Laman

Selasa, 26 Februari 2013

HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Oleh : Hj. Awaliatun Nikmah, S.Ag




I
PENDAHULUAN

A.
Latar Belakang
Islam masuk Indonesia diikuti masukya kerajaan-karajaan Islam. Sejak agama Islam mulai dianut oleh penduduk Indonesia, maka dengan itu hukum Islam pun mulai berlaku dalam tata kehidupan bermasyarakat, kaidah hukum diajarkan sebagai pedoman kehidupan setelah terlebih dahulu mengalami institusionalisasi dari proses interaksi sosial inilah hukum Islam mulai mangakar menjadi sistem hukum Islam dalam masyarakat.
Penyebaran Islam di Indonesia yang berlangsung secara bertahap menyebabkan pemberlakuan hukum Islam pun mengalami pentahapan.Selain itu masyarakat pada umunya sudah memiliki aturan atau adat istiadat sendiri, sehigga ketika Islam datang terjadi akulturasi antara hukum Islam dan hukum adat. Perkembangan hukum Islam juga dipengaruhu oleh kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa.
Hukum adalah sebagai produk yang lahir dari dinamika kehidupan manusia, dimana ada masyarakat di sana ada hukum. Jika masyarakat tidak ada tentu saja hukum pun tidak ada. Oleh karena itu sektor hukum harus selalu mengikuti irama perkembangan masyarakat dalam artian bahwa suatu masyarakat yang modern maka harus memiliki hukum yang moderen pula. Proses pembentukan hukum Islam terjadi secara evolusi bersama proses kristalisasi ummat atau komunitas dalam Negara Madinah.[1] Sebagai contoh ketika agama Islam belum disempurnakan oleh Allâh, maka aturan-aturan yang akan mengatur masyarakat diturunkan secara inkremental, dalam rentang waktu  22 tahun dari tahun 610 sampai 632 ( tahun kematian Rasulullah ). Ini sebagai indikator bahwa Islam akan senantiasa mengikuti perkembangan zaman.
Secara historis, dinamika pemikiran hukum Islam di Indonesia menunjukan satu fenomena transformatif dan remedialis, kendati masih nampak nuansa paralelisme yang berulang-ulang tanpa ada kejelasan. Pemikiran ini bukan tambal sulam ide, namun seperti bola salju yang terus menggelinding dan melaju, membangun berbagai konstruksi berbagai tipe dan karakter baru.[2]
Dalam suatu pembangunan hukum, pada tahun 1975, Abdurrahman Wahid, memperkenalkan sebuah pemikiran bahwa, Hukum Islam sebagai penunjang pembangunan,[3] yang secara umum mengarahkan pembicaraannya pada peran dan fungsi hukum Islam untuk menunjang perkembangan tata hukum positif di Indonesia. Munawir Sadzali melontarkan gagasan, Reaktualisasi Ajaran Islam. Dengan mengambil isu-isu pembicaraan mengenai hukum waris, perbudakan dan bunga bank.[4]
Disinilah sebetulnya para ahli hukum Islam  (fuqaha/ulama) untuk merumuskan kembali ajaran agama (hukum Islam) agar mampu mengadopsi budaya masyarakat (socio-cultural) yang sesuai dengan kebutuhan dan realitas yang ada sehingga sikap mendua dalam praktik beragama tidak lagi terjadi.  Sebagai missal, ironis jika umat Islam yang tekun beribadah, namun kesehariannya melakukan transaksi melalui bank konvensional. Kendati masih terdapat pro dan kontra terhadap hukum mengenai haramnya bunga bank. Paling tidak seharusnya meninggalkan sesuatu ketentuan yang masih tanda kutip. Karena tanda kutip menunjukkan adanya indikator kesubhatan dan subhat harus dijauhi atau ditinggalkan.

