Laman

Jumat, 26 Juli 2013


METODE PENETAPAN HUKUM ISLAM BERDASARKAN IJTIHAD
Oleh : Hj. Awaliatun Nikmah, S.Ag.,M.H.





I.
PENDAHULUAN
Semua umat Islam sepakat bahwa sumber hukum Islam yang pertama adalah Al-Quran. Adapun sumber  hukum yang kedua adalah As-Sunnah yang merupakan penjelasan yang tersurat ataupun tersirat dari kehidupan Rasulullah. Kedua dasar dan sumber hukum ini saling kait dan terikat. Apa yang ada di dalam Al-Quran adalah sumber awal yang melegitimasi segala hukum sesudahnya.
Dalam perjalanan sejarahnya, hukum Islam menjadi suatu kekuatan yang dinamis dan kreatif. Hal ini dapat dilihat dari instruksi Nabi kepada para sahabat dalam menghadapi realitas sosiologis umat pada waktu itu. Dalam melakukan ijtihad, para sahabat waktu itu tidak mengalami problem metodologis apa pun karena bila mendapatkan kesulitan dalam menyimpulkan hukum, mereka dapat langsung berkonsultasi dengan Nabi. Pada masa ini ijtihad masih sangat terbatas terutama pada masalah-masalah keperdataan.
Keadaan demikian tiba-tiba berubah setelah Rasulullah wafat. Sejak itu para sahabat mulai dihadapkan pada masalah-masalah baru dan krusial terutama tentang siapa yang pantas menggantikan Nabi untuk memimpin umat dan kasus-kasus lain yang belum mendapatkan legalitas syara’. Satu-satunya pilihan bagi para sahabat adalah melakukan ijtihad dengan berpedoman kepada Al-Quran, hadis, dan tindakan-tindakan normatif Nabi yang pernah mereka saksikan.
Hukum Islam sebagai suatu pranata sosial memiliki dua fungsi, pertama sebagai kontrol sosial dan kedua sebagai nilai baru dalam proses perubahan social. Jika yang pertama Hukum Islam ditempatkan sebagai blue print atau cetak biru Tuhan yang selain sebagai control social juga sekaligus sebagai social engineering (rekayasa sosial) terhadap keberadaan suatu komunitas masyarakat.
Sementara yang kedua Hukum Islam merupakan produk sejarah yang dalam batas-batas tertentu diletakan sebagai justifikasi terhadap tuntutan perubahan sosial budaya dan politik. Oleh karena itu dalam konteks ini, Hukum Islam dituntut akomodatif terhadap persoalan umat tanpa kehilangan prinsip-prinsip dasarnya. Karena itu apabila para pemikir tidak memiliki kesanggupan atau keberanian untuk mereformasi dan mengantisipasi setiap persoalan yang muncul dalam masyarakat dan mencari penyelesaian hukumnya, maka Hukum Islam akan kehilangan aktualisasinya.[1]
Perubahan keadaan dan situasi membawa perubahan dalam cara berfikir dan berubah pada cara menginterpretasikan kehendak Tuhan dalam memformulasikan dalam peraturan hukum kehendak Tuhan tentang tingkah laku manusia meliputi semua bidang kehidupan baik yang berhubungan antara manusia dengan Tuhan disebut ibadah, maupun yang menyangkut hubungan manusia dengan manusia yang disebut hukum muamalah.
Adapun bidang ibadah terutama yang hanya menyangkut hubungan pribadi dengan Tuhan maka tidak ada perubahan pemikiran tentang itu karena semuanya didasarkan atas suatu dogma yang tidak dimasuki oleh akal manusia yang disebut syariah merupakan al-Nushush muqoddasah (nash yang suci) yang bersifat ta’abbudi dan ghairu ta’aqul ma’na.
Reformasi atau pembaharuan dimulai oleh interpretasi teks kehendak Tuhan. Interpretasi hanya berlaku terhadap ayat Tuhan yang tidak qoth’i penunjukannya terhadap hukum dan diturunkan dalam bentuk tidak terurai. Tentang sunnah interpretasi akan berlaku terhadap sunnah  yang autensitasnya diragukan . Begitu pula terhadap sunnah yang sudah diakui autensitasnya tetapi penunjukannya terhadap hukum belum tegas.[2]
Dari penjelasan diatas terdapat dua produk hukum Islam yaitu pertama, Hukum Islam produk wahyu yang disebut syariah dan bersifat qoth’i ( al- Nushush muqoddasah) nash yang suci tidak terdapat campur tangan akal manusia (ghairu ta’aqul ma’na) yang berlaku universal. Sedangkan kedua yaitu Hukum Islam produk akal yang disebut fiqih bersifat dhanni (dugaan) ta’aqul ma’na (dapat dilacak secara rasional) yang berlaku kondisional. Fiqh merupakan hukum Islam produk akal yang kondisional  sebagai refleksi produk sejarah kemanusiaan  yang tidak bisa diberlakukan secara universal. Sifat yang demikian itulah maka hukum Islam dari hasil produk akal ini selalu dapat diperbaharui sesuai tingkat kemajuan dan perkembangan zaman.[3] Dari sini pembaharuan Islam mutlak adanya .
Berangkat dari latar belakang tersebut diangkat makalah ini dengan judul, “Metode Penetapan hukum Islam Berdasarkan Ijtihad”.
II.
PERMASALAHAN
Dari beberapa pernyataan diatas, maka penulis dapat memetakan berbagai permasalahan sebagai berikut :

a.
Bagaimana pengertian dan dasar hukum ijtihad?

b.
Bagaimana perkembangan ijtihad ?

c.
Bagaimana ruang lingkup dan syarat-syarat ijtihad?

d.
Sejauh mana hukum dan Mmasa berlaku ijtihad ?

e.
Bagaimana dalil-dalil ijtihadi?

f.
Macam-macam ijtihad ?
III.
PEMBAHASAN

A.
Pengertian dan Dasar Hukum Ijtihad   
Ijtihad secara bahasa terambil dari kata al-Jahdu  dan  al-Juhd yang artinya kekuatan, kemampuan, usaha sungguh-sungguh, kesukaran, kuasa dan daya ijtihad.[4] Dalam arti luas adalah mengarahkan segala kemampuan dan usaha untuk mencapai sesuatu yang diharapkan.[5] Seakar dengan kata ijtihad adalah jihad dan mujahadah. Dimana ketiga term tersebut pada intinya adalah mencurahkan segenap daya dan kemampuan dalam rangka menegakan agama Allah meski lapangannya berbeda. Ijtihad lebih bersifat upaya sunguh-sungguh yang dilakukan seseorang yang telah memenuhi persyaratan dengan penalaran dan akalnya dalam rangka mencari dan menemukan hukum yang tidak ditegaskan secara jelas dalam al Qur’an maupun hadits dan orang yang melakukan hal tersebut dikenal dengan sebutan mujtahid. Jihad titik tekannya adalah upaya sungguh-sungguh dengan fisik dan materil dalam menegakan kalimah Allah dengan cara-cara dan bentuk- bentuk yang tidak terbatas dan orangnya dikenal dengan mujtahid. Sedangkan mujahadah menitikberatkan pada upaya sungguh-sungguh dengan hati dalam melawan dorongan hawa nafsu agar mau tunduk melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi laranganNya. Orang yang melakukan hal tersebut seringkali disebut salik atau murid. 
Oleh karena itu, tidak setiap hasil ijtihad dapat dijadikan sumbangan dalam pembaharuan hukum Islam dan mendapatkan legitimasi dari para pakar hukum Islam kecuali apabila memperhatikan dua hal pokok tersebut di atas yaitu, pertamaPelaku pembaharuan Hukum Islam adalah orang yang memenuhi kualitas sebagai mujtahid, keduaPembaharuan itu dilakukan di tempat-tempat ijtihad yang dibenarkan oleh syara.[6]
A. Dzajuli menyebutkan ada tiga macam cara yang dapat dilakukan dalam berijtihad, yaitu Pertama, dengan memperhatikan kaidah-kaidah bahasa (linguistik).  Kedua, dengan menggunakan kaidah qiyas (analogi) dengan memperhatikan asal, cabang, hukum asal dan illat hukum. Ketiga, dengan memperhatikan semangat ajaran Islam atau roh syari'ah. Oleh karena itu, dalam hal ini, kaidah-kaidah kulliyah Ushul Fiqh, kaidah-kaidah kulliyyah fiqhiyyah, prinsip-prinsip umum hukum Islam dan dalil-dalil kulli sangat menentukanDalam hal ini bisa menempuh cara-cara istishlah, istishab, maslahah mursalah, sadz dzari'ah, istihsan dan sebagainya.[7]
Para ulama mendefinisikan ijthad sebagai usaha dan upaya sungguh-sungguh seseorang (beberapa orang) ulama yang memiliki syarat-syarat tertentu untuk merumuskan kepastian atau penilaian hukum mengenai sesuatu (atau beberapa) perkara yang tidak terdapat kepastian hukumnya secara eksplisit dan tegas baik dalam al Qur’an maupun dalam al hadits. Di dalam al qur’an banyak ayat yag mendesak menggunakan pikiran dan mengharuskan mengambil i’tibar, seperti firman Allah surat al Hasyr ayat 23.

uqèd ª!$# Ï%©!$# Iw tm»s9Î) žwÎ) uqèd à7Î=yJø9$# â¨rà)ø9$# ãN»n=¡¡9$# ß`ÏB÷sßJø9$# ÚÆÏJøygßJø9$# âƒÍyèø9$# â$¬6yfø9$# çŽÉi9x6tGßJø9$# 4 z`»ysö6ß «!$# $£Jtã šcqà2ÎŽô³ç ÇËÌÈ  
“ Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, yang Maha Suci, yang Maha Sejahtera, yang Mengaruniakan Keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha perkasa, yang Maha Kuasa, yang memiliki segala Keagungan, Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”.
Selain itu, ada juga ayat yang secara terbuka menyatakan pengakuanya terhadap prinsip ijtihad dengan menggunakan metode qiyas, seperti surat al Nisa’ ayat 105.

!$¯RÎ) !$uZø9tRr& y7øs9Î) |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ zNä3óstGÏ9 tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# !$oÿÏ3 y71ur& ª!$# 4 Ÿwur `ä3s? tûüÏZͬ!$yù=Ïj9 $VJÅÁyz ÇÊÉÎÈ  
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat”.

Ayat ini dan beberapa ayat berikutnya diturunkan berhubungan dengan pencurian yang dilakukan Thu'mah dan ia menyembunyikan barang curian itu di rumah seorang Yahudi. Thu'mah tidak mengakui perbuatannya itu malah menuduh bahwa yang mencuri barang itu orang Yahudi. hal ini diajukan oleh kerabat-kerabat Thu'mah kepada Nabi s.a.w. dan mereka meminta agar Nabi membela Thu'mah dan menghukum orang-orang Yahudi, Kendatipun mereka tahu bahwa yang mencuri barang itu ialah Thu'mah, Nabi sendiri Hampir-hampir membenarkan tuduhan Thu'mah dan kerabatnya itu terhadap orang Yahudi.
Kata “ aroka Allahu “ pada ayat diatas mencakup penetapan hukum berdasarkan nash dan yang berdasarkan proses penetapan hukum dari hukum yang ditetapkan langsung dari nash.

