Sejarah Lahirnya Konsep Pembagian Harta Bersama Pasal
96 dan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam
Harta Gono Gini Dalam Islam
Akhir-akhir ini banyak dari masyarakat yang menanyakan
status harta gono-gini, bahkan terakhir ada seorang muslimah yang dicerai oleh
suaminya, kemudian muslimah tersebut meminta harta gono gini dari suaminya 50%,
suaminya-pun merasa keberatan dengan permintaan tersebut, akhirnya mereka
berdua sepakat untuk pergi ke pengadilan. Bagaimana sebenarnya kedudukan harta
gono gini ini dalam pandangan Islam?
Ø Qur’an Surah An Nisa’ ( 4 ) ayat 32 :
wur
(#öq¨YyJtGs?
$tB
@Òsù
ª!$#
¾ÏmÎ/
öNä3Ò÷èt/
4n?tã
<Ù÷èt/
4
ÉA%y`Ìh=Ïj9
Ò=ÅÁtR
$£JÏiB
(#qç6|¡oKò2$#
(
Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur
Ò=ÅÁtR
$®ÿÊeE
tû÷ù|¡tGø.$#
4
(#qè=t«óur
©!$#
`ÏB
ÿ¾Ï&Î#ôÒsù
3
¨bÎ)
©!$#
c%2
Èe@ä3Î/
>äó_x«
$VJÎ=tã
ÇÌËÈ
Artinya : Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang
dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang
lain.( karena )bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka
usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka
usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karuniaNya.Sesungguhnya Allah
maha mengetahui segala sesuatu.[1]
Ø Hadist
nabi :
عَنْ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيُّ عَنْ أَبِيهِ
عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ
أَحَلَّ حَرَامًا
Artinya : Dari Amru’ bin Auf al Muzani dari bapaknya
dari kakeknya bahwa Rasulullah saw bersabda: “Perdamaian adalah boleh di antara
kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal dan perdamaian
yang menghalalkan yang haram “ [2]
Konsep Harta Dalam Islam
Sebelum berbicara masalah harta gono–gini, sebaiknya kita mengenal terlebih
dahulu tentang “konsep harta “dalam rumah tangga Islam :
Pertama : Bahwa harta merupakan tonggak kehidupan rumah
tangga, sebagaimana firman Allah SWT :
وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي
جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا
“ Dan
janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta
kamu yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan”[3]
Kedua : Kewajiban Suami yang berkenaan dengan harta adalah
sebagai berikut
1. Memberikan mahar kepada istri, sebagaimana firman Allah SWT :
1. Memberikan mahar kepada istri, sebagaimana firman Allah SWT :
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
“ Berikanlah mas
kawin kepada wanita yang kamu nikahi sebagai bentuk kewajiban (yang harus
dilaksanakan dengan ikhlas)”[4]
2. Memberikan nafkah kepada istri dan anak,
sebagaimana firman Allah SWT :
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ
“ Dan kepada
ayah berkewajiban memberi nafkah dan pakaian yang layak kepada istrinya “[5]
Ketiga : Suami tidak boleh mengambil harta istri, kecuali
dengan izin dan ridhonya, sebagaimana firman Allah SWT :
فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا
فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
“ Jika mereka
(istri-istri kamu) menyerahkan dengan penuh kerelaan sebagian mas kawin mereka
kepadamu, maka terimalah pemberian tersebut sebagai harta yang sedap dan baik
akibatnya “[6]
Keempat : Jika terjadi perceraian antara suami istri, maka ketentuannya sebagai berikut :
1. Istri
mendapat seluruh mahar jika ia telah melakukan hubungan sex dengan suaminya,
atau salah satu diantara kedua suami istri tersebut meninggal dunia dan mahar
telah ditentukan, dalam hal ini Allah SWT berfirman :
وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ
وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا
أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
“ Dan jika kamu
ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan
kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu
mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya
kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang
nyata? bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah
bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. “[7]
2. Istri
mendapat setengah mahar jika dia belum melakukan hubungan sex dengan suaminya
dan mahar telah ditentukan, sebagaimana firman Allah SWT :
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ
تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ
“ Jika kamu
menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal
sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar
yang telah kamu tentukan itu. “[8]
Istri mendapat
mut’ah (uang pesangon) jika dia belum melakukan hubungan sex dengan suaminya
dan mahar belum ditentukan, sebagaimana firman Allah SWT :
لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا
لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى
الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا
عَلَى الْمُحْسِنِينَ
“ Tidak
ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri
kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya.
dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. rang yang
mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu
pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi
orang-orang yang berbuat kebajikan.[9]
Bagaimana Pembagian Harta Gono- Gini Menurut Islam?
Setelah mengetahui pengertian harta gono gini, timbul pertanyaan
berikutnya, bagaimana membagi harta gono gini tersebut menurut Islam?
Di dalam Islam tidak ada aturan secara khusus bagaimana membagi harta gono-gini.
Islam hanya memberika rambu-rambu secara umum di dalam menyelesaikan masalah
bersama, diantaranya adalah :
- Qur’an Surah An Nisa’ ( 4 ) ayat 32 :
wur
(#öq¨YyJtGs?
$tB
@Òsù
ª!$#
¾ÏmÎ/
öNä3Ò÷èt/
4n?tã
<Ù÷èt/
4
ÉA%y`Ìh=Ïj9
Ò=ÅÁtR
$£JÏiB
(#qç6|¡oKò2$#
(
Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur
Ò=ÅÁtR
$®ÿÊeE
tû÷ù|¡tGø.$#
4
(#qè=t«óur
©!$#
`ÏB
ÿ¾Ï&Î#ôÒsù
3
¨bÎ)
©!$#
c%2
Èe@ä3Î/
>äó_x«
$VJÎ=tã
ÇÌËÈ
Artinya : Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang
dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang
lain.( karena )bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka
usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka
usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karuniaNya.Sesungguhnya Allah
maha mengetahui segala sesuatu.
Ayat di atas menerangkan sebenarnya tidak ada konsep harta bersama dalam
Islam, namun setiap pasangan suami istri berhak atas apa yang diusahakannya,
ini berarti perolehan bagian masing-masing suami istri tergantung dari apa yang
diusahakannya, sehingga tidak ada percampuran harta dalam perkawinan.
- Pembagian
harta gono-gini tergantung kepada kesepakatan suami dan istri. Kesepakatan
ini di dalam Al Qur’an disebut dengan istilah “Ash Shulhu “yaitu
perjanjian untuk melakukan perdamaian antara kedua belah pihak (suami istri)
setelah mereka berselisih. Allah SWT berfirman:
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ
إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا
وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا
وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
“ Dan jika
seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka
tidak mengapa bagi keduanya untuk mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya
dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) “[10]
Ayat di atas menerangkan tentang perdamaian yang diambil oleh suami istri
setelah mereka berselisih. Biasanya di dalam perdamaian ini ada yang harus
merelakan hak-haknya, pada ayat di atas, istri merelakan hak-haknya kepada
suami demi kerukunan antar keduanya. Hal ini dikuatkan dengan sabda Rasulullah
saw :
عَنْ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيُّ عَنْ أَبِيهِ
عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ
أَحَلَّ حَرَامًا
Dari Amru’ bin
Auf al Muzani dari bapaknya dari kakeknya bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Perdamaian adalah boleh di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang
mengharamkan yang halal dan perdamaian yang menghalalkan yang haram “[11]
Begitu juga dalam pembagian harta gono-gini, salah satu dari kedua belah
pihak atau kedua-duanya kadang harus merelakan sebagian hak-nya demi untuk
mencapai suatu kesepakatan. Umpamanya : suami istri yang sama-sama bekerja dan
membeli barang-barang rumah tangga dengan uang mereka berdua, maka ketika
mereka berdua melakukan perceraian, mereka sepakat bahwa istri mendapatkan 40 %
dari barang yang ada, sedang suami mendapatkan 60 %, atau istri 55 % dan suami
45 %, atau dengan pembagian lainnya, semuanya diserahkan kepada kesepakatan
mereka berdua.
Kenapa Pasal 96
dan 97 Kompilasi Hukum Islam membagi rata bagian masing-masing suami istri ?
Memang kita
temukan di dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) pasal 96 dan pasal 97, yang
menyebutkan bahwa :
Pasal 96 :
Ayat (1) : Apabila terjadi cerai mati, maka separo
harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.
Ayat (2) : Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang
istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya
yang hakiki ataumatinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.
Pasal 97 : Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak
seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian
perkawinan.
Keharusan untuk membagi sama rata, yaitu masing-masing mendapatkan 50%,
seperti dalam KHI di atas, ternyata tidak mempunyai dalil yang bisa
dipertanggung jawabkan, sehingga pendapat yang benar dalam pembagian harta gono
gini adalah dikembalikan kepada kesepakatan antara suami istri.
Namun di Negara-negara Islam di Timur Tengah khususnya di Negara Saudi
Arabia tidak mengenal konsep harta bersama sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 35 UU
No. 1 tahun 1974 ayat (1) disebutkan : “ harta bersama atau harta benda yang
diperoleh selama perkawinan “, kecuali harta yang diatur dalam ayat (2)
Pasal 35 yakni : “ harta bawaan dari
masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing
sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang
para pihak tidak menentukan lain “ jo Pasal 1 huruf f Kompilasi Hukum Islam
disebutkan bahwa : “ harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah
harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama
dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya disebut harta bersama, tanpa
mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun”.
Kalau kita belajar dan mengkaji
sejarah kenapa di Indonesia diatur tentang harta bersama suami istri serta
diatur pula pembagiannya, hal ini karena kehidupan dan kondisi masyarakat
Indonesia berberda dengan masyarakat di negara-negara Timur Tengah, dimana
kehidupan seorang istri dalam perkawinan sudah dijamin dengan layak, istri
bertugas hanya melayani suami dan mendidik anak di rumah, semua kebutuhan istri
telah dipenuhi bahkan urusan berbelanja di pasar itu urusan suami dan pekerjaan
di rumah tangga telah disediakan pembantu yang siap setiap saat melakukan
pekerjaan rumah tangga.
Lain halnya dengan kehidupan
masyarakat Indonesia, yang sejarah awal mulanya sebelum pembentukan UU Nomor 1
tahun 1974 kondisi masyarakat Indonesia adalah masyarakat agraris, dimana para
suami bekerja di sawah/ladang sebagai petani, namun demikian walaupun istri di
rumah namun peran istri setara dengan suami, walaupun tidak terjun langsung ke
sawah atau ke ladang. Di rumah istri juga bangun pagi dengan memasak untuk
suami yang bekerja di sawah/ladang dan istri di rumah juga bekerja mengerjakan
pekerjaan rumah lainnya yang justru mungkin lebih berat dari pekerjaan suami.
Dalam perkembangan zaman berikutnya
di negara kita para istri juga bekerja di luar rumah, ada yang bekerja sebagai
pegawai pemerintah maupun swasta juga ada yang bekerja sebagai buruh di luar
rumah. Hal inilah yang melatar belakangi konsep harta bersama dalam perkawinan
dalam UU Nomor 1 tahun 1974 Jo Kompilasi Hukum Islam bahkan kemudian diatur
pembagiannya sebagaimana tersebut dalam pasal 96 dan 97 Kompilasi Hukum Islam
tersebut di atas.
Dalam kenyataannya ketentuan dalam pasal
96 dan 97 Kompilasi Hukum Islam tersebut
bukanlah sesuatu yang baku dan keharusan, sebab masing-masing pihak dapat pula
dengan kesepakatan membagi harta bersama tersebut menurut kehendaknya sendiri, dan di
dalam kasus pembagian harta bersama karena perceraian di Pengadilan Agama juga
tidak semata-mata menerapkan aturan dalam pasal tersebut, namun dilihat dari
kasus perkasus.