Laman

Jumat, 25 Oktober 2013

PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM KONTEKS SOSIOLOGI HUKUM
Oleh : Hj. Awaliatun Nikmah, S.Ag

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penegakan hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan hukum, maka sudah semestinya seluruh energi dikerahkan agar hukum mampu bekerja untuk mewujudkan nilai-nilai moral dalam hukum. Kegagalan dalam hukum untuk mewujudkan nilai hukum tersebut merupakan ancaman bahaya akan bangkrutnya hukum yang ada. Hukum yang miskin implementasi terhadap nilai-nilai moral akan berjarak serta terisolasi dari masyarakatnya. Keberhasilan penegakan hukum akan menentukan serta menjadi barometer legitimasi hukum ditengah-tengah realitas sosialnya.[1]
Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia secara konsisten dan berksinambungan adalah kunci utama untuk memberantas koruptor-koruptor yang telah merugikan negara. Namun ditengah perjalanan dalam membarantas korupsi, lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapatkan berbagai rintangan dan halangan salah satunya berupa upaya mengkriminalisasi beberapa pimpinan KPK, namun counter attack yang dilakukan oleh koruptor-koruptor untuk melemahkan gerakan KPK harus kandas ditengah jalan karena mendapatkan dukungan yang luar biasa dari masyarakat, sehingga kasus kriminalisasi pimpinan KPK terpaksa dihentikan dengan alasan Sosiologis.
Upaya lainnya untuk menyelamatkan lembaga KPK dari praktek kriminalisasi adalah dengan menggunakan hak pengesampingan perkara (depooner) oleh Jaksa Agung melalui mekanisme Pasal 35 huruf c Undang-Undang Kejaksaan RI yang berbunyi : “ Jaksa agung mempunyai wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum”. Hal ini merupakan asas oppurtunitas Jaksa Agung untuk tidak melakukan penuntutan suatu perkara pidana demi kepentingan umum.
Suatu pemahaman serta pengkajian secara sosiologis terhadap hukum, termasuk penegakannya, merupakan suatu kebutuhan yang minta dipenuhi untuk saat-saat seperti sekarang ini. Yang dimaksud “saat-saat seperti sekarang” ini adalah masa suatu masyarakat, dalam hal ini Indonesia, tengah mengalami perubahan-perubahan, suatu kurun zaman yang ditandai oleh perubahan sosial.[2]

B. Rumusan Masalah
1.  Bagaimana pandangan aliran sosiologi terhadap hukum ?
2.  Bagaimana pandangan sosiologi hukum terhadap pemberantasan korupsi ?

  

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pandangan Aliran Sosiologi Terhadap Hukum
Aliran ini dipelopori oleh Hammaker, Eugen Erlich dan Max Weber. Menurut aliran sosiologi, hukum merupakan hasil interaksi sosial dalam masyarakat. Hukum adalah gejala masyarakat, karenanya perkembangan hukum (timbulnya, berubahnya dan lenyapnya) sesuai dengan perkembangan masyarakat. Perkambangan hukum merupakan kaca dari perkembangan masyarakat.[3]
Oleh sebab itu menurut aliran sosiologis, hukum bukanlah norma-norma atau peraturan-peraturan yang memaksa orang berkelakuan menurut tata tertib yang ada dalam masyarakat, tetapi kebiasaan-kebiasaan orang dalam pergaulannya dengan orang lain, yang menjelma dalam perbuatan atau perilakunya di masyarakat. Hammaker, yang meletakkan dasar sosiologi hukum di Belanda menyatakan, hukum itu bukan suatu himpunan norma-norma, bukan himpunan peraturan-peraturan yang memaksa orang berkelakuan menurut tata tertib masyarakat, tetapi suatu himpunan peraturan-peraturan yang menunjuk ‘kebiasaan’ orang dalam pergaulannya dengan orang lain didalam masyarakat itu.[4]
Menurut Soekanto, aliran Sosiological Jurispridence yang dipelopori oleh Eugen Erlich (1826-1922) yang berasal dari Asutria, bukunya yang terkenal “Fundamental Principle of The Sociology of Law”. Erlich mengatakan bahwa ajarannya adalah berpokok pada perbedaan antara hukum positif (kaidah-kaidah hukum) dengan hukum yang hidup di masyarakat. Erlich juga mengatakan bahwa pusat perkembangan dari hukum bukanlah terletak pada badan-badan legislatif, keputusan-keputusan badan yudikatif atau ilmu hukum, tetapi senyatanya adalah justru terletak di dalam masyarakat itu sendiri. Kemudian dalam hal tata tertib di masyarakat dilaksanakan pada peraturan-peraturan yang dipaksakan oleh negara.[5]
Tokoh penting lainnya ialah Roscoe Pound (1870-1964), yang berasal dari Amerika mengemukakan bahwa hukum itu harus dilihat atau dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi dalam rangka memenuhi akan kebutuhan sosial, serta tugas ilmu hukumlah untuk mengembangkan suatu kerangka kebutuhan-kebutuhan sosial dapat terpenuhi secara maksimal. [6]
Pound juga membedakan dalam mempelajari hukum, ada hukum sebagai suatu proses yang hidup di masyarakat (law in action) dan ada hukum yang tertulis (law in the books). Ajaran pound ini bukanlah satu atau sebagian hukum saja tetapi semua bidang hukum baik subtantif maupun ajektif. Sehingga hukum tersebut apakah sudah sesuai dengan yang senyatanya. Malah Pound menambahkan kajian sosiologi hukum itu sampai kepada putusan dan pelaksanaan pengadilan, serta antara isi suatu peraturan dengan efek-efek nyatanya.[7]
Leon Duguity terkenal dengan konsepsi ‘Solidaritas Sosial’  menyatakan bahwa berlakunya hukum itu sebagai suatu realita, ia diperlukan oleh manusia yang hidup bersama dalam masyarakat. Hukum tidak tergantung pada kehendak penguasa, tetapi bergantung kepada kenyataan sosial. Berlakunya hukum berdasarkan solidaritas dari para anggota masyarakat untuk menaatinya. Suatu peraturan adalah hukum apabila mendapat dukungan dari masyarakat secara efektif. Menurut Duguity, pembentuk undang-undang tidak menciptakan hukum, tetapi hanya mentransformasikan saja hukum yang hidup dalam masyarakat menjadi suatu bentuk yang bersifat teknis yuridis.[8]
B. Pandangan Sosiologi Hukum Terhadap Pemberantasan Korupsi
Dalam literatur sosiologi lazim disebutkan bahwa tindakan korupsi sedikitnya melibatkan empat komponen penting yaitu: birokrat, politisi, pelaku bisnis, dan masyarakat.  Mereka melakukan tindakan terencana dan sistematis memindahkan harta publik (milik rakyat) menjadi harta privat.  Mereka juga memanfaatkan harta publik untuk kepentingan pribadi, baik dengan memfaatkan kelemahan regulasi maupun dengan melanggar peraturan-peraturan yang berlaku.  Jaringan sosial yang mereka beragam, bergantung pada asal inisiatif korupsi (inisiatif siapa), pihak-pihak yang ditempatkan sebagai perantara, dan mekanisme yang dipergunakan untuk memindahakan atau memanfaatkan harta publik yang dikorupsi. 
Korupsi adalah suatu perbuatan yang sudah lama dikenal di dunia dan di Indonesia. Syed H. Alatas yang pernah meneliti korupsi sejak Perang Dunia Kedua menyebutkan, esensi korupsi adalah melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan. Beliau membagi korupsi ke dalam tujuh macam, yaitu korupsi transaksi, memeras, investif, perkerabatan, defensif, otogenik dan dukungan. Indonesia berusaha untuk memberantas korupsi sejak 1950-an dengan mendirikan berbagai lembaga pemberantas korupsi, terakhir Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) suatu “ superbody ” dengan kewenangan istimewa.
Peraturan perundang-undangan merupakan wujud dari politik hukum institusi Negara dirancang dan disahkan sebagai undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Secara parsial, dapat disimpulkan meskipun pemerintah dan bangsa Indonesia serius melawan dan memberantas tindak pidana korupsi di negeri ini, namun demikian  masih tebang pilih, begitu kira-kira pendapat beberapa praktisi dan pengamat hukum terhadap gerak pemerintah dalam menangani kasus korupsi akhir-akhir ini.
Suap terjadi hampir di semua aspek kehidupan dan dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat. Banyak yang belum memahami bahwa suap, baik memberi maupun menerima, termasuk tindak korupsi. Suap dianggap sebagai bentuk primitif dan induk korupsi. Suap adalah awal lahirnya budaya koruptif dalam skala luas yang terjadi saat ini.
Contoh paling sederhana di masyarakat kita adalah bila seseorang ingin membuat KTP dalam waktu satu hari langsung jadi padahal ketentuanya satu minggu, seseorang yang akan membuat KTP itu memberikan uang tambahan/tips kepada pegawai kecamatan agar KTP itu jadinya satu hari.
Realitas di sekitar kita, program pengaspalan jalan oleh pemerintah berupa pemberian aspal gratis yang harus diambil oleh RT/RW ke kantor
setempat, tetapi ketika hendak diambil, maka jangan ditanya kalau RT\RW diminta untuk mengisi blanko kuetansi kosong dengan pesan :” kalau tidak bersedia
mengisi ya, tidak dapat aspal gratis, kalau sudah diteken silahkan ambil
aspalnya “. Selain itu sering kita mendengar berita di media ketika musim
pendaftaran anak sekolah SD, SMP, SMU, yang di cap sekolah Favorit malah kita
sendiri yang menyediakan uang ekstra agar anak kita dapat diterima.
Dari contoh dan realitas diatas suap memakai bahasa lain yang bukan terang- terangan mengatakan ini adalah suap hanya “membantu”. Sebenarnya membantu ini adalah hal yang lumrah tapi disalah gunakan demi kepentingan yang lain dan akhirnya justru disalahgunakan demi keuntungan pribadi dan saling menguntungkan antara pemberi dan penerima.
Banyak pengamat menengarai bahwa besaran korupsi dan jumlah koruptor di negara-negara berkembang sejajar dengan besaran dana dan jumlah lembaga donor yang masuk ke negara-negara tersebut.  Artinya kehadiran lembaga donor sesungguhnya ikut menyuburkan korupsi, terutama ketika lembaga-lembaga peradilan tidak memiliki kapasitas dan integritas yang kuat dalam mencegah dan memberantas tindakan korupsi.  Di Indonesia sendiri korupsi merebak subur sekali ketika dana dari lembaga-lembaga donor (baik berupa ibah atau bunga berbunga lunak) mengucur deras di negeri ini, terutama ketika rejim Orde Baru membuka kran lebar bagi kehadiran investasi.
Siasat dikembangkan oleh agen-agen lembaga donor dalam melakukan konspirasi dengan birokrat dan politisi bisa beragam.  Agen-agen lembaga donor bisa mendorong birokrat dan politisi membentuk sistem yang lazim disebut two parallel hierarchies. Dalam sistem ini birokrat dan politisi menempatkan diri sebagi patron, mereka melakukan korupsi melalui client-nya masing-masing, yaitu pengusaha/pelaku bisnis (sebagai client  birokrat) dan konsultan/profesional (sebagai client politisi).  Agen-agen lembaga donor tersebut juga bisa memerankan broker, terutama ketika persekongkolan antara birokrat, politisi, dan kelompok kepentingan dinilai tidak efektif.  Tetapi tujuannya sama yaitu bagaimana agar baik birokrat maupun politisi memberi kemudahan (fasilitas) kepada lembaga-lembaga donor melalui keputusan politik.
Apabila analisis jaringan seperti digambarkan dalam diagram-diagram tersebut dipergunakan untuk mengurai tindakan korupsi, maka sedikitnya ada tiga pelajaran yang dapat kita petik.  Pertama, para koruptor melembagakan codes bahwa korupsi bisa dilakukan dengan cara menyesuaikan diri dengan prosedur administratif yang berlaku.  Dengan kata lain korupsi tidak harus dilakukan dengan cara melanggar ketentuan atau rambu-rambu yang berlaku.  Mereka bisa membangun siasat canggih, sehingga acapkali sulit dibuktikan secara hukum.  Mereka cerdas beradaptasi pada pelbagai bentuk aturan hukum yang berlaku. Kedua, mereka mengembangkan prinsip saling untung atau sama-sama diuntungkan.  Artinya semua pihak yang terlibat dalam tindakan korupsi sama-sama dapat menikmati uang rakyat yang berhasil dikantongi.  Keuntungan tersebut dibagi berdasarkan peran atau kontribusi yang diberikan untuk meneguk hasil korupsi.  Ketiga, mereka melembagakan sikap dan tindakan yang saling mengunci.  Artinya semua pihak yang terlibat mengembangkan code untuk tidak saling membocorkan hasil korupsi.  Karena itu mudah dipahami apabila banyak koruptor setelah di pengadilan berhasil dari segala bentuk jeratan, karena pihak-pihak yang terlibat segera menghilangkan barang bukti.
Kerap dinyatakan bahwa salah satu kunci sukses upaya pemberantasan korupsi adalah partisipasi masyarakat.  Peran masyarakat dirasakan semakin berarti kita disadari bahwa pengawasan melekat dan pengawasan fungsional ditengarai tidak berjalan seperti diharapkan.  Pemerintah memang telah menyusun pelbagai macam sistem atau prosedur, supaya uang rakyat tidak mudah dipindahkan atau dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi.  Namun dalam kenyataannya beragam peraturan yang melekat dalam sistem atau prosedur tersebut berhasil disiasati sedemikian rupa, sehingga mereka masih dapat melakukan tindakan korupsi.  Pemerintah memang telah mempunyai lembaga-lembaga yang mampu melakukan fungsi kontrol.  Tetapi dalam kenyataannya acapkali kalah dengan kiat-kiat yang dibangun oleh koruptor.
Pertanyaannya kemudian adalah seberapa efektif pengawasan masyarakat digerakkan untuk menekan tindakan korupsi ?   Tidak mudah menjawab pertanyaan ini, terutama karena masyarakat sendiri terbelah kedalam beberapa kategori.  Kategori pertama adalah anggota masyarakat yang masa bodoh terhadap pelbagai tindakan korupsi.  Mereka mengembangkan sikap dan tindakan yang dapat digolongkan sebagai fatalistik, artinya tidak peduli pada segala bentuk tindakan korupsi.  Mereka tahu bahwa tindakan korupsi ada di mana-mana, atau dilakukan dalam semua level pemerintahan.  Mereka sadar bahwa dampak korupsi sangat buruk baik kehidupan mereka.  Mengerti mengerti bahwa tindakan korupsi bisa menghancurkan sendiri-sendi kehidupan ekonomi, politik, dan kultural.  Tetapi mereka merasa tidak bisa berbuat banyak.  Pemberantasan korupsi kemudian mereka taruh dan pertaruhkan kepada pihak-pihak berwewenang seperti kepolisian, lembaga pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan. 
Kategori kedua adalah anggota masyarakat yang melakukan perlawanan secara radikal, dalam arti mengerahkan kekuatan yang dimiliki untuk melawan pelbagai bentuk korupsi.  Dari segi kelembagaan, perlawanan itu bisa dilakukan dengan membentuk lembaga-lembaga baru yang memang didirikan untuk memberantas korupsi.  Perlawanan itu juga bisa dilakukan dengan memanfaatkan lembaga yang sudah ada.  Dari segi program, perlawanan itu bisa dilakukan dengan menggerakan pelbagai elemen masyarakat untuk secara kolektif menekan birokrat, politisi, dan kalangan bisnis supaya tidak melakukan konspirasi yang merugikan negara.  Perlawanan itu bisa juga dilakukan dengan cara melakukan intervensi perencanaan dan implementasikan kebijakan dan program pembangunan supaya tidak ikut larut dalam skenario para koruptor.
Kategori ketiga adalah anggota masyarakat yang menawarkan alternatif-alternatif untuk pemberantasan korupsi.  Kalangan ini pada prinsipnya sebenarnya juga melakukan perlawanan terhadap tindakan korupsi, tetapi tidak dilakukannya secara radikal.  Kegiatan utama kalangan ini adalah melakukan pendidikan anti korupsi, antara lain melalui workshop, seminar, menyebarkan leaflet, mengadakan dialog di media massa dan sejenisnya.  Kegiatan-kegiatan tersebut ditujukan kepada semua kalangan, seperti birokrat, politisi, konsultan, profesional, dan politisi supaya lebih memahami akar, proses, dan dampak negatif tindakan korupsi.
Kalangan yang selama ini terlihat pasrah, atau tidak melakukan perlawanan dan tidak menawarkan alternatif dalam kegiatan pemberantasan korupsi, memiliki alasan yang beragam.  Pertama, mereka yang tidak lagi semangat anti korupsi karena memang tidak memiliki kemauan atau motivisi, bisa karena tidak tahu bagaimana melawan korupsi, atau bisa karena tidak tahu, dan bisa juga karena tidak mampu bersikap, bertindak, dan menciptakan gerakan anti korupsi.  Mereka merasa berhadapan dengan “tembok tebal” yang rasanya tidak mungkin lagi dijebol.  Kedua, mereka yang sebenarnya pernah melakukan perlawanan terhadap tindakan korupsi, atau pernah menawarkan alternatif-alternatif aksi anti korupsi.  Tetapi mereka kalah (gagal), lalu terpinggirkan, bahkan sebagian hidup dalam suasana panik.  Baik kalangan yang pasrah (fatalistik) karena tidak memiliki kemauan, ketahuan, dan kemampuan maupun kalangan pasrah (fatalistik) karena kalah, marginal, dan hidup dalam kepanikan, sebenarnya hidup dalam suasana yang disana hampir tidak ada security, safety, dan certainty.   Karena mereka tidak berdaya, maka diperkirakan kalangan inilah yang selama ini melembagakan mitos bahwa korupsi adalah bagian dari budaya.  Dalam benak mereka korupsi tidak mungkin dihapus karena menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan hidup dan kehidupan.  Korupsi dianggap sebagai tabiat yang lazim melekat dalam pelbagai aktivitas sosial.
Dalam masyarakat kini ditengarai sedang terjadi tarik menarik antara kalangan yang pasrah, atau tidak melakukan perlawanan dan tidak menawarkan alternatif dalam kegiatan pemberantasan korupsi, dengan kalangan yang melakukan perlawanan dan yang menawarkan alternatif-alternatif untuk pemberantasan korupsi.  Kalangan yang disebutkan terakhir ini nampak melewati jalan terjal.  Perjuangan mereka melewati hadangan yang amat berat, yang dibangun diatas konspirasi (birokrat, politisi, pelaku bisnis, konsultan).  Bolehjadi sebagian mereka kini sudah frustasi karena merasa segala jurus yang dibangun dan dikembangkan tidak mempan menembus sasaran.  Sementara itu, kalangan yang pasrah, kini semakin memperoleh pembenar, terutama ketika masyarakat kita masih didera kemiskinan atau kesenjangan, integritas dan kapasitas lembaga peradilan yang masih rendah, dan sanksi hukum yang diberikan kepada koruptor masih dinilai ringan.
UPAYA MEMBERANTAS KORUPSI :
1.      Percepatan pemberlakuan ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK" ;
2.      Penegakan hukum yg tegas dan konsisten dengan sanksi berat kepada pelaku korupsi (hukuman mati) ;
3.      Meningkatkan komitmen, konsisten dengan sanksi berat kepada pelaku korupsi ;
4.      Menata kembali organisasi, memperjelas, transparansi, mempertegas tugas dan fungsi yg diemban oleh setiap instansi ;
5.      Menyempurnakan sistem ketatalaksanaan meliputi: perumusan kebijakan (agar tidak terjadi penyalahgunaan kebijakan), perencanaan penganggaran, pelaksanaan, pelaporan dan evaluasi pertanggungjawaban kinerja serta Kualitas Pelayanan masyarakat ;
6.      Memperbaiki manajemen kepegawaian ;
7.      Mengembangkan budaya kerja/tertib/malu melakukan KKN ;
8.      Meningkatkan transparansi, akuntabilitas dan pelayanan prima.

Wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi :
1.      Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi ;
2.      Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi ;
3.      Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang   terkait ;
4.      Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi ;
5.      Meminta laporan instansi terkait  mengenai  pencegahan tindak pidana korupsi ;
6.      Berani menindak pelaku korupsi yang melarikan diri ke negara lain.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Hukum dan masyarakat merupakan sebuah entitas yang tidak dapat dipisahkan. Hukum lahir dari adanya interaksi antar masyarakat dan masyarakat dalam menjalani kehidupannya sangat memerlukan hukum agar terciptanya kedamaian dan ketertiban. Norma-norma yang hidup ditengah masyarakat mengkristal dalam wujud hukum, hukum yang dinamis dan multi dimensi yang bisa menjawab semua permasalahan yang ada ditengah masyarakat oleh karena itu aliran sosiologis berpendapat bahwa hukum adalah hasil interaksi  masyarakat. Untuk itu hukum harus mencerminkan tentang nilai-nilai yang hidup ditengah-tengah masyarakat.
Esensinya hukum dan masyarakat adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Dengan adanya putusan ini menjadi bukti bahwa keadilan menurut hukum berbeda dengan keadilan yang hidup ditengah masyarakat. Untuk itu diperlukan perubahan menuju kepada hukum yang lebih mencerminkan keadilan ditengah masyarakat.
Dari teori yang telah kami sajikan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
  1. Korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaaan) dan sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain serta selalu mengandung unsur “penyelewengan” atau dishonest (ketidakjujuran).
  2. Korupsi di Indonsia dimulai sejak era Orde Lama sekitar tahun 1960-an bahkan sangat mungkin pada tahun-tahun sebelumnya. Korupsi di Indonesia semakin banyak sejak akhir 1997 saat negara mengalami krisis politik, sosial, kepemim-pinan dan kepercayaan yang pada akhirnya menjadi krisis multidimensi.
  3. Rakyat kecil umumnya bersikap apatis dan acuh tak acuh. Kelompok mahasiswa sering menanggapi permasalahan korupsi dengan emosi dan demonstrasi.
  4. Fenomena umum yang biasanya terjadi di Indonesia ialah selalu muncul kelom-pok sosial baru yang ingin berpolitik, namun sebenarnya banyak di antara mereka yang tidak mampu. Mereka hanya ingin memuaskan ambisi dan kepentingan pri-badinya dengan dalih “kepentingan rakyat”.
  5. Peran serta pemerintah dalam pemberantasan korupsi ditunjukkan dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan aparat hukum lain. KPK yang ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korup-si.
  6. Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dlam memberantas tindak korupsi di Indonesia, antara lain :upaya pencegahan (preventif), upaya penindakan (kuratif), upaya edukasi masyarakat/mahasiswa dan upaya edukasi LSM (Lembaga Swada-ya Masyarakat).




DAFTAR PUSTAKA
Anthon F. Susanto, Ilmu hukum Non Sistemik Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010
Bambang Widodo Umar, Paradigma Sosiologi Hukum, Jakarta, 2010
Eddy Os Hiariej, Staf Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM dalam “Quo Vadis” Kasus Bibit-Chandra?  Opini Harian Kompas, 28 April 2010
Muhammad Siddiq Tgk. Armia, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 2008
Laporan dan rekomendasi Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum Atas Kasus Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009
Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional, Rajawali Pres, Jakarta, 1993







[1] Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009,  Hal. viii
[2] Ibid. Satjipto Rahardjo, Hal. 156
[3] Muhammad Siddiq Tgk. Armia, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 2008, Hal. 9
[4] Ibid, Hal. 10
[5] Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2009. Hal. 155
[6] Ibid
[7] Ibid, Hal. 157
[8] Op. Cit. Muhammad Siddiq Tgk. Armia, hal. 10