Laman

Kamis, 05 Desember 2013


Sejarah Lahirnya Konsep Pembagian Harta Bersama Pasal 96 dan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam



Harta Gono Gini Dalam Islam
Akhir-akhir ini banyak dari masyarakat yang menanyakan status harta gono-gini, bahkan terakhir ada seorang muslimah yang dicerai oleh suaminya, kemudian muslimah tersebut meminta harta gono gini dari suaminya 50%, suaminya-pun merasa keberatan dengan permintaan tersebut, akhirnya mereka berdua sepakat untuk pergi ke pengadilan. Bagaimana sebenarnya kedudukan harta gono gini ini dalam pandangan Islam?
Ø  Qur’an Surah An Nisa’ ( 4 ) ayat 32 :
Ÿwur (#öq¨YyJtGs? $tB Ÿ@žÒsù ª!$# ¾ÏmÎ/ öNä3ŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ 4 ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB (#qç6|¡oKò2$# ( Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ŠÅÁtR $®ÿÊeE tû÷ù|¡tGø.$# 4 (#qè=t«óur ©!$# `ÏB ÿ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ¨bÎ) ©!$# šc%Ÿ2 Èe@ä3Î/ >äó_x« $VJŠÎ=tã ÇÌËÈ  
Artinya :  Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain.( karena )bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karuniaNya.Sesungguhnya Allah maha mengetahui segala sesuatu.[1]

Ø  Hadist nabi :
عَنْ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
Artinya :  Dari Amru’ bin Auf al Muzani dari bapaknya dari kakeknya bahwa Rasulullah saw bersabda: “Perdamaian adalah boleh di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal dan perdamaian yang menghalalkan yang haram “ [2]

Konsep Harta Dalam Islam
Sebelum berbicara masalah harta gono–gini, sebaiknya kita mengenal terlebih dahulu tentang “konsep harta “dalam rumah tangga Islam :
Pertama : Bahwa harta merupakan tonggak kehidupan rumah tangga, sebagaimana firman Allah SWT :
وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا
“ Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta kamu yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan[3] 
Kedua : Kewajiban Suami yang berkenaan dengan harta adalah sebagai berikut
1. Memberikan mahar kepada istri, sebagaimana firman Allah SWT :
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
“ Berikanlah mas kawin kepada wanita yang kamu nikahi sebagai bentuk kewajiban (yang harus dilaksanakan dengan ikhlas)”[4]
2. Memberikan nafkah kepada istri dan anak, sebagaimana firman Allah SWT :
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“ Dan kepada ayah berkewajiban memberi nafkah dan pakaian yang layak kepada istrinya “[5]
Ketiga : Suami tidak boleh mengambil harta istri, kecuali dengan izin dan ridhonya, sebagaimana firman Allah SWT :
فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا

“ Jika mereka (istri-istri kamu) menyerahkan dengan penuh kerelaan sebagian mas kawin mereka kepadamu, maka terimalah pemberian tersebut sebagai harta yang sedap dan baik akibatnya “[6]
Keempat : Jika terjadi  perceraian  antara suami istri,  maka ketentuannya sebagai berikut :
1. Istri mendapat seluruh mahar jika ia telah melakukan hubungan sex dengan suaminya, atau salah satu diantara kedua suami istri tersebut meninggal dunia dan mahar telah ditentukan, dalam hal ini Allah SWT berfirman :
وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
“ Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. “[7]
2. Istri mendapat setengah mahar jika dia belum melakukan hubungan sex dengan suaminya dan mahar telah ditentukan, sebagaimana firman Allah SWT :
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ
“ Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu. “[8]
Istri mendapat mut’ah (uang pesangon) jika dia belum melakukan hubungan sex dengan suaminya dan mahar belum ditentukan, sebagaimana firman Allah SWT :
لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ
“ Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. rang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.[9]

Bagaimana Pembagian Harta Gono- Gini Menurut Islam?
Setelah mengetahui pengertian harta gono gini, timbul pertanyaan berikutnya, bagaimana membagi harta gono gini tersebut menurut Islam?
Di dalam Islam tidak ada aturan secara khusus bagaimana membagi harta gono-gini. Islam hanya memberika rambu-rambu secara umum di dalam menyelesaikan masalah bersama, diantaranya adalah :
- Qur’an Surah An Nisa’ ( 4 ) ayat 32 :
Ÿwur (#öq¨YyJtGs? $tB Ÿ@žÒsù ª!$# ¾ÏmÎ/ öNä3ŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ 4 ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB (#qç6|¡oKò2$# ( Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ŠÅÁtR $®ÿÊeE tû÷ù|¡tGø.$# 4 (#qè=t«óur ©!$# `ÏB ÿ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ¨bÎ) ©!$# šc%Ÿ2 Èe@ä3Î/ >äó_x« $VJŠÎ=tã ÇÌËÈ   
Artinya :  Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain.( karena )bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karuniaNya.Sesungguhnya Allah maha mengetahui segala sesuatu.
Ayat di atas menerangkan sebenarnya tidak ada konsep harta bersama dalam Islam, namun setiap pasangan suami istri berhak atas apa yang diusahakannya, ini berarti perolehan bagian masing-masing suami istri tergantung dari apa yang diusahakannya, sehingga tidak ada percampuran harta dalam perkawinan.
- Pembagian harta gono-gini tergantung kepada kesepakatan suami dan istri. Kesepakatan ini di dalam Al Qur’an disebut dengan istilah “Ash Shulhu “yaitu perjanjian untuk melakukan perdamaian antara kedua belah pihak (suami istri) setelah mereka berselisih. Allah SWT berfirman:
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
“ Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya untuk mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) “[10]
Ayat di atas menerangkan tentang perdamaian yang diambil oleh suami istri setelah mereka berselisih. Biasanya di dalam perdamaian ini ada yang harus merelakan hak-haknya, pada ayat di atas, istri merelakan hak-haknya kepada suami demi kerukunan antar keduanya. Hal ini dikuatkan dengan sabda Rasulullah saw :
عَنْ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
Dari Amru’ bin Auf al Muzani dari bapaknya dari kakeknya bahwa Rasulullah saw bersabda: “Perdamaian adalah boleh di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal dan perdamaian yang menghalalkan yang haram “[11]
Begitu juga dalam pembagian harta gono-gini, salah satu dari kedua belah pihak atau kedua-duanya kadang harus merelakan sebagian hak-nya demi untuk mencapai suatu kesepakatan. Umpamanya : suami istri yang sama-sama bekerja dan membeli barang-barang rumah tangga dengan uang mereka berdua, maka ketika mereka berdua melakukan perceraian, mereka sepakat bahwa istri mendapatkan 40 % dari barang yang ada, sedang suami mendapatkan 60 %, atau istri 55 % dan suami 45 %, atau dengan pembagian lainnya, semuanya diserahkan kepada kesepakatan mereka berdua.
Kenapa Pasal 96 dan 97 Kompilasi Hukum Islam membagi rata bagian masing-masing suami istri ?

