga menjadi sempit dan pelaksanaan pemilihan secara langsung kiranya perlu direkonstruksi bukan dengan gambar melainkan benar-benar secara langsung, karena pencoblosan gambar membuka peluang besar adanya terjadinya manipulasi perolehan suara.
Dari beberapa permasalahan yang muncul tersebut, diperlukan kesiapan yang matang bagi daerah sebelum pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung sehingga permasalahan yang mungkin muncul dapat di antisipasi.
Ada pula yang berpandangan bahwa masyarakat Islam sedikit banyak masih berada di atas jalan yang semestinya, meskipun mereka sepakat bahwa ada banyak hal yang harus diperbaiki di tubuh ummat ini secara lembaga maupun individu. Tapi yang menjadi pertanyaan kemudian adalah bagaimana cara memperbaikinya?

B.  IDENTIFIKASI MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka penulis mengidentifikasikan permasalahan yang ada dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut :
1.      Bagaimana hukum asal pemilu dan melibatkan diri di dalamnya?
2.      Bagaimana pendapat Ulama tentang Pilkada secara langsung ditinjau menurut Fiqh Islam ( Maqosidusysyari’ah ) apa saja manfaat dan mafsadatnya.
3.      Metode mana yang paling tepat dalam memilih seorang Pemimpin menurut Perspektif Islam/Fiqh ? Apakah dipilih secara lagsung oleh orang perorang ( rakyat ) atau melalui tauliyah kepada lembaga / Majelis ?

C.  TUJUAN
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1.        Untuk mengetahui  dan mengkaji hukum asal pemilu dan melibatkan diri di dalamnya.
2.        Untuk mengetahui apa saja manfaat dan mafsadatnya melaksanakan Pilkada secara langsung menurut pandangan ulama ditinjau dari Maqosidusysyari’ah.
3.        Untuk mengetahui metode mana yang paling tepat dalam memilih seorang Pemimpin menurut Perspektif Islam/Fiqh, apakah dengan cara memilih seorang pemimpin secara lagsung oleh orang perorang ( rakyat ) atau melalui tauliyah kepada lembaga / Majelis ?


II.                            PEMBAHASAN
A.                Hukum Asal Pemilu
Pemilu di Indonesia saat ini ditujukan untuk:
1) Memilih wakil rakyat yang akan duduk di DPR/Parlemen dan 2) Memilih Penguasa.

1. Memilih wakil rakyat.
Hukum asal pemilu dan melibatkan diri di dalamnya adalah mubah, karena dalam pandangan hukum Islam, Pemilu untuk memilih wakil rakyat merupakan salah satu bentuk akad perwakilan (wakalah), ini didasarkan pada kenyataan bahwa, pemilu merupakan aqad wakalah dalam hal aspirasi dan pendapat. Selama hukum dan syarat wakalahnya telah terpenuhi dan sejalan dengan prinsip Islam, maka absah-lah akad wakalah tersebut.[1] Adapun dasar hukum/dalilnya antara lain:
Pertama, hadis sahih penuturan Jabir bin Abdillah ra. yang berkata  : “ Aku pernah hendak berangkat ke Khaibar. Lalu aku menemui Nabi saw. Beliau kemudian bersabda “:

إِذَا أَتَيْتَ وَكِيْلِيْ بِخَيْبَرَ فَخُذْ مِنْهُ خَمْسَةَ عَشَرَ وَسَقًا

Artinya : “ Jika engkau menemui wakilku di Khaibar, ambillah olehmu darinya lima belas wasaq (HR Abu Dawud “).
Kedua, dalam Baiat ‘Aqabah II, Rasulullah saw. pernah meminta 12 wakil dari 75 orang Madinah yang menghadap kepada Beliau saat itu. Keduabelas wakil itu dipilih oleh mereka sendiri.
Wakalah itu sah jika semua rukun-rukunnya dipenuhi. Rukun-rukun tersebut adalah: adanya akad (ijab-qabul); dua pihak yang berakad, yaitu pihak yang mewakilkan (muwakkil) dan pihak yang mewakili (wakîl); perkara yang diwakilkan; serta bentuk redaksi akad perwakilannya (shigat tawkîl). Semuanya tadi harus sesuai dengan syariah Islam.
Menyangkut Pemilu untuk memilih wakil rakyat, yang menjadi sorotan utama adalah perkara yang diwakilkan, yakni untuk melakukan aktivitas apa akad perwakilan itu dilaksanakan. Dengan kata lain, apakah aktivitas para wakil rakyat itu sesuai dengan syariah Islam atau tidak. Jika sesuai dengan syariah Islam maka wakalah tersebut boleh dilakukan. Sebaliknya, jika tidak sesuai maka wakalah tersebut batil dan karenanya haram dilakukan.
Sebagaimana diketahui, paling tidak, ada 2 (dua) fungsi utama wakil rakyat di DPR/Parlemen :
Pertama: melegislasi UUD/UU. Berkaitan dengan fungsi legislasi ini, tidak ada pilihan lain bagi kaum muslim dalam mengatur kehidupan pribadi, masyarakat, dan negaranya kecuali dengan menggunakan syariah Allah SWT :
·         QS Yusuf ( 12 ) : 40  
$tB tbrßç7÷ès? `ÏB ÿ¾ÏmÏRrߊ HwÎ) [ä!$yJór& !$ydqßJçGøŠ£Jy óOçFRr& Nà2ät!$t/#uäur !$¨B tAtRr& ª!$# $pkÍ5 `ÏB ?`»sÜù=ß 4 ÈbÎ) ãNõ3ßÛø9$# žwÎ) ¬! 4 ttBr& žwr& (#ÿrßç7÷ès? HwÎ) çn$­ƒÎ) 4 y7Ï9ºsŒ ßûïÏe$!$# ãNÍhs)ø9$# £`Å3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw šcqßJn=ôètƒ ÇÍÉÈ
Artinya : “  Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali Hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. dia Telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui."
·         QS an-Nisa (4) : 65
Ÿxsù y7În/uur Ÿw šcqãYÏB÷sム4Ó®Lym x8qßJÅj3ysム$yJŠÏù tyfx© óOßgoY÷t/ §NèO Ÿw (#rßÅgs þÎû öNÎhÅ¡àÿRr& %[`tym $£JÏiB |MøŠŸÒs% (#qßJÏk=|¡çur $VJŠÎ=ó¡n@ ÇÏÎÈ
Artinya : “  Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”.
·         QS al-Ahzab ( 33 ): 36
$tBur tb%x. 9`ÏB÷sßJÏ9 Ÿwur >puZÏB÷sãB #sŒÎ) Ó|Ós% ª!$# ÿ¼ã&è!qßuur #·øBr& br& tbqä3tƒ ãNßgs9 äouŽzÏƒø:$# ô`ÏB öNÏd̍øBr& 3 `tBur ÄÈ÷ètƒ ©!$# ¼ã&s!qßuur ôs)sù ¨@|Ê Wx»n=|Ê $YZÎ7B ÇÌÏÈ
Artinya : “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia Telah sesat, sesat yang nyata”.
Oleh karena itu, setiap aktivitas pembuatan perundang-undangan yang tidak merujuk pada wahyu Allah (al-Quran dan as-Sunnah) merupakan aktivitas menyekutukan Allah SWT (Lihat: QS at-Taubah [9]: 31). Pelakunya juga bisa terkategori kafir, fasik atau zalim (Lihat: QS al-Maidah [5]: 44; 45; 47).