B.
Rumusan Masalah
Dari Latar belakang diatas, dapat ditarik rumusan masalah:


1).
Bagaimana sejarah masuknya Islam dan perkembangan Hukum Islam di Indonesia ?


2).
Apa faktor-faktor pendukung dan penghambat perkembangan Hukum Islam di Indonesia ?

C.
Tujuan


1).
Mengetahui sejarah masuknya Islam di Indonesia dan perkembangan Hukum Islam di Indonesia .


2).
Mengetahui Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan hukum islam di Indonesia.
II.
PEMBAHASAN

A.
Sejarah Masuknya Islam Ke Indonesia
Pada abad 7 masehi, Islam sudah sampai ke Nusantara. Para Dai yang datang ke Indonesia berasal dari jazirah Arab yang sudah beradaptasi dengan bangsa India yakni bangsa Gujarat dan ada juga yang telah beradaptasi dengan bangsa Cina, Islam masuk dari berbagai arah salah satunya yakni dari jalur sutera (jalur perdagangan), sehingga islam mulai merambah di pesisir-pesisir Nusantara.
Proses masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia menurut Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya yang berjudul “ Menemukan Sejarah “, terdapat 3 teori yaitu:  


1).
Teori Gujarat ;


2).
Teori Makkah dan


3).
Teori Persia.


Ketiga teori tersebut di atas memberikan jawaban tentang permasalah waktu masuknya Islam ke Indonesia, asal negara dan tentang pelaku penyebar atau pembawa agama Islam ke Nusantara. Untuk mengetahui lebih jauh dari teori-teori tersebut, akan penulis uraikan berikut ini ;


1).
Teori Gujarat
Teori ini berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad 13 dan pembawanya berasal dari Gujarat (Cambay), India. Dasar dari teori ini adalah:



a).
Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia.



b).
Hubungan dagang Indonesia dengan India telah lama melalui jalur Indonesia – Cambay – Timur Tengah – Eropa.



c).
Adanya batu nisan Sultan Samudra Pasai yaitu Malik Al Saleh tahun 1297 yang bercorak khas Gujarat.



Pendukung teori Gujarat adalah Snouck Hurgronye, WF Stutterheim dan Bernard H.M. Vlekke. Para ahli yang mendukung teori Gujarat, lebih memusatkan perhatiannya pada saat timbulnya kekuasaan politik Islam yaitu adanya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini juga bersumber dari keterangan Marcopolo dari Venesia (Italia) yang pernah singgah di Perlak ( Perureula) tahun 1292. Ia menceritakan bahwa di Perlak sudah banyak penduduk yang memeluk Islam dan banyak pedagang Islam dari India yang menyebarkan ajaran Islam.


2).
Teori Makkah
Teori ini merupakan teori baru yang muncul sebagai sanggahan terhadap teori lama yaitu teori Gujarat. Teori Makkah berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 dan pembawanya berasal dari Arab (Mesir). Dasar teori ini adalah:



a).
Pada abad ke 7 yaitu tahun 674 di pantai barat Sumatera sudah terdapat perkampungan Islam (Arab), dengan pertimbangan bahwa pedagang Arab sudah mendirikan perkampungan di Kanton sejak abad ke-4. Hal ini juga sesuai dengan berita Cina.



b).
Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafi’i, dimana pengaruh mazhab Syafi’i terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Mekkah. Sedangkan Gujarat/India adalah penganut mazhab Hanafi.



c)
Raja-raja Samudra Pasai menggunakan gelar Al malik, yaitu gelar tersebut berasal dari Mesir.



Pendukung teori Makkah ini adalah Hamka, Van Leur dan T.W. Arnold. Para ahli yang mendukung teori ini menyatakan bahwa abad 13 sudah berdiri kekuasaan politik Islam, jadi masuknya ke Indonesia terjadi jauh sebelumnya yaitu abad ke 7 dan yang berperan besar terhadap proses penyebarannya adalah bangsa Arab sendiri.


3).
Teori Persia
Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad 13 dan pembawanya berasal dari Persia (Iran). Dasar teori ini adalah kesamaan budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam Indonesia seperti:



a).
Peringatan 10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya Hasan dan  Husein cucu Nabi Muhammad, yang sangat di junjung oleh orang Syiah / Islam Iran. Di Sumatra Barat peringatan tersebut disebut dengan upacara Tabuik/Tabut. Sedangkan di pulau Jawa ditandai dengan pembuatan bubur Syuro.



b).
Kesamaan ajaran Sufi yang dianut Syaikh Siti Jennar dengan sufi dari Iran yaitu Al – Hallaj.



c).
Penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab untuk tanda-tanda bunyi Harakat.



d).
Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik.



e).
Adanya perkampungan Leren/Leran di Giri daerah Gresik. Leren  adalah nama salah satu Pendukung teori ini yaitu Umar Amir Husen dan P.A. Hussein Jayadiningrat.



Ketiga teori tersebut, pada dasarnya masing-masing memiliki kebenaran dan kelemahannya. Maka itu berdasarkan teori tersebut dapatlah disimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia dengan jalan damai pada abad ke – 7 dan mengalami perkembangannya pada abad 13. Sebagai pemegang peranan dalam penyebaran Islam adalah bangsa Arab, bangsa Persia dan Gujarat (India).

B.
Hukum Islam di Indonesia
Ajaran Islam yang mengatur tata cara hidup disebut hukum. Dalam ilmu ushul fiqih, hukum didefiniskan sebagai “perintah Allâh yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, berupa tuntunan untuk melakukan sesuatu yang berarti perintah yang wajib dikerjakan atau tuntunan untuk meninggalkan sesuatu yang berarti larangan dan haram dikerjakan, atau ketetapan hukum itu berupa hal yang mubah (fakultatif), yang berarti boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan, maupun ketetapan hukum yang menjadikan dua hal berkaitan dan salah satunya menjadi sebab atau syarat atau rintangan terhadap yang lain.[5]
Al-Jabiri pernah mengatakan bahwa kebudayaan Islam adalah “Kebudayaan fiqh”. Menempatkan kebudayaan ini sedemikian adiluhung[6] adalah sama sahihnya dengan kita mengatakan bahwa kebudayaan Yunani adalah “kebudayaan filsafat” dan kebudayaan Barat adalah “kebudayaan iptek”. Eksistensinya sebagai sebuah sistem pengetahuan (niẓam al-ma’rifi) dan kodifikasi ajaran agama sangat kokoh dan telah teruji oleh sejarah. Setiap muslim yang pernah belajar dan bisa membaca al-Qur’ân niscaya juga membaca dan menyimpan sebuah atau lebih kitab fiqh. Pandangan yang paralel dengan banyak pemikir lain ini menunjukkan bahwa fiqh merupakan dimensi ajaran agama yang paling mapan dalam belahan masyarakat muslim mana pun. Dari sini, ide untuk melegalformalkan hukum Islam melalui istitusi negara dianggap, oleh sebagian orang, sebagai suatu hal yang penting.[7]
Seiring dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, wewenang kekuasaan yang selama ini dijalankan oleh lembaga taḥkim dipindahkan dan diberikan kepada pengadilan. Hal ini dimaksudkan agar hukum Islam benar-benar bisa ditegakkan dan sekaligus merupakan penjabaran lebih lanjut dari aktivitas keulamaan dalam memberi layanan keagamaan kepada masyarakat.[8] Dari situ, maka muncullah berbagai lembaga pengadilan Islam di beberapa tempat, di antaranya, Pengadilan Serambi di Jawa, Mahkamah Syar’iyah di Sumatera, dan Kerapatan Qadi di Banjar dan Pontianak. Lembaga-lembaga pengadilan ini tidak hanya menuntaskan persoalan perdata saja, akan tetapi dalam batas tertentu juga manangani persoalan pidana.
Fenomena hukum Islam sebagai hukum yang hidup di masyarakat, dengan raja (sultan) sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, telah melahirkan satu teori kredo atau syahadat di kalangan pemerhati hukum Islam. Teori yang sesungguhnya merupakan kelanjutan dari prinsip tauhid dalam filsafat hukum Islam ini mengharuskan pelaksanaan hukum Islam oleh mereka yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat. Hal ini sesuai dengan teori otoritas hukum Islam, sebagaimana digagas oleh H.A.R Gibb, bahwa orang yang telah menerima Islam sebagai agamanya berarti ia telah menerima otoritas hukum Islam atas dirinya.[9] Begitulah keberadaan hukum Islam di Indonesia ketika itu. Sebagai sebuah sistem hukum, ia telah dijalankan dengan penuh kesadaran oleh pemeluknya, sebagai refleksi dan pantulan atas penerimaan Islam sebagai agama yang diyakini.
Bisa dikatakan bahwa kedudukan politik hukum Islam pada masa pra-kemerdekaan, khususnya menjelang berakhirnya masa penjajahan, berada pada posisi yang tidak pasti. Selain dipengaruhi oleh kepentingan kolonialisme, hal itu juga disebabkan karena dalam wilayah ini tidak ada satu pun sistem hukum yang mampu mengakomodasi pluralitas hukum yang ada dalam masyarakat. Sistem hukum Islam yang ada di Nusantara masih terpenggal-penggal, belum kohesif, dan ternyata ia merupakan sistem hukum peninggalan kerajaan-kerajaan Islam lama di Nusantara yang penyusunannya belum terkonstruk dengan baik.
Menilik pada catatan sejarah yang ada pada masa pasca kemerdekaan, kesadaran umat Islam untuk melaksanakan hukum Islam boleh dikatakan semakin meningkat. Perjuangan mereka atas hukum Islam tidak berhenti hanya pada tingkat pengakuan hukum Islam sebagai subsistem hukum yang hidup di masyarkat, tetapi sudah sampai pada tingkat lebih jauh, yaitu legalisasi dan legislasi. Mereka menginginkan hukum Islam menjadi bagian dari sistem hukum nasional, bukan semata substansinya, tetapi secara legal formal dan positif. Fenomena ini pertama kali muncul setidaknya berbarengan dengan lahirnya Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, di mana sila pertamanya berbunyi: “Ketuhanan Yang Maha Esa Dengan Kewajiban Menjalankan Syari’at Islam Bagi Pemeluk-pemeluknya”. Perjuangan bagi legislasi hukum Islam sedikit meredup setelah pada 18 Agustus 1945, tim sukses dari golongan Islam tidak mampu mempertahankan tujuh kata terakhir dari hiruk-pikuk polarisasi dasar negara. Dengan hilangnya tujuh kata tersebut, maka menjadi sangat sulit bagi siapa pun untuk melegal-positifkan hukum Islam (Syari’ah) dalam bingkai konstitusi negara, termasuk di era reformasi sekarang ini. Sebuah problem bersama yang entah kapan akan berakhir.
Dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan politik. Keduanya secara organis berhubungan, bahkan juga integral dengan struktur ekonomi suatu negara Islam. Baik al-Qur’ân, Hadits maupun sejarah Islam membuktikan hal itu. Agama dan politik saling terkait,  bahkan saling membutuhkan. Pada saat awal kehadiran Islam, masalah pertama yang dihadapinya adalah politik. Sebab tanpa peranan politik, Islam tidak akan mampu hidup. Islam harus memiliki kekuasaan demi kelancaran mekanisme pengembangan agama. Di sini pula dapat terbukti bahawa berkembanganya suatu agama sangat bergantung pada kondisi politik tertentu. Apabila kondisi politik itu memungkinkan untuk melancarkan manuver politik keagamaan, besar kemungkinan agama itu dapat berkembang, begitu pula sebaliknya.[10] Dengan demikian, yang di maksud dengan politik Islam adalah politik yang didasarkan atas syari’at yang berasal dari al- Qur’ân dan As-Sunnah.
Istilah yang didasarkan diatas, mengandung pengertian interpretasi nas-naṣ̣ al-Qur’ân dan As-sunnah tentang prinsip-prinsip politik dalam Islam. Di dalamnya diyakini milik prinsip-prinsip itu, sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, bahwa Islam pertama-tama tampil sebagai agama yang tercermin dalam ajaran tentang ketuhanan dan kehidupan yang baik, kemudian membentuk wilayah (negara) sebagai alat untuk memberikan perlindungan terhadap umat dan meningkatkan kehidupan yang baik, dan akhirnya menjadi budaya yang memadukan peradaban luhur yang telah dihasilkan manusia selama ribuan tahun dan melenyapkan peradaban lain yang tidak sejalan dengan kerangka tujuan budaya Islam. Oleh karena itu, Islam telah meletakkan sistem kekuasaan yang bukan sistem aristokrasi maupun teokrasi[11], sehingga prinsip-prinsip kekuasaan dalam Islam harus menjadi landasan utama dalam politik Islam. Kekuasaan yang dicari dalam Islam, bukanlah untuk kekuasaa itu sendiri, bukan pula perluasan kekuasaan pribadi atau kolektif. Islam menempatkan kekuasaan dalam kerangka morala yang aktif. Kekuasaan bukanlah tujuan, tetapi sarana untuk mengabdi kepada  SWT. Kekuasaan adalah alat untuk mencari kehidupan abadi yang bahagia dan merupakan sumber rahmat dan keadailan bagi ummat manusia. Dengan demikian, politik Islam bermakana pengaturan, pengurusan, dan pemeliharaan berbagai urusan masyarakat dengan tatanan yang sesuai dengan Islam.
Tidak dapat dipungkiri bagi kaum muslimin dewasa ini bahwa Islam merupakan jalan hidup yang meliputi aspek-aspek fisik, politik, dan spiritual. Syar’iah atau jalan hidup Islam meliputi perundang-undangan hukum, politik, upacara keagamaan serta moral. Hukum Islam atau fikih tidak terbatas hanya pada masalah-masalah sipil dan kriminal, melainkan juga mengatur berbagai urusan politik, ekonomi, sosial, nasional, Islam tidak memisahkan agama dari politik.[12]
Prinsip yang paling mendasar dan terpenting yang harus ditegakkan dalam dasar-dasar politik Islam adalah berkaitan dengan prinsip ajaran Islam, yakni ajaran Tauhid, monoteisme dalam pengertiannya yang paling tegas, tauhid bukan sekedar suatu prinsip teologi, tetapi juga merupakan landasan utama dalam epistimologi Islam dan prinsip yang mendasar dari metodologi Islam serta semua studi mengenai Islam. Sesuai dengan prinsip otoritas ini, kedaulatan, keputusan, dan kekuasaan serta hak memberi perintah adalah semata-mata milik  SWT. Al- quran menyatakan semua itu sebagai postulat dasar. Seseorang yang memiliki keyakinan seperti ini sampai ke lubuk hati dan jiwanya, dan tidak sekedar pengakuan di lisan, maka seseorang tersebut telah menemukan kebenaran dan kebaikan hidup, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Dengan demikian, prinsip ini harus menjadi dasar dalam konstitusi Islam dalam sebuah pemerintahan negara.
Prinsip dasar tauhid dalam politik memberikan pembenaran atas segala usaha untuk mendirikan suatu tatanan Illahi, suatu pemerintahan dan sistem politik yang adil serta tidak mengenal imperialisme, kediktatoran, kolonialisme, keajaiban, penindasan, tirani, politik kekuasaan serta segala bentuk model dan jenis peraturan yang bertentangan dengan ajaran tauhid jadi masyarakat muslim muwâhid yang baik dengan sistem sosio-politik Islam adalah masyarakat dengan sistem tauhid yang benar.
Dengan demikian, pada dasarnya prinsip utama dalam politik Islam adalah iman terhadap keesaan dan kekuasaan  SWT, dan ini merupakan landasan sistem sosial dan moral yang ditanamkan oleh para Rasul, kedaulatan ada di tangan  sehingga  sendirilah yang merupakan pemberi hukum.

C.
Faktor-Faktor Pendukung Dan Penghambat Hukum Islam di Indonesua

Untuk mengetahui bagaimana masa depan kedudukan dan keberlakuan hukum Islam di Indonesia, harus dilihat dari berbagai faktor yang mendukung adanya penerimaan (sustainsi) dan juga faktor yang menghambat atau melakukan resistensi. Kedua faktor ini perlu dipertimbangkan mengingat dua hal, yaitu bentuk negara dan kemajemukan masyarakat Indonesia. Bentuk negara Indonesia sudah dianggap final, dan pluralitas masyarakat juga sebuah kenyataan sosial. Dengan demikian yang dapat dilakukan adalah mengetahui berbagai peluang atau prospek sekaligus melihat penghambat bagi implementasi hukum Islam di Indonesia.
Secara politis maupun sosiologis terdapat faktor-faktor yang dianggap sebagai pendukung bagi pemberlakuan hukum Islam di Indonesia. Faktor-faktor tersebut adalah : kedudukan hukum Islam, penganut yang mayoritas, ruang lingkup hukum Iislam yang luas, serta dukungan aktif organisasi kemasyarakatan Islam. Kedudukan huku Islam sejajar dengan hukum yang lain, dalam artian mempunyai kesempatan yang sama dalam pembentukan hukum nasional. Namun, hukum Islam mempunyai prospek yang lebih cerah berdasarkan berbagai alasan, baik alasan historis, yuridis, maupun sosiologis. Nilai-nilai hukum Islam mempunyai lingkup yang lebih luas, bahkan sebagian nilai-nilai tersebut sudah menjadi bagian dari kebudayaan nasional. Sedangkan hukum adalah bagian dari kebudayaan.
Faktor lain, kenyataan bahwa islam merupakan agama dengan penganut mayoritas merupakan aset yang menjanjikan. Dengan modal mayoritas ini, umat Islam bisa masuk dalam berbagai lembaga pemerintahan, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, yang mempunyai kewenangan menetapkan politik hukum. Logikanya, semakin banyak populasi muslim, maka semakin banyak pula aspirasi yang masuk dan terwakili. Namun realitas ini tidak serta merta terwujud, karena sangat tergantung pada bagaimana keinginan dan upaya umat Islam mengimplementasikannya.
Faktor pendukung lain terletak pada cakupan bidang hukum yang luas. Dengan keluasan bidangnya, hukum Islam merupakan alternatif utama dalam pembentukan tata hukum, karena mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan hukum masyarakat. Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan mengambil nilai-nilai Islam yang bersifat universal (sebagai norma abstrak) untuk dijadikan sebagai konsep teoritis guna dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Faktor keempat yang juga penting adalah peran aktif lembaga atau organisasi Islam. Secara struktural keberadaan organisasi-organisasi Islam dalam sistem politik Indonesia menjadi pengimbang bagi kebijakan pemerintah. Kontribusi nyata dari berbagai organisasi Islam setidaknya menjadi daya tawar dalam pengambilan berbagai keputusan yang menyangkut kepentingan umum.
Keempat faktor diatas memberikan gambaran betapa hukum Islam memiliki peluang yang besar untuk menjadi hukum nasional. Namun semua itu tergantung bagaimana umat Islam mengelola potensi tersebut. Hal yang terpenting adalah menyatukan visi tenteng Islam, tanpa kesatuan Islam maka cita-cita untuk mengimplementasikan hukum Islam hanya akan menjadi angan-angan, atau hanya tampil dalam wacana diskusi di kalangan umat Islam.
Disamping peluang atau prospek positif di atas, perlu dicermati juga hambatan yang menjadi penghalang bagi berlakunya hukum Islam di Indonesia. Secara sederhana faktor yang tidak mendukung prospek hukum Islam di Inddonesia tediri dari faktor internal dan ekstenal. Faktor internal berasal dari kurang ‘kafahnya’(maxsimal) institusionalisasi dan pandangan dikotomis terhadap hukum Islam. Sedangkan faktor eksternalnya adalah pengaruh politik hukum pemerintah terhadap bidang-bidang hukum tertentu.
Belum kafahnya pelembagaan hukum Islam di Indonesia terlihat dari pandangan dikhotomis dalam implementasinya. Hukum-hukum yang berhubungan dengan masalah perdata atau hubungan antar pribadi hampir sepenuhnya mendapat perhatian khusus. Namun hukum-hukum selainnya, seperti hukum pidana dan ketatanegaraan belum tersentuh atau minim perhatian. Sehingga penetapan peraturan-peraturan atau hukum yang berlaitan dengan masalah tersebut belum ada campur tangan yang serius. Hal ini tidak lepas dari peran kolonial Belanda yang melakukan represi dan eliminasi terhadap hukum Islam. Pada masa kerajaan Islam, hukum Islam berlaku sepenuhnya, dalam arti menjadi pegangan para hakim/qadhi untuk memutuskan jenis perkara, baik perdata maupun pidana. Intervensi penjajah dengan kekuatan politiknya menyebabkan terjadinya dikhotomis, dimana hukum pidana dan tata negara digantikan dengan sistem hukum Barat/ Eropa.
Pola dikhotomi hukum privat dan publik ini berlanjut setelah Indonesia merdeka. Pemerintah yang baru hanya memberi kewenangan pemberlakuan hukum perdata Islam. Sedangkan hukum publik menjadi monopoli pemerintah,yang masih memberlakukan hukum Belanda. Pengadilan Agama sebagai institusi resmi, hanya berwenang menangani perkara-perkara yang terjadi diantara orang-orang yang beragama Islam, misalnya dalam bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, serta sadaqoh yang dilaksanakan menurut hukum Islam.
Kurang melembagakan hukum publik Islam ini juga dipengaruhi oleh faktor politik hukum. Negara Indonesia bukanlah negara agama, permasalahan penetapan hukum adalah kekuasaan negara, termasuk masalah agama menjadi wewenang negara. Sehingga dalam hal ini umat Islam sepenuhnya tunduk pada undang-undang yang diberikan oleh negara. Menyikapi hal ini perlu adanya penegasan kaidah agama dengan cara penegakan diri agar para penganutnya tidak melanggar ajaran agamanya. Dengan demikian, syariat Islam tidak hanya didakwahkan tetapi diaktualisasikan dan disosialisasikan guna membatasi kelemahan dan kekurangan hukum positif.
III
PENUTUP

-
Kesimpulan
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan hukum Islam di Indonesia pada dasarnya ditentukan oleh dua hal, yaitu keinginan umat Islam sendiri dan kebijakan pemerintah yang berkuasa. Ketika kedua hal tersebut bergayut, maka pemberlakuan hukum Islam menjadi mudah. Namun sebaliknya jika kedua hal tersebut bertentangan orientasinya, maka pemerintah menjadi pihak yang menentukan kedudukan hukum Islam. Kondisin inilah yang mewarnai sejarah hukum Islam di Indonesia sejak masa awal hingga masa kontemporer sekarang. Seberapa besar keinginan umat Islam dan seberapa kuat bargaining powernya menjadi faktor yang menentukan eksistensi hukum Islam.

























DAFTAR PUSTAKA
A.R. Gibb, Aliran-aliran Modern dalam Islam, terj, Machnun Husein (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993).
Abdurrahman Wahid, “Hukum Islam sebagai Penunjang Pembangunan , dalam prisma No. 4 1975Tulisan ini telah diproduksi dalam berbagai buku diantaranya Eddi Rdiana Arief (ed), Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek, Bandung: Rosda Karya..
 Ahmad Yamin, Yaumul Islâm, Terjemahan Abu Laila dan Muhammad Tohir, Islam Dari Masa Ke Masa (Bandung, Rosda, 1987).
Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah dan Prospeknya (Jakarta: Gema Insani Press, 1996).
Hijrahnya Nabi Muhammad SAW. dari Mekkah ke Kota Madinah adalah manuver politik pertama yang dilakukannya dan merupakan kota yang memungkinkan dan potensial untuk pengembanagn agama. Lihat Fachry Ali, Pancasila dan pergulatan Politik (Jakarta: Pustaka Antara, 1984).
 Iqbal Ahmad, Realitas Politik Islam, Terjemahan Utsman Efendi dalam Majalah Pesantren, No. 2, 1988, P3M, Jakarta.
Lihat Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan, (Jakarta: Paramadina 1997),  6; Munawir Sjadzali, Reaktualisasi Ajaran Islam, dalam Iqbal Abdurrouf Saimima, (ed)Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988).
Mahsun Fuad, Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: LKIS, 2005) cet. 1,  2
Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia, Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2005), Cet. Pertama.
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Kairo: Daar al-Fikr al’arabi), 1958).
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam. Omplementasiny pada Priode Negara Madinah dan Masa Kini (Jakarta: Bulam Bintang, 1992), Cet. Pertama.
Tinggi mutunya, yakni nilai-nilai seni budaya adiluhung yang wajib dipelihara, Lihat Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan bahasa,  Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka 1989).







[1] Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam. Implementasinya pada Priode Negara Madinah dan Masa Kini (Jakarta: Bulam Bintang, 1992), Cet. Pertama, hal  44

[2] Mahsun Fuad, Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: LKIS, 2005) cet. 1, hal 2
[3] artikel Abdurrahman Wahid, “Hukum Islam sebagai Penunjang Pembangunan , dalam prisma No. 4 1975Tulisan ini telah diproduksi dalam berbagai buku diantaranya Eddi Rdiana Arief (ed), Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek, Bandung: Rosda Karya, 199, hal 124.
[4] Lihat Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan, (Jakarta: Paramadina 1997),  6; Munawir Sjadzali, Reaktualisasi Ajaran Islam, dalam Iqbal Abdurrouf Saimima, (ed)Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), hal 11.
[5] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Kairo: Daar al-Fikr al’arabi), 1958), hal 21.
[6] Tinggi mutunya, yakni nilai-nilai seni budaya adiluhung yang wajib dipelihara, Lihat Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan bahasa,  Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka 1989), hal 98
[7] Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia, Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2005), Cet. Pertama, hal 48
[8] Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah dan Prospeknya (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hal 78
[9] A.R. Gibb, Aliran-aliran Modern dalam Islam, terj, Machnun Husein (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), hal 145-146
[10] Hijrahnya Nabi Muhammad SAW. dari Mekkah ke Kota Madinah adalah manuver politik pertama yang dilakukannya dan merupakan kota yang memungkinkan dan potensial untuk pengembanagn agama. Lihat Fachry Ali, Pancasila dan pergulatan Politik (Jakarta: Pustaka Antara, 1984), hal 3.
[11] Ahmad Yamin, Yaumul Islâm, Terjemahan Abu Laila dan Muhammad Tohir, Islam Dari Masa Ke Masa (Bandung, Rosda, 1987), hal 59.
[12] Iqbal Ahmad, Realitas Politik Islam, Terjemahan Utsman Efendi dalam Majalah Pesantren, No. 2, 1988, P3M, Jakarta, hal 3.