B.
Perkembangan Ijtihad
Telah menjadi bagian dari kasih Allah bahwa Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya dalam keadaan sia-sia. Sifat dan kasih Allah itu terinfestasi pada dikirimkannya Rosul yang menyampaikan kabar gembira dan peringatan karena rahmat-Nya kepada manusia. Allah mengakhiri rangkaian kerosulan dengan Nabi SAW dan nabi berijtihad dalam banyak masalah keduniaan dan keagamaan. Jika ijtihad Rosul sesuai dengan kehendak Allah maka wahyu turun untuk menguatkanya dan jika tidak maka wahyupun datang menjelaskan cara yang benar dalam masalah tersebut. Diantara ijtihad beliau adalah keizinan beliau bagi orang yag mengajukan alasan dan tertingggal dalam perang tabuk dan Allah menjelaskan yang benar kepada nabi dengan firman-Nya yaitu surat al Taubah  44.
Ÿw šçRÉø«tFó¡o tûïÏ%©!$# šcqãZÏB÷sム«!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# br& (#rßÎg»yfムóOÎgÏ9ºuqøBr'Î/ öNÍkŦàÿRr&ur 3 ª!$#ur 7OŠÎ=tæ tûüÉ)­GßJø9$$Î/ ÇÍÍÈ  
orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, tidak akan meminta izin kepadamu untuk tidak ikut berjihad dengan harta dan diri mereka. dan Allah mengetahui orang-orang yang bertakwa.
Ketika wilayah Islam menjadi semakin luas karena terjadinya penaklukan daerah baru, maka muncullah kasus-kasus dan peristiwa baru yang tidak ada nash yang menjelaskan ketentuan hukumnya namun memerlukan penyelesaian. Metode mereka dalam menyelesaikan masalah yang tidak ada nashnya adalah pertama mereka mencari jawaban dari kitab Allah, jika tidak menemukan jawaban maka mereka mencari dalam sunnah Rosul. Dan jika tetap tidak berhasil maka mereka mengumpulkan orang muhajirin dan anshor yang ahli dalam menggunakan ra’yi serta terpercaya. Apabila mereka sependapat mengenai sesuatu maka pendapat itu ditetapkan sebagai keputusan hukum yang sah. Tetapi ijma’ seperti ini tidak berlangsung lama. Mereka akhirnya terpisah-pisah dan menyebar setelah memperluas wilayah taklukan khususnya setelah wafatnya Umar ra. Berbagai peperangan dan wilayah tempat tinggal mereka telah memperjauh jarak antara mereka dengan lingkungan mereka menjadi berbeda-beda. Mereka sering berhadapan dengan peristiwa hukum yang tidak ada penjelasanya dalam al qur’an dan hadis. Hal demikian memaksa mereka untuk membandingkanya dengan sebahagian ketetapan hukum syari’at yang telah dikenal serta mencari ketetapan hukumnya melalui ijtihad terutama menyangkut dengan perbedaan pendapat yang bersumber dari dalil-dalil.
Ijtihad para sahabat bukanlah hanya sekedar keinginan tanpa pertimbangan, melainkan merupakan hasil dari sebuah nalar yaitu mewujudkan maslahat dan menghindari mafsadat. Setelah sahabat datanglah masa tabi’in. Mereka ini belajar fiqih kepada sahabat sampai selesai, mereka ikuti dasar-dasar dan cara-cara sahabat dalam beristidlal. Disamping itu pula para tabi’in juga mempelajari dalam bidang apa saja para sahabat memelihara maslahat. Mereka juga berbeda pendapat mengenai memelihara dan mempertimbangkan maslahat tersebut. Ijtihad pada masa tabi’it tabi’in adalah ijtihad mutlak yaitu ijtihad yang didasarkan pada nalar dan pembahasan serta berusaha keras untuk menemukan sisi kebenaran tanpa terikan pada pendapat seorang mujtahid lainnya kecuali pendapat itu merupakan pendapoat seorang sahabat yang diduga bersumber dari sunnah Rosul.
Metode pertama dipimpin oleh imam abu Hanifah. Penggunaan ra’yu yang begitu besar itu adalah disebabkan karena kota Irak belum lama mengalami kemajuan dalam bidang budaya dan oleh karena itu pula Irak dilanda erbagai persoalan rumit serta kasus yang banyak yang memaksa mereka untuk menguasai seluk beluk ijtihad secara mendalam sesuai dengan kelas kasusnya.
Metode kedua dipimpin oleh Imam Malik. Metode ini lebih banyak berpegang pada sunnah secara khusus, amal penduduk madinah menghindari penggunaan ra’yi secara umum. hal itu sebagaimana disebutkan oleh ibnu Kholdun, adalah disebabkan karena kehidupan disana lebih cenderung pada corak keprimitifan dengan pengertian bahwa penduduknya sederhana seklai kehidupannya, mirip dengan kehidupan Rosul.

C.
Ruang Lingkup dan Syarat Ijtihad
Dalam memberi batasan bagi ruang lingkup ijtihad, al Amidi mengatakan, “ Bidang yang dapat diijtihadi adalah hukum-hukum syara’ yang dalilnya bersifat dzanni. Maksud dari dalil dzanni adalah untuk membedakan dari hukum-hukum yang dalilnya bersifat qoth’i (pasti), Seperti sholat lima waktu, sholat lima waktu bukan merupakan bidang ijtihad karena orang yang keliru dalam sholat dipandang berdosa, sedangkan masalah-masalah ijtihadiyah itu adalah masalah dimana orang yang keliru dalam ijtihadnya tidak berdosa “.
Kemudian untuk berijtihad, peristiwa yang dihadapi haruslah peristiwa yang hukumnya tidak terdapat dalam nash. Dan berdasarkan ini, maka ruang lingkup ijtihad dapat menampung kegiatan panggilan hukum bagi peristiwa hukum baru pada saat tidak terdapatnya nash. Hal itu dilakukan dengan jalan berpegang pada tanda-tanda yang telah dipancangkan sebagai petunjuk bagi hukum, seperti qiyas.
Sahnya ijtihad itu terletak pada diketahuinya dasar-dasar syari’at serta enam syarat dibawah ini :
Mujtahid harus mengetahui bahasa arab, yaitu pengetahuan bahasa dan i’rob, mengetahui secara menyeluruh mengenai hakekat dan majaz, mengetahui secara menyeluruh mengenai percakapan yang menyangkut perintah, larangan, umum, khusus, mutlaq, muqoyyad, dalil kitab dan sebagainya.
Ia harus mengetahui dari kitab Allah segala yang berkaitan dengan berbagai ketentuan berupa umum dan khusus, mufassar dan mujmal, nasikh dan mansukh, serta dapat menggunakan dzahir dan mujmal tepat pada apa yang dimaksud oleh suatu ayat, dapat menggunakan nash tepat pada tujuan penggunaan nash.
Ia juga harus seorang yang tsiqot dan dipercaya dan tidak memandang mudah terhadap masalah-masalah agama.
Mengetahui kandungan sunnah berupa ketentuan hukum yang meliputi:


1.
Mengetahui tentang thuruq sebuah hadis yaitu mengenai mutawatir dan ahad.


2.
Mengetahui para perowi hadis dan kesalehan perawinya.


3.
Menguasai lafal-lafal yang bebas dari ihtimal dan lafal-lafal yang dimasuki ihtimal.


4.
Mengetahui perkataan sahabat dan tabi’in tentang berbagai hukum serta sebagian besar fatwa fuqoha.


5.
Mengetahui qiyas, dasar-dasar yang boleh dicari illatnya serta sifat yang boleh dijadikan dan yang tidak boleh dijadikan illat-nya, serta mengetahui kaidah-kaidah pentarjihan beberapa dalil.

D.
Hukum dan Masa Berlaku Ijtihad
Ijtihad menjadi wajib ’ain apabila seorang mujtahid dihadapkan kepada peristiwa baru dan ia tidak mengetahui hukumnya, atau apabila ia ditanyakan mengenai suatu peristiwa yang terjadi dan tidak ada mujtahid lain selain dia. Kewajiban dimaksud harus dilaksanakan secepatnya jika khawatir akan berlalunya perisiwa tersebut tanpa menurut jalur yang dikehendaki syara’.
Ijtihad menjadi wajib kifayah jika disuatu negeri terdapat lebih dari seorang mujtahid dan tidak khawatir akan berlalunya peristiwa hukum. Apabila sebagian mujtahid telah menentukan hukumnya maka tuntutan untuk berijtihad pada yang lainya menjadi gugur. Dan jika mereka tidak bersedia berfatwa padahal mereka mampu memberi jawabanya maka seluruhya dosa.
Ijtihad menjadi sunnah dengan melihat peristiwa-peristiwa yang belum pernah terjadi tetapi boleh jadi ia terjadi dalam waktu dekat.
Ijtihad menjadi haram apabila ia bertentangan dengan nash al qur’an dan hadis ataupun ijma’ ulama’.
Mengenai masa belakunya ijtihad, Apakah ijtihad itu telah terputus? jawaban yang benar yang didukung oleh dalil-dalil aqli dan naqli ialah bahwa ijthad itu akan tetap ada sampai terjadinya kiamat besar. ia tidak boleh terputus. Salah satu alasanya adalah sabda Rosul :
“ Akan tetap ada segolongan dari umatku yang berjuang menegakkan yang hak, mereka tidak dapat dibinasakan oleh orang yang ingin mengalahkan mereka sampai kiamat “
Memperjuangkan yang hak tak mungkin berhasil tanpa ilmu, dan tak ada ilmu tanpa ijtihad. Disamping itu jikalau masa itu hampa mujtahid, maka pasti terjadi kesepakatan antara penduduk atas suatu kesesatan, padahal kesepakatan terhadap kesesatan adalah dosa.