Dalam Islam, kedaulatan hanyalah milik Allah, bukan milik rakyat sebagaimana yang terdapat dalam sistem demokrasi. Artinya, yang diakui dalam Islam adalah ‘kedaulatan syariah’, bukan kedaulatan rakyat. Ini berarti, dalam Islam, hanya Allahlah yang berhak menentukan halal-haram, baik-buruk, haq-batil, serta terpuji-tercela; bukan manusia (yang diwakili oleh para wakil rakyat) sebagaimana dalam sistem demokrasi. Allah SWT berfirman :
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ ِللهِ
Hak membuat hukum itu hanyalah milik Allah (QS Yusuf (12): 40.
Karena itu, hukum wakalah dalam konteks membuat dan melegalisasikan UU yang tidak bersumber pada syariah, atau hukum Allah, jelas tidak boleh.
Kedua: fungsi pengawasan. Menyangkut fungsi pengawasan DPR/Parlemen—berupa koreksi dan kritik terhadap pemerintah/para penguasa atau UU yang digodok dan dihasilkan oleh DPR—jelas hukumnya wajib secara syar’i. Fungsi tersebut terkategori ke dalam aktivitas amar makruf nahi munkar, yang wajib dilakukan oleh setiap Muslim, terlebih para wakil rakyat.
Jadi, dalam pandangan hukum Islam, Pemilu untuk memilih para wakil rakyat hukumnya dikembalikan kepada dua fungsi yang mereka mainkan di atas.
2. Memilih penguasa
Adapun dalam konteks memilih penguasa, Islam memiliki pandangan tersendiri yang berbeda dengan pandangan politik demokrasi sekular. Dalam sistem politik Islam, aktivitas memilih dan mengangkat penguasa (imam/khalifah) untuk melaksanakan hukum-hukum Islam bukan hanya boleh, bahkan wajib. Sebab, imam/khalifah tersebut diangkat dalam rangka menjalankan hukum-hukum syariah dalam negara, dan ketiadaan imam/khalifah akan menyebabkan tidak terlaksanakan hukum-hukum syariah tersebut.
Adapun dalam sistem demokrasi, Pemilu untuk memilih penguasa adalah dalam rangka menjalankan sistem sekular, bukan sistem Islam. Karena itu, status Pemilu Legislatif tidak sama dengan Pemilu Eksekutif. Dalam konteks Pemilu Legislatif, status Pemilu tersebut merupakan akad wakalah sehingga berlaku ketentuan sebelumnya. Namun, dalam konteks Pemilu Eksekutif, statusnya tidak bisa lagi disamakan dengan status akad wakalah, melainkan akad ta’yîn wa tanshîb (memilih dan mengangkat) untuk menjalankan hukum-hukum tertentu.
Dalam hal ini statusnya kembali pada hukum apa yang hendak diterapkan. Jika hukum yang diterapkan adalah hukum Islam maka memilih penguasa bukan saja mubah/boleh, melainkan wajib. Demikian juga sebaliknya.[2]
Dalam sistem demokrasi, wakil rakyat-badan legislatif adalah lembaga yang bertugas membuat dan mengesahkan UU. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa, prinsip utama negara demokrasi adalah “kedaulatan ada di tangan rakyat”, “vox poputi vox def”. Prinsip ini telah menempatkan rakyat atau wakil rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Yang dimaksud dengan kedaulatan di sini adalah kekuasaan tertinggi untuk membuat aturan dan undang-undang. Sedangkan kepala negara (lembaga eksekutif) bertugas melaksanakan undang-undang.[3]

B.                 Pendapat Ulama tentang Pilkada secara langsung
Dalam sistem pemerintahan Islam, pemilu merupakan media untuk memilih anggota majelis ummat, serta salah satu cara (uslub) untuk memilih seseorang yang akan dicalonkan sebagai kepala negara (khalifah).[4]
Persis ( Persatuan Islam ) adalah salah satu ormas Islam di Indonesia yang memilki sejarah tersendiri dalam gerakan pemahaman keagamaan dan pemahaman terhadap kancah politik di Indonesia. Ormas ini telah melahirkan ulama, seperti Ustadz E. Abdurrahman dan E. Abdullah di Bandung, dan Ustadz Ahmad Hassan serta putranya Ustadz Abdul Qadir Hassan di Bangil, bahkan melahirkan negarawan dan politisi seperti, Mohammad Natsir, M. Isa Anshari, dan M.Rusyad Nurdin. Sebagai organisasi bernuansa agama, Persis juga mengeluarkan pelbagai fatwa dan keputusan politik (siyasah), baik melalui Dewan Hisbah[5] maupun melalui keputusan Pimpinan Pusat (PP) Persis. Keputusan PP Persis dalam bidang politik (siyasah) yang dikeluarkannya adalah penggunaan hak pilih secara bebas pada Pemilihan Presiden tahap kedua tahun 2004. Pada tahap ini muncul dua pasangan calon, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono-Yusuf Kalla (SBY-YK) dan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi (MS-HM). Terkait dengan itu, PP Persis mengeluarkan ketetapan bahwa: “Untuk Pemilu Presiden putaran kedua, PP Persis menyerahkan kepada para anggota untuk menggunakan hak pilihnya.” Pada Surat Edaran sebelumnya, yaitu pada Pemilihan Presiden tahap kesatu, PP Persis tidak menetapkan pilihan secara tegas, tetapi hanya menentukan kriteria calon presiden dan wakilnya, dan anggota Persis dianjurkan untuk menggunakan hak pilihnya, sesuai dengan kriteria yang ditetapkan[6]. Fatwa tersebut lahir setelah melalui proses perdebatan antara ulama yang tergabung dalam Dewan Hisbah dan Pimpinan Persis pada tingkat Pusat, Wilayah (Provinsi) maupun Daerah (Kotamadya/Kabupaten) se-Indonesia. Walaupun ulama Persis dan Pimpinan Persis memiliki kesepakatan dalam hasil akhir musyawarah, mereka sendiri memiliki pandangan yang beragam mengenai kriteria, syaratsyarat, dan kewajiban memilih pemimpin atau tidak memilih (Golput).
Apabila kaum muslimin sangat butuh untuk memilih pemimpin pusat (semacam dalam pemilihan khalifah atau kepala negara, pen), maka pemilihan ini disyari’atkan namun dengan syarat bahwa yang melakukan pemilihan adalah ahlul hilli wal ‘aqd (orang yang terpandang ilmunya, yakni kumpulan para ulama) dari umat ini sedangkan bagian umat yang lain hanya sekedar mengikuti hasil keputusan mereka. Sebagaimana hal ini pernah terjadi di tengah-tengah para sahabat radhiyallahu ‘anhum, ketika ahlul hilli wal ‘aqd di antara mereka memilih Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu (sebagai pengganti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan mereka pun membai’at beliau. Bai’at ahlul hilli wal ‘aqd kepada Abu Bakr inilah yang dianggap sebagai bai’at dari seluruh umat.
Begitu pula ‘Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu menyerahkan pemilihan imam sesudah beliau kepada enam orang sahabat, yang masih hidup di antara sepuluh orang sahabat yang dikabarkan masuk surga. Akhirnya pilihan mereka jatuh pada ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, kemudian mereka pun membai’at Utsman. Bai’at mereka ini dinilai sebagai bai’at dari seluruh umat.

Adapun untuk pengangkatan pemimpin di daerah (semacam dalam pemilihan gubernur, bupati, dan lurah ) maka itu wewenang kepala negara (ulil amri), dengan mengangkat orang yang memiliki kapabilitas dan amanat serta bisa membantu pemimpin pusat untuk menjalankan roda pemerintahan. Sebagaimana hal ini terdapat dalam firman Allah Ta’ala,

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ

Artinya :“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil” (QS. An Nisa’: 58).

Ayat ini ditujukan kepada kepala negara. Yang dimaksud amanat dalam ayat di atas adalah kekuasaan dan jabatan dalam sebuah negara. Wewenang inilah yang Allah jadikan sebagai hak bagi kepala negara, kemudian kepala negara tersebut menunaikannya dengan cara memilih orang yang capable (memiliki kemampuan) dan amanat untuk menduduki jabatan tersebut. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para khulafaur rosyidin, dan para ulil amri kaum muslimin sesudahnya. Mereka semua memilih untuk menduduki berbagai jabatan orang yang layak untuk mendudukinya dan menjalankannya sebagaimana yang diharapkan.

Menyoal Pilkada Langsung , para ulama angkat bicara : Majelis Ulama Indonesia menganggap pilkada langsung, yang selama ini banyak menimbulkan masalah seperti rawan konflik, suburnya politik uang, berbiaya besar, dan tidak menghasilkan kepemimpinan yang berkualitas, perlu dievaluasi dan dikaji.
Dalam Sidang Komisi ”Masail Qonuniyyah” (masalah perundang-undangan), para ulama mengungkapkan, pilkada langsung menimbulkan banyak masalah. Alih-alih menghasilkan kepala daerah yang berkualitas dan efektif bekerja untuk rakyat, sebagian pemimpin terpilih justru terlibat korupsi. Kondisi ini tak bisa dibiarkan karena akan terus menimbulkan mudarat (dampak buruk) bagi masyarakat.[7]
Para tokoh ulama itu menilai adanya urgensi mencari sistem terbaik untuk memilih pemimpin daerah. Dalam sidang tersebut, berbicara Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan yang menyoroti rendahnya efektivitas kepemimpinan kepala daerah terpilih akibat pasangan pecah kongsi. Dari 753 pasangan kepala daerah terpilih sejak 2005 hingga akhir 2011, sebanyak 732 pasangan pecah kongsi di tengah jalan. Selain itu, ada 271 yang tersangkut masalah hukum. [8]
Penyelesaian masalah itu, menurut Djohermansyah, pemerintah gubernur dipilih lewat DPRD. Hal ini karena gubernur pada dasarnya merupakan kepanjangan tangan pemerintah pusat. Sedangkan Bupati/walikota tetap dipilih langsung, namun tidak berpasangan. Kepala daerah terpilih akan memilih wakilnya yang berasal dari pegawai negeri sipil yang memenuhi syarat.
Pendapat para ulama itu ada benarnya, kita perlu mencari sistem terbaik untuk memilih pemimpin daerah. Sistem tersebut adalah sistem yang bisa menghilangkan berbagai kekurangan dan kelemahan sistem yang ada sekarang namun tetap mengakomodasi prinsip-prinsip demokrasi.
Apakah usulan pemerintah untuk mengubah mekanisme pemilihan gubernur menjadi tidak langsung merupakan usulan yang masih dalam koridor demokrasiDemokrasi memang tidak selalu harus diimplementasikan dengan cara memilih langsung oleh rakyat, bisa juga demokrasi diterapkan dengan sistem perwakilan.
Namun apakah dipilihnya gubernur oleh DPRD ini tidak semakin memperumit masalah. Sekarang ini, saat gubernur dipilih rakyat, banyak bupati/walikota yang menyepelekan gubernur. Jika gubernur dipilih oleh DPRD, apakah kedudukan gubernur tidak semakin disepelekan oleh bupati/walikota yang sesungguhnya berada di bawahnya.
Usulan pemerintah lainnya, yaitu pemilihan langsung hanya terhadap bupati/walikota, dan tidak terhadap pasangannya, tampaknya cukup masuk akal. Mekanisme pemilihan wakil bupati/wakil walikota yang dipilih oleh bupati/walikota akan menghilangkan semangat persaingan antara bupati/walikota dengan wakilnya. Usulan ini bagus karena akan menghilangkan pecah kongsi yang selama ini banyak terjadi.
Dintara Point Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI ke-IV, Cipasung –Tasikmalaya salah satunya adalah “ Masail Asasiyyah Wathaniyah “  ( masalah poltik kenegaraan ) yang menyangkut Pilkada Langsung antara lain adalah sebagai berikut : Soal pemilihan umum kepala daerah, MUI menetapkan agar Pemilukada dilakukan melalui sistem perwakilan. MUI berpendapat demikian karena pemilihan langsung pasca reformasi membawa kemafsadatan lebih besar seperti munculnya disharmoni dalam hirarki kepemimpinan secara nasional.
Selain itu, pemilihan secara langsung mengakibatkan mahalnya biaya demokrasi, sehingga menunda skala prioritas pembangunan masyarakat yang saat ini sedang berada dalam ekonomi sulit, berpotensi membuat konflik horizontal antarelemen masyarakat yang dapat melibatkan unsur SARA, dan kerusakan moral yang melanda masyarakat luas akibat maraknya money politic (risywah siyâsiyyah). “Berdasarkan prinsip mendahulukan mencegah kemafsadatan, pemilihan kepala daerah sebaiknya dilakukan dengan sistem perwakilan.”[9]

 III.  PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan analisa masalah yang telah penulis lakukan, maka didapat suatu kesimpulan, antara lain :
1.        Dalam pandangan Islam, hukum asal pemilu dan melibatkan diri di dalamnya adalah mubah. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa pemilu merupakan aqad wakalah dalam hal aspirasi dan pendapat. Selama hukum dan syarat wakalahnya telah terpenuhi dan sejalan dengan prinsip Islam, maka absah-lah akad wakalah tersebut. Namun dalam konteks memilih penguasa, Islam memiliki pandangan tersendiri yang berbeda dengan pandangan politik demokrasir. Dalam sistem politik Islam, aktivitas memilih dan mengangkat penguasa (imam/khalifah) untuk melaksanakan hukum-hukum Islam bukan hanya boleh, bahkan wajib.
2.        Pilkada secara langsung  menurut Majelis Ulama Indonesia selama ini banyak menimbulkan masalah/ mafsadat daripada manfaatnya yang diantaranya :
- Rawan konflik ;
- Suburnya politik uang ;
- Berbiaya besar ;
- Tidak menghasilkan kepemimpinan yang berkualitas ;
3.        Jadi berdasarkan prinsip mendahulukan mencegah kemafsadatan, menurut Majelis Ulama Indonesia pemilihan kepala daerah sebaiknya dilakukan dengan sistem perwakilan.







DAFTAR PUSTAKA


1.      Al-Qur 'an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur,an,. Jakarta ,1984.
2.      Dadan Wildan, Sejarah Perjuangan Persis 1923-1953, Gema Syahida, Bandung, 1995, 28 dan 142.
8.      Harian Kompas, 3 Juli 2012.
9.      Ibid.
10.  Kriteria calon presiden menurut PP Persis, berdasarkan Surat Edaran bernomor JJ-C.3/2004 tertanggal 17 Rabi’ al-Tsânî/05 Juni 2004.






[5] Persis adalah salah satu ormas Islam di Indonesia, berdampingan dengan Muhammadiyah, NU, PUI, dan Jami’atul Wasliyah dalam mengemban tugas dakwah. Persis didirikan tgl. 12 September 1923 M bertepatan dengan 1 Shafar 1342 H di Bandung oleh H. Zamzam alumnus Dar al-Ulum Mekkah. Pada Muktamar VI Persis tahun 1956 bernama Majlis Ulama Persatuan Islam dan menjadi Dewan Hisbah pada Muktamar Persis VIII tahun 1967. Fatwa–fatwa berkaitan dengan aspek aqidah, ibadah, dan muamalah dikeluarkan, utamanya menolak taqlid, jumud, khurafat, bidah, takhayul dan yirik. Fatwa saat ini, meliputi ekonomi dan politik. Lihat Dadan Wildan, Sejarah Perjuangan Persis 1923-1953, Gema Syahida, Bandung, 1995, 28 dan 142.
[6] Kriteria calon presiden menurut PP Persis, berdasarkan Surat Edaran bernomor JJ-C.3/2004 tertanggal 17 Rabi’ al-Tsânî/05 Juni 2004, adalah: a) Tokoh Islam
[7] Harian Kompas, 3 Juli 2012
[8] Ibid.