Memang kita temukan di dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) pasal 96 dan pasal 97, yang menyebutkan bahwa :
Pasal 96 :
Ayat (1) : Apabila terjadi cerai mati, maka separo harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.
Ayat (2) : Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki ataumatinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.
Pasal 97  : Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Keharusan untuk membagi sama rata, yaitu masing-masing mendapatkan 50%, seperti dalam KHI di atas, ternyata tidak mempunyai dalil yang bisa dipertanggung jawabkan, sehingga pendapat yang benar dalam pembagian harta gono gini adalah dikembalikan kepada kesepakatan antara suami istri.
Namun di Negara-negara Islam di Timur Tengah khususnya di Negara Saudi Arabia tidak mengenal konsep harta bersama sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 35 UU No. 1 tahun 1974 ayat (1) disebutkan : “ harta bersama atau harta benda yang diperoleh selama perkawinan “, kecuali harta yang diatur dalam ayat (2) Pasal 35 yakni  : “ harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain “ jo Pasal 1 huruf f Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa : “ harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun”.
Kalau kita belajar dan mengkaji sejarah kenapa di Indonesia diatur tentang harta bersama suami istri serta diatur pula pembagiannya, hal ini karena kehidupan dan kondisi masyarakat Indonesia berberda dengan masyarakat di negara-negara Timur Tengah, dimana kehidupan seorang istri dalam perkawinan sudah dijamin dengan layak, istri bertugas hanya melayani suami dan mendidik anak di rumah, semua kebutuhan istri telah dipenuhi bahkan urusan berbelanja di pasar itu urusan suami dan pekerjaan di rumah tangga telah disediakan pembantu yang siap setiap saat melakukan pekerjaan rumah tangga.
Lain halnya dengan kehidupan masyarakat Indonesia, yang sejarah awal mulanya sebelum pembentukan UU Nomor 1 tahun 1974 kondisi masyarakat Indonesia adalah masyarakat agraris, dimana para suami bekerja di sawah/ladang sebagai petani, namun demikian walaupun istri di rumah namun peran istri setara dengan suami, walaupun tidak terjun langsung ke sawah atau ke ladang. Di rumah istri juga bangun pagi dengan memasak untuk suami yang bekerja di sawah/ladang dan istri di rumah juga bekerja mengerjakan pekerjaan rumah lainnya yang justru mungkin lebih berat dari pekerjaan suami.
Dalam perkembangan zaman berikutnya di negara kita para istri juga bekerja di luar rumah, ada yang bekerja sebagai pegawai pemerintah maupun swasta juga ada yang bekerja sebagai buruh di luar rumah. Hal inilah yang melatar belakangi konsep harta bersama dalam perkawinan dalam UU Nomor 1 tahun 1974 Jo Kompilasi Hukum Islam bahkan kemudian diatur pembagiannya sebagaimana tersebut dalam pasal 96 dan 97 Kompilasi Hukum Islam tersebut di atas.
 Dalam kenyataannya ketentuan dalam pasal 96 dan 97 Kompilasi Hukum Islam tersebut bukanlah sesuatu yang baku dan keharusan, sebab masing-masing pihak dapat pula dengan kesepakatan membagi harta bersama tersebut menurut kehendaknya sendiri, dan di dalam kasus pembagian harta bersama karena perceraian di Pengadilan Agama juga tidak semata-mata menerapkan aturan dalam pasal tersebut, namun dilihat dari kasus perkasus.





[1] Qs. an-Nisa’ : 32

[2] HR Abu Dawud, Ibnu Majah, dan disahihkan oleh Tirmidzi
[3] Qs. an-Nisa’ : 5
[4] Qs. an-Nisa’ : 4
[5] Qs. al-Baqarah : 233
[6] Qs. an-Nisa’ : 4
[7] Qs. an- Nisa’ : 20- 21
[8] Qs. al- Baqarah : 237
[9] Qs. al- Baqarah : 236
[10] Qs. an-Nisa’ : 128
[11] HR Abu Dawud, Ibnu Majah, dan disahihkan oleh Tirmidzi