E.
Dalil-dalil Ijtihadi


1.
Ijma’
Ijma’ menurut bahasa arab berarti kesepakatan atau sependapat dengan suatu hal, menurut istilah ijma’ adalah kesepakatan semua mujtahidin di antara umat islam pada suatu masa setelah kewafatan Rasulullah SAW, atas hukum syar’i mengenai suatu kejadian / kasus.
Syarat terbentuknya ijma’ menurut syara’ ada empat :



a.
Adanya sebilangan para mujtahid pada waktu terjadinya suatu peristiwa, karena kesepakatan itu tidak dapat dicapai kecuali dengan beberapa pendapat, yang masing-masing diantaranya sesuai dengan lainnya.



b.
Adanya kesepakatan semua mujtahid umat islam atas suatu hukum syara’ mengenai suatu peristiwa pada waktu terjadinya, tanpa memandang negeri mereka, kebangsaanya atau kelompoknya.



c.
adanya kesepakatan mereka itu dangen menampilkan pendapat masing-masing mereka secara jelas mengenai suatu kejadian, baik penampilan itu berupa ucapan atau perbuatan atau penampilan pendapat menjatuhkan secara menyendiri.



d.
dapat direalisir kesepakatan dari semua mujtahid atas suatu hukum.



Ijma’ dapat dijadikan sebagai dasar hukum atau dipastikan kehujjahannya sesuai dengan friman Allah SWT yang terdapat pada surat An-Nisa ayat 59 yaitu:

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ  

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Lafal Amri artinya ialah hal atau keadaan, dan ia umum, yang meliputi hal-hal duniawi. Dan Ulil Amri duniawi ialah para raja, pemimpin dan penguasa. Sedangkan ulil amri agamawi ialah para mujtahid dan ahli fatwa agama (hukum). Sebagai contoh adalah setelah rosul meninggal diperlukan pengangkatan pengganti beliau yang disebut dengan khalifah. maka kaum muslimin pada waktu itu sepakat mengangkat Abu Bakar sebagai kholifah pertama. Sekalipun pada mulanya ada yang tidak setuju dengan pengangkatan beliau, namun pada akhirnya semua kaum muslimin menyetujuinya


2.
Qiyas
Qiyas menurut bahasa berarti menyamakan , membandingkan atau mengukur seperti menyamakan si A dengan si B karena keduanya memiliki tinggi yang sama, wajah yang sama dan berat yang sama. Secara istilah qias adalah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkan dengan suatu kejadian yang telah ditetapakan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan illat/sifat diantara kejadian atau peristiwa itu. Ketika mujtahid akan mengetahui hukum suatu kejadian tentu ia akan meneliti apakah dalam Al Quran terdapat nash (teks) yang menjelaskan hukumnya? Jika tidak ada, ia meneliti apakah dalam Sunnah terdapat nash (teks) yang menjelaskan hukumnya? Jika tidak ada, ia meneliti apakah terdapat ijma’ yang telah menetapkan hukumnya? Jika tidak ada, ia meneliti apakah ia dapat menetapkan hukumnya dengan qiyas. Arti qiyas ialah memberlakukan hukum yang sudah berlaku sebelumnya pada kejadian baru yang belum jelas hukumnya. Qiyas ini dapat diterapkan apabila antara kejadian yang lama dan yang baru terdapat persamaan dari segi illat (sebab timbul hukumnya).[8] Contoh : narkotika diqiaskan dengan meminum khamar.


3.
Istihsan
Menurut bahasa artinya menganggap baik sesuatu, sedangkan menurut istilah Ulama Ushul ialah berpindahnya seorang mujtahid dari tuntunan Qiyas jail kedapa Qiyas Khafi. Atau dari hukum kulli kepada hukum pengecualian, karena ada dalil yang menyebabkan mencela akalnya, dan dimenangkan baginya perpindahan ini. Jadi apabila terjadi sesuatu kejadian  dan tidak terdapat nash mengenai hukumnya, maka untuk membicarakan hal itu ada dua segi yang bertentangan, yaitu : Pertama : segi nyata yang menghendaki suatu hokum. Kedua   : segi tersembunyi yang menghendaki hukum lain
Dan pada mujtahid sendiri sudah terdapat dalil yang memenangkan segi pandangan secra tersembunyi, maka perpindahan dari segi pandangan yang nyata inilah yang menurut syara’ disebut dengan istihsan.
Para Ulama yang menggunakan hujjah istihsan, ialah kebanyakan Ulama Hanafiyah. Dalil mereka atas kehujjahannya yaitu bahwasanya mengambil dalil dengan istihsan itu hanyalah istidlal dengan Qiyas khafi yang menang atas Qiyas jail dengan dalil yang menuntut kemenangannya, atau istidlal dengan maslahah mursalah (kepentingan umum) atas pengecualian bagian hukum kulli. Semua ini adalah istidlal yang sahih.
Terdapat sebuah kelompok mujtahid yang menentang istihsan dan menggapnya sebagai istinbat hukum syara dengan kemauan hawa nafsu dan rasa enak. Pimpinan kelompok ini adalah Imam Syafi’I, hal mana telah dinukil dari padanya, bahwa ia berkata : “siapa melakukan istihsan berarti ia telah membentuk syari’at. Artinya orang tersebut memulai hukum syari’at dirinya sendiri.
Contoh : Syari’ melarang jual beli benda yang ada atau mengadakan akad pada sesuatu yang tidak ada. Namun ia memberi kemurahan secara istihsan pada pemesanan, sewa menyewa, muzaro’ah, mukhobaroh dll. Semuanya itu adalah akad sedangkan sesuatu yang diakadkan tidak ada pada waktu akad berlangsung. Segi istihsannya adalah kebutuhan manusia dan kebiasaan mereka.


4.
Maslahah mursalah
Adalah suatu kemaslahatan dimana syar;i tidak mensyariatkan suatu hukum untuk merealisir kemaslahatan itu dan tidak ada dalil yang menunjukkan atas pengakuanya atau pembatalanya. Contoh kemaslahatn yang karenanya para sahabat mensyariatkan pengadaan penjara, pencetakan mata uang, penetapan tanah pertanian, memungut pajak. Dalam ilmu Ushululfiqh dikenal sebuah istilah مصالح مرسلة (mashalih mursalah) atau استصلاح  (istishlah). Untuk memahami maksudnya berikut ini disebutkan tiga contoh :



a.
Munasib (kemaslahatan) yang diakui
Dalam Islam terdapat hukum-hukum yang ditetapkan untuk melindungi agama Islam, jiwa manusia, akal manusia, keturunan manusia dan harta kekayaan manusia.
Misalnya jihad dan hukuman mati atas orang yang murtad diterapkan untuk melindungi agama Islam. Qishash ditetapkan untuk melndungi jiwa manusia dari upaya menyakiti dan membunuhnya. Diharamkannya meminum minuman untuk melindungi akal manusia dari mabuk. Sanksi potong tangan atas pencuri, begitu juga ganti rugi atas harta yang diambil dengan cara yang tidak sah untuk melindungi harta manusia dari kesewenang-wenangan orang lain. Diharamkannya zina untuk melindungi keturunan manusia. Diizinkan tidak puasa Ramadhan bagi orang musafir dan sakit untuk memberikan kemudahan bagi orang yang musafir dalam menjalankan ibadah puasa.
Semua ulama sepakat berpendapat bahwa semua tujuan-tujuan hukum tersebut, yaitu melindungi agama Islam, jiwa manusia, akal manusia, keturunan manusia dan harta kekayaan manusia, dapat dijadikan landasan penetapan hukum, karena penelitