HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Oleh : Hj. Awaliatun Nikmah, S.Ag
|
||||
I
|
PENDAHULUAN
|
|||
|
A.
|
Latar Belakang
Islam masuk Indonesia diikuti masukya
kerajaan-karajaan Islam. Sejak agama Islam mulai dianut oleh penduduk
Indonesia, maka dengan itu hukum Islam pun mulai berlaku dalam tata kehidupan
bermasyarakat, kaidah hukum diajarkan sebagai pedoman kehidupan setelah
terlebih dahulu mengalami institusionalisasi dari proses interaksi sosial
inilah hukum Islam mulai mangakar menjadi sistem hukum Islam dalam
masyarakat.
Penyebaran Islam di Indonesia yang berlangsung
secara bertahap menyebabkan pemberlakuan hukum Islam pun mengalami
pentahapan.Selain itu masyarakat pada umunya sudah memiliki aturan atau adat
istiadat sendiri, sehigga ketika Islam datang terjadi akulturasi antara hukum
Islam dan hukum adat. Perkembangan hukum Islam juga dipengaruhu oleh
kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa.
Hukum adalah sebagai produk yang lahir
dari dinamika kehidupan manusia, dimana ada masyarakat di sana ada hukum.
Jika masyarakat tidak ada tentu saja hukum pun tidak ada. Oleh karena itu
sektor hukum harus selalu mengikuti irama perkembangan masyarakat dalam
artian bahwa suatu masyarakat yang modern maka harus memiliki hukum yang
moderen pula. Proses pembentukan hukum Islam terjadi secara evolusi bersama
proses kristalisasi ummat atau komunitas dalam Negara Madinah.[1] Sebagai contoh ketika agama
Islam belum disempurnakan oleh Allâh, maka aturan-aturan yang akan mengatur
masyarakat diturunkan secara inkremental, dalam rentang waktu 22 tahun
dari tahun 610 sampai 632 ( tahun kematian Rasulullah ). Ini sebagai
indikator bahwa Islam akan senantiasa mengikuti perkembangan zaman.
Secara historis, dinamika pemikiran
hukum Islam di Indonesia menunjukan satu fenomena transformatif dan
remedialis, kendati masih nampak nuansa paralelisme yang berulang-ulang tanpa
ada kejelasan. Pemikiran ini bukan tambal sulam ide, namun seperti bola salju
yang terus menggelinding dan melaju, membangun berbagai konstruksi berbagai
tipe dan karakter baru.[2]
Dalam suatu pembangunan hukum, pada
tahun 1975, Abdurrahman Wahid, memperkenalkan sebuah pemikiran bahwa, Hukum
Islam sebagai penunjang pembangunan,[3] yang secara umum mengarahkan
pembicaraannya pada peran dan fungsi hukum Islam untuk menunjang perkembangan
tata hukum positif di Indonesia. Munawir Sadzali melontarkan gagasan,
Reaktualisasi Ajaran Islam. Dengan mengambil isu-isu pembicaraan mengenai
hukum waris, perbudakan dan bunga bank.[4]
Disinilah sebetulnya para ahli hukum
Islam (fuqaha/ulama) untuk merumuskan kembali ajaran agama (hukum
Islam) agar mampu mengadopsi budaya masyarakat (socio-cultural) yang sesuai
dengan kebutuhan dan realitas yang ada sehingga sikap mendua dalam praktik
beragama tidak lagi terjadi. Sebagai missal, ironis jika umat Islam
yang tekun beribadah, namun kesehariannya melakukan transaksi melalui bank
konvensional. Kendati masih terdapat pro dan kontra terhadap hukum mengenai
haramnya bunga bank. Paling tidak seharusnya meninggalkan sesuatu ketentuan
yang masih tanda kutip. Karena tanda kutip menunjukkan adanya indikator
kesubhatan dan subhat harus dijauhi atau ditinggalkan.
|
||
|
B.
|
Rumusan
Masalah
Dari Latar belakang diatas, dapat ditarik rumusan masalah:
|
||
|
|
1).
|
Bagaimana sejarah masuknya Islam dan perkembangan Hukum Islam di
Indonesia ?
|
|
|
|
2).
|
Apa faktor-faktor pendukung dan penghambat perkembangan Hukum Islam
di Indonesia ?
|
|
|
C.
|
Tujuan
|
||
|
|
1).
|
Mengetahui sejarah masuknya Islam di Indonesia dan
perkembangan Hukum Islam di Indonesia .
|
|
|
|
2).
|
Mengetahui Faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan hukum islam di Indonesia.
|
|
II.
|
PEMBAHASAN
|
|||
|
A.
|
Sejarah Masuknya Islam Ke Indonesia
Pada abad 7 masehi, Islam sudah sampai ke Nusantara.
Para Dai yang datang ke Indonesia berasal dari jazirah Arab yang sudah
beradaptasi dengan bangsa India yakni bangsa Gujarat dan ada juga yang telah
beradaptasi dengan bangsa Cina, Islam masuk dari berbagai arah salah satunya
yakni dari jalur sutera (jalur perdagangan), sehingga islam mulai merambah di
pesisir-pesisir Nusantara.
Proses masuk dan berkembangnya agama Islam di
Indonesia menurut Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya yang berjudul “ Menemukan
Sejarah “, terdapat 3 teori yaitu:
|
||
|
|
1).
|
Teori Gujarat ;
|
|
|
|
2).
|
Teori Makkah dan
|
|
|
|
3).
|
Teori Persia.
|
|
|
|
Ketiga teori tersebut di atas memberikan jawaban
tentang permasalah waktu masuknya Islam ke Indonesia, asal negara dan tentang
pelaku penyebar atau pembawa agama Islam ke Nusantara. Untuk mengetahui lebih
jauh dari teori-teori tersebut, akan penulis uraikan berikut ini ;
|
||
|
|
1).
|
Teori Gujarat
Teori ini berpendapat bahwa agama Islam masuk ke
Indonesia pada abad 13 dan pembawanya berasal dari Gujarat (Cambay), India.
Dasar dari teori ini adalah:
|
|
|
|
|
a).
|
Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab
dalam penyebaran Islam di Indonesia.
|
|
|
|
b).
|
Hubungan dagang Indonesia dengan India telah lama
melalui jalur Indonesia – Cambay – Timur Tengah – Eropa.
|
|
|
|
c).
|
Adanya batu nisan Sultan Samudra Pasai yaitu Malik
Al Saleh tahun 1297 yang bercorak khas Gujarat.
|
|
|
|
Pendukung teori Gujarat adalah Snouck Hurgronye, WF
Stutterheim dan Bernard H.M. Vlekke. Para ahli yang mendukung teori Gujarat,
lebih memusatkan perhatiannya pada saat timbulnya kekuasaan politik Islam
yaitu adanya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini juga bersumber dari keterangan
Marcopolo dari Venesia (Italia) yang pernah singgah di Perlak ( Perureula)
tahun 1292. Ia menceritakan bahwa di Perlak sudah banyak penduduk yang
memeluk Islam dan banyak pedagang Islam dari India yang menyebarkan ajaran
Islam.
|
|
|
|
2).
|
Teori Makkah
Teori ini merupakan teori baru yang muncul sebagai
sanggahan terhadap teori lama yaitu teori Gujarat. Teori Makkah berpendapat
bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 dan pembawanya berasal dari
Arab (Mesir). Dasar teori ini adalah:
|
|
|
|
|
a).
|
Pada abad ke 7 yaitu tahun 674 di pantai barat
Sumatera sudah terdapat perkampungan Islam (Arab), dengan pertimbangan bahwa
pedagang Arab sudah mendirikan perkampungan di Kanton sejak abad ke-4. Hal
ini juga sesuai dengan berita Cina.
|
|
|
|
b).
|
Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab
Syafi’i, dimana pengaruh mazhab Syafi’i terbesar pada waktu itu adalah Mesir
dan Mekkah. Sedangkan Gujarat/India adalah penganut mazhab Hanafi.
|
|
|
|
c)
|
Raja-raja Samudra Pasai menggunakan gelar Al malik,
yaitu gelar tersebut berasal dari Mesir.
|
|
|
|
Pendukung teori Makkah ini adalah Hamka, Van Leur
dan T.W. Arnold. Para ahli yang mendukung teori ini menyatakan bahwa abad 13
sudah berdiri kekuasaan politik Islam, jadi masuknya ke Indonesia terjadi jauh
sebelumnya yaitu abad ke 7 dan yang berperan besar terhadap proses
penyebarannya adalah bangsa Arab sendiri.
|
|
|
|
3).
|
Teori Persia
Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia
abad 13 dan pembawanya berasal dari Persia (Iran). Dasar teori ini adalah
kesamaan budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam Indonesia seperti:
|
|
|
|
|
a).
|
Peringatan 10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya
Hasan dan Husein cucu Nabi Muhammad, yang sangat di junjung oleh orang
Syiah / Islam Iran. Di Sumatra Barat peringatan tersebut disebut dengan
upacara Tabuik/Tabut. Sedangkan di pulau Jawa ditandai dengan pembuatan bubur
Syuro.
|
|
|
|
b).
|
Kesamaan ajaran Sufi yang dianut Syaikh Siti Jennar
dengan sufi dari Iran yaitu Al – Hallaj.
|
|
|
|
c).
|
Penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja
huruf Arab untuk tanda-tanda bunyi Harakat.
|
|
|
|
d).
|
Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419
di Gresik.
|
|
|
|
e).
|
Adanya perkampungan Leren/Leran di Giri daerah
Gresik. Leren adalah nama salah satu Pendukung teori ini yaitu Umar Amir
Husen dan P.A. Hussein Jayadiningrat.
|
|
|
|
Ketiga teori tersebut, pada dasarnya masing-masing
memiliki kebenaran dan kelemahannya. Maka itu berdasarkan teori tersebut
dapatlah disimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia dengan jalan damai pada
abad ke – 7 dan mengalami perkembangannya pada abad 13. Sebagai pemegang
peranan dalam penyebaran Islam adalah bangsa Arab, bangsa Persia dan Gujarat
(India).
|
|
|
B.
|
Hukum Islam di Indonesia
Ajaran Islam yang mengatur tata cara hidup disebut hukum. Dalam ilmu
ushul fiqih, hukum didefiniskan sebagai “perintah Allâh yang berhubungan
dengan perbuatan orang-orang mukallaf, berupa tuntunan untuk melakukan
sesuatu yang berarti perintah yang wajib dikerjakan atau tuntunan untuk
meninggalkan sesuatu yang berarti larangan dan haram dikerjakan, atau
ketetapan hukum itu berupa hal yang mubah (fakultatif), yang berarti boleh
dikerjakan dan boleh ditinggalkan, maupun ketetapan hukum yang menjadikan dua
hal berkaitan dan salah satunya menjadi sebab atau syarat atau rintangan
terhadap yang lain.[5]
Al-Jabiri pernah mengatakan bahwa kebudayaan Islam adalah “Kebudayaan
fiqh”. Menempatkan kebudayaan ini sedemikian adiluhung[6] adalah sama
sahihnya dengan kita mengatakan bahwa kebudayaan Yunani adalah “kebudayaan
filsafat” dan kebudayaan Barat adalah “kebudayaan iptek”. Eksistensinya
sebagai sebuah sistem pengetahuan (niẓam al-ma’rifi) dan
kodifikasi ajaran agama sangat kokoh dan telah teruji oleh sejarah. Setiap
muslim yang pernah belajar dan bisa membaca al-Qur’ân niscaya juga membaca
dan menyimpan sebuah atau lebih kitab fiqh. Pandangan yang paralel dengan
banyak pemikir lain ini menunjukkan bahwa fiqh merupakan dimensi ajaran agama
yang paling mapan dalam belahan masyarakat muslim mana pun. Dari sini, ide
untuk melegalformalkan hukum Islam melalui istitusi negara dianggap, oleh
sebagian orang, sebagai suatu hal yang penting.[7]
Seiring dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, wewenang kekuasaan
yang selama ini dijalankan oleh lembaga taḥkim dipindahkan
dan diberikan kepada pengadilan. Hal ini dimaksudkan agar hukum Islam
benar-benar bisa ditegakkan dan sekaligus merupakan penjabaran lebih lanjut
dari aktivitas keulamaan dalam memberi layanan keagamaan kepada masyarakat.[8] Dari situ, maka
muncullah berbagai lembaga pengadilan Islam di beberapa tempat, di
antaranya, Pengadilan Serambi di Jawa, Mahkamah
Syar’iyah di Sumatera, dan Kerapatan Qadi di Banjar
dan Pontianak. Lembaga-lembaga pengadilan ini tidak hanya menuntaskan
persoalan perdata saja, akan tetapi dalam batas tertentu juga manangani
persoalan pidana.
Fenomena hukum Islam sebagai hukum yang hidup di masyarakat, dengan raja
(sultan) sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, telah melahirkan satu teori
kredo atau syahadat di kalangan pemerhati hukum Islam. Teori yang
sesungguhnya merupakan kelanjutan dari prinsip tauhid dalam filsafat hukum
Islam ini mengharuskan pelaksanaan hukum Islam oleh mereka yang telah
mengucapkan dua kalimat syahadat. Hal ini sesuai dengan teori otoritas hukum
Islam, sebagaimana digagas oleh H.A.R Gibb, bahwa orang yang telah menerima
Islam sebagai agamanya berarti ia telah menerima otoritas hukum Islam atas
dirinya.[9] Begitulah keberadaan
hukum Islam di Indonesia ketika itu. Sebagai sebuah sistem hukum, ia telah
dijalankan dengan penuh kesadaran oleh pemeluknya, sebagai refleksi dan
pantulan atas penerimaan Islam sebagai agama yang diyakini.
Bisa dikatakan bahwa kedudukan politik hukum Islam pada masa pra-kemerdekaan,
khususnya menjelang berakhirnya masa penjajahan, berada pada posisi yang
tidak pasti. Selain dipengaruhi oleh kepentingan kolonialisme, hal itu juga
disebabkan karena dalam wilayah ini tidak ada satu pun sistem hukum yang
mampu mengakomodasi pluralitas hukum yang ada dalam masyarakat. Sistem hukum
Islam yang ada di Nusantara masih terpenggal-penggal, belum kohesif, dan
ternyata ia merupakan sistem hukum peninggalan kerajaan-kerajaan Islam lama
di Nusantara yang penyusunannya belum terkonstruk dengan baik.
Menilik pada catatan sejarah yang ada pada masa pasca kemerdekaan,
kesadaran umat Islam untuk melaksanakan hukum Islam boleh dikatakan semakin
meningkat. Perjuangan mereka atas hukum Islam tidak berhenti hanya pada
tingkat pengakuan hukum Islam sebagai subsistem hukum yang hidup di
masyarkat, tetapi sudah sampai pada tingkat lebih jauh, yaitu legalisasi dan
legislasi. Mereka menginginkan hukum Islam menjadi bagian dari sistem hukum
nasional, bukan semata substansinya, tetapi secara legal formal dan positif.
Fenomena ini pertama kali muncul setidaknya berbarengan dengan lahirnya
Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, di mana sila pertamanya berbunyi:
“Ketuhanan Yang Maha Esa Dengan Kewajiban Menjalankan Syari’at Islam Bagi
Pemeluk-pemeluknya”. Perjuangan bagi legislasi hukum Islam sedikit meredup
setelah pada 18 Agustus 1945, tim sukses dari golongan Islam tidak mampu
mempertahankan tujuh kata terakhir dari hiruk-pikuk polarisasi dasar negara.
Dengan hilangnya tujuh kata tersebut, maka menjadi sangat sulit bagi siapa
pun untuk melegal-positifkan hukum Islam (Syari’ah) dalam bingkai konstitusi
negara, termasuk di era reformasi sekarang ini. Sebuah problem bersama yang
entah kapan akan berakhir.
Dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan politik. Keduanya secara
organis berhubungan, bahkan juga integral dengan struktur ekonomi suatu
negara Islam. Baik al-Qur’ân, Hadits maupun sejarah Islam membuktikan hal
itu. Agama dan politik saling terkait, bahkan saling membutuhkan. Pada
saat awal kehadiran Islam, masalah pertama yang dihadapinya adalah politik.
Sebab tanpa peranan politik, Islam tidak akan mampu hidup. Islam harus
memiliki kekuasaan demi kelancaran mekanisme pengembangan agama. Di sini pula
dapat terbukti bahawa berkembanganya suatu agama sangat bergantung pada
kondisi politik tertentu. Apabila kondisi politik itu memungkinkan untuk
melancarkan manuver politik keagamaan, besar kemungkinan
agama itu dapat berkembang, begitu pula sebaliknya.[10] Dengan demikian,
yang di maksud dengan politik Islam adalah politik yang didasarkan atas
syari’at yang berasal dari al- Qur’ân dan As-Sunnah.
Istilah yang didasarkan diatas, mengandung pengertian interpretasi
nas-naṣ̣ al-Qur’ân dan As-sunnah tentang prinsip-prinsip politik dalam Islam.
Di dalamnya diyakini milik prinsip-prinsip itu, sebagaimana telah dicontohkan
oleh Rasulullah SAW, bahwa Islam pertama-tama tampil sebagai agama yang
tercermin dalam ajaran tentang ketuhanan dan kehidupan yang baik, kemudian
membentuk wilayah (negara) sebagai alat untuk memberikan perlindungan
terhadap umat dan meningkatkan kehidupan yang baik, dan akhirnya menjadi
budaya yang memadukan peradaban luhur yang telah dihasilkan manusia selama
ribuan tahun dan melenyapkan peradaban lain yang tidak sejalan dengan
kerangka tujuan budaya Islam. Oleh karena itu, Islam telah meletakkan sistem
kekuasaan yang bukan sistem aristokrasi maupun teokrasi[11], sehingga
prinsip-prinsip kekuasaan dalam Islam harus menjadi landasan utama dalam
politik Islam. Kekuasaan yang dicari dalam Islam, bukanlah untuk kekuasaa itu
sendiri, bukan pula perluasan kekuasaan pribadi atau kolektif. Islam menempatkan
kekuasaan dalam kerangka morala yang aktif. Kekuasaan bukanlah tujuan, tetapi
sarana untuk mengabdi kepada SWT. Kekuasaan adalah alat untuk mencari
kehidupan abadi yang bahagia dan merupakan sumber rahmat dan keadailan bagi
ummat manusia. Dengan demikian, politik Islam bermakana pengaturan,
pengurusan, dan pemeliharaan berbagai urusan masyarakat dengan tatanan yang
sesuai dengan Islam.
Tidak dapat dipungkiri bagi kaum muslimin dewasa ini bahwa Islam
merupakan jalan hidup yang meliputi aspek-aspek fisik, politik, dan
spiritual. Syar’iah atau jalan hidup Islam meliputi
perundang-undangan hukum, politik, upacara keagamaan serta moral. Hukum Islam
atau fikih tidak terbatas hanya pada masalah-masalah sipil dan kriminal,
melainkan juga mengatur berbagai urusan politik, ekonomi, sosial, nasional,
Islam tidak memisahkan agama dari politik.[12]
Prinsip yang paling mendasar dan terpenting yang harus ditegakkan dalam
dasar-dasar politik Islam adalah berkaitan dengan prinsip ajaran Islam, yakni
ajaran Tauhid, monoteisme dalam pengertiannya yang paling
tegas, tauhid bukan sekedar suatu prinsip teologi, tetapi juga
merupakan landasan utama dalam epistimologi Islam dan prinsip
yang mendasar dari metodologi Islam serta semua studi
mengenai Islam. Sesuai dengan prinsip otoritas ini, kedaulatan, keputusan,
dan kekuasaan serta hak memberi perintah adalah semata-mata milik SWT.
Al- quran menyatakan semua itu sebagai postulat dasar. Seseorang yang
memiliki keyakinan seperti ini sampai ke lubuk hati dan jiwanya, dan tidak sekedar
pengakuan di lisan, maka seseorang tersebut telah menemukan kebenaran dan
kebaikan hidup, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Dengan demikian,
prinsip ini harus menjadi dasar dalam konstitusi Islam dalam sebuah
pemerintahan negara.
Prinsip dasar tauhid dalam politik memberikan pembenaran atas segala
usaha untuk mendirikan suatu tatanan Illahi, suatu pemerintahan dan sistem
politik yang adil serta tidak mengenal imperialisme, kediktatoran,
kolonialisme, keajaiban, penindasan, tirani, politik kekuasaan serta segala
bentuk model dan jenis peraturan yang bertentangan dengan ajaran tauhid jadi
masyarakat muslim muwâhid yang baik dengan sistem
sosio-politik Islam adalah masyarakat dengan sistem tauhid yang benar.
Dengan demikian, pada dasarnya prinsip utama dalam politik Islam adalah
iman terhadap keesaan dan kekuasaan SWT, dan ini merupakan landasan
sistem sosial dan moral yang ditanamkan oleh para Rasul, kedaulatan ada di
tangan sehingga sendirilah yang merupakan pemberi hukum.
|
||
|
C.
|
Faktor-Faktor
Pendukung Dan Penghambat Hukum Islam di Indonesua
Untuk mengetahui bagaimana masa depan kedudukan dan
keberlakuan hukum Islam di Indonesia, harus dilihat dari berbagai faktor yang
mendukung adanya penerimaan (sustainsi) dan juga faktor yang menghambat atau melakukan
resistensi. Kedua faktor ini perlu dipertimbangkan mengingat dua hal, yaitu
bentuk negara dan kemajemukan masyarakat Indonesia. Bentuk negara Indonesia
sudah dianggap final, dan pluralitas masyarakat juga sebuah kenyataan sosial.
Dengan demikian yang dapat dilakukan adalah mengetahui berbagai peluang atau
prospek sekaligus melihat penghambat bagi implementasi hukum Islam di
Indonesia.
Secara politis maupun sosiologis terdapat
faktor-faktor yang dianggap sebagai pendukung bagi pemberlakuan hukum Islam
di Indonesia. Faktor-faktor tersebut adalah : kedudukan hukum Islam, penganut
yang mayoritas, ruang lingkup hukum Iislam yang luas, serta dukungan aktif
organisasi kemasyarakatan Islam. Kedudukan huku Islam sejajar dengan hukum
yang lain, dalam artian mempunyai kesempatan yang sama dalam pembentukan
hukum nasional. Namun, hukum Islam mempunyai prospek yang lebih cerah
berdasarkan berbagai alasan, baik alasan historis, yuridis, maupun
sosiologis. Nilai-nilai hukum Islam mempunyai lingkup yang lebih luas, bahkan
sebagian nilai-nilai tersebut sudah menjadi bagian dari kebudayaan nasional.
Sedangkan hukum adalah bagian dari kebudayaan.
Faktor lain, kenyataan bahwa islam merupakan agama
dengan penganut mayoritas merupakan aset yang menjanjikan. Dengan modal mayoritas
ini, umat Islam bisa masuk dalam berbagai lembaga pemerintahan, baik
eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, yang mempunyai kewenangan menetapkan
politik hukum. Logikanya, semakin banyak populasi muslim, maka semakin banyak
pula aspirasi yang masuk dan terwakili. Namun realitas ini tidak serta merta
terwujud, karena sangat tergantung pada bagaimana keinginan dan upaya umat Islam
mengimplementasikannya.
Faktor pendukung lain terletak pada cakupan bidang
hukum yang luas. Dengan keluasan bidangnya, hukum Islam merupakan alternatif
utama dalam pembentukan tata hukum, karena mampu mengakomodasi berbagai
kebutuhan hukum masyarakat. Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan mengambil
nilai-nilai Islam yang bersifat universal (sebagai norma abstrak) untuk dijadikan
sebagai konsep teoritis guna dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Faktor keempat yang juga penting adalah peran aktif lembaga atau organisasi Islam.
Secara struktural keberadaan organisasi-organisasi Islam dalam sistem politik
Indonesia menjadi pengimbang bagi kebijakan pemerintah. Kontribusi nyata dari
berbagai organisasi Islam setidaknya menjadi daya tawar dalam pengambilan
berbagai keputusan yang menyangkut kepentingan umum.
Keempat faktor diatas memberikan gambaran betapa
hukum Islam memiliki peluang yang besar untuk menjadi hukum nasional. Namun
semua itu tergantung bagaimana umat Islam mengelola potensi tersebut. Hal
yang terpenting adalah menyatukan visi tenteng Islam, tanpa kesatuan Islam
maka cita-cita untuk mengimplementasikan hukum Islam hanya akan menjadi
angan-angan, atau hanya tampil dalam wacana diskusi di kalangan umat Islam.
Disamping peluang atau prospek positif di atas,
perlu dicermati juga hambatan yang menjadi penghalang bagi berlakunya hukum Islam
di Indonesia. Secara sederhana faktor yang tidak mendukung prospek hukum Islam
di Inddonesia tediri dari faktor internal dan ekstenal. Faktor internal
berasal dari kurang ‘kafahnya’(maxsimal) institusionalisasi dan
pandangan dikotomis terhadap hukum Islam. Sedangkan faktor eksternalnya
adalah pengaruh politik hukum pemerintah terhadap bidang-bidang hukum
tertentu.
Belum kafahnya pelembagaan hukum
Islam di Indonesia terlihat dari pandangan dikhotomis dalam implementasinya.
Hukum-hukum yang berhubungan dengan masalah perdata atau hubungan antar
pribadi hampir sepenuhnya mendapat perhatian khusus. Namun hukum-hukum
selainnya, seperti hukum pidana dan ketatanegaraan belum tersentuh atau minim
perhatian. Sehingga penetapan peraturan-peraturan atau hukum yang berlaitan
dengan masalah tersebut belum ada campur tangan yang serius. Hal ini tidak
lepas dari peran kolonial Belanda yang melakukan represi dan eliminasi
terhadap hukum Islam. Pada masa kerajaan Islam, hukum Islam berlaku
sepenuhnya, dalam arti menjadi pegangan para hakim/qadhi untuk
memutuskan jenis perkara, baik perdata maupun pidana. Intervensi penjajah
dengan kekuatan politiknya menyebabkan terjadinya dikhotomis, dimana hukum
pidana dan tata negara digantikan dengan sistem hukum Barat/ Eropa.
Pola dikhotomi hukum privat dan publik ini berlanjut
setelah Indonesia merdeka. Pemerintah yang baru hanya memberi kewenangan
pemberlakuan hukum perdata Islam. Sedangkan hukum publik menjadi monopoli
pemerintah,yang masih memberlakukan hukum Belanda. Pengadilan Agama sebagai
institusi resmi, hanya berwenang menangani perkara-perkara yang terjadi
diantara orang-orang yang beragama Islam, misalnya dalam bidang perkawinan,
kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, serta sadaqoh yang dilaksanakan menurut
hukum Islam.
Kurang melembagakan hukum publik Islam ini juga
dipengaruhi oleh faktor politik hukum. Negara Indonesia bukanlah negara
agama, permasalahan penetapan hukum adalah kekuasaan negara, termasuk masalah
agama menjadi wewenang negara. Sehingga dalam hal ini umat Islam sepenuhnya
tunduk pada undang-undang yang diberikan oleh negara. Menyikapi hal ini perlu
adanya penegasan kaidah agama dengan cara penegakan diri agar para
penganutnya tidak melanggar ajaran agamanya. Dengan demikian, syariat Islam
tidak hanya didakwahkan tetapi diaktualisasikan dan disosialisasikan guna
membatasi kelemahan dan kekurangan hukum positif.
|
||
III
|
PENUTUP
|
|||
|
-
|
Kesimpulan
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa
perkembangan hukum Islam di Indonesia pada dasarnya ditentukan oleh dua hal,
yaitu keinginan umat Islam sendiri dan kebijakan pemerintah yang berkuasa.
Ketika kedua hal tersebut bergayut, maka pemberlakuan hukum Islam menjadi
mudah. Namun sebaliknya jika kedua hal tersebut bertentangan orientasinya,
maka pemerintah menjadi pihak yang menentukan kedudukan hukum Islam. Kondisin
inilah yang mewarnai sejarah hukum Islam di Indonesia sejak masa awal hingga
masa kontemporer sekarang. Seberapa besar keinginan umat Islam dan seberapa
kuat bargaining powernya menjadi faktor yang menentukan
eksistensi hukum Islam.
|
||
DAFTAR PUSTAKA
A.R. Gibb, Aliran-aliran Modern dalam Islam, terj,
Machnun Husein (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993).
Abdurrahman Wahid, “Hukum Islam sebagai Penunjang Pembangunan , dalam
prisma No. 4 1975Tulisan ini telah diproduksi dalam berbagai buku diantaranya
Eddi Rdiana Arief (ed), Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan
Praktek, Bandung: Rosda Karya..
Ahmad Yamin, Yaumul Islâm, Terjemahan Abu Laila dan
Muhammad Tohir, Islam Dari Masa Ke Masa (Bandung, Rosda,
1987).
Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar
Sejarah dan Prospeknya (Jakarta: Gema Insani Press, 1996).
Hijrahnya Nabi Muhammad SAW. dari Mekkah ke Kota Madinah adalah manuver
politik pertama yang dilakukannya dan merupakan kota yang memungkinkan dan
potensial untuk pengembanagn agama. Lihat Fachry Ali, Pancasila dan
pergulatan Politik (Jakarta: Pustaka Antara, 1984).
Iqbal Ahmad, Realitas Politik Islam, Terjemahan
Utsman Efendi dalam Majalah Pesantren, No. 2, 1988, P3M, Jakarta.
Lihat Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan, (Jakarta: Paramadina
1997), 6; Munawir Sjadzali, Reaktualisasi Ajaran Islam, dalam Iqbal
Abdurrouf Saimima, (ed)Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1988).
Mahsun Fuad, Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: LKIS,
2005) cet. 1, 2
Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia, Dari Nalar Partisipatoris
Hingga Emansipatoris (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2005),
Cet. Pertama.
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Kairo: Daar
al-Fikr al’arabi), 1958).
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum Suatu Studi tentang
Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam. Omplementasiny pada Priode
Negara Madinah dan Masa Kini (Jakarta: Bulam Bintang, 1992), Cet.
Pertama.
Tinggi mutunya, yakni nilai-nilai seni budaya adiluhung yang wajib
dipelihara, Lihat Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan
bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka 1989).
|
[1] Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum Suatu Studi tentang
Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam. Implementasinya pada Priode
Negara Madinah dan Masa Kini (Jakarta: Bulam Bintang, 1992), Cet.
Pertama, hal 44
[3] artikel Abdurrahman Wahid, “Hukum Islam sebagai Penunjang Pembangunan , dalam
prisma No. 4 1975Tulisan ini telah diproduksi dalam berbagai buku diantaranya
Eddi Rdiana Arief (ed), Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek,
Bandung: Rosda Karya, 199, hal 124.
[4] Lihat Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan, (Jakarta: Paramadina
1997), 6; Munawir Sjadzali, Reaktualisasi Ajaran Islam, dalam Iqbal
Abdurrouf Saimima, (ed)Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1988), hal 11.
[6] Tinggi mutunya, yakni nilai-nilai seni budaya adiluhung yang wajib
dipelihara, Lihat Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan
bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka 1989), hal 98
[7] Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia, Dari Nalar Partisipatoris
Hingga Emansipatoris (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2005), Cet.
Pertama, hal 48
[8] Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah
dan Prospeknya (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hal 78
[9] A.R. Gibb, Aliran-aliran Modern dalam Islam, terj, Machnun
Husein (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), hal 145-146
[10] Hijrahnya Nabi Muhammad SAW. dari Mekkah ke Kota Madinah adalah manuver
politik pertama yang dilakukannya dan merupakan kota yang memungkinkan dan
potensial untuk pengembanagn agama. Lihat Fachry Ali, Pancasila dan
pergulatan Politik (Jakarta: Pustaka Antara, 1984), hal 3.
[11] Ahmad Yamin, Yaumul Islâm, Terjemahan Abu Laila dan Muhammad
Tohir, Islam Dari Masa Ke Masa (Bandung, Rosda, 1987), hal
59.
[12] Iqbal Ahmad, Realitas Politik Islam, Terjemahan
Utsman Efendi dalam Majalah Pesantren, No. 2, 1988, P3M, Jakarta,
hal 3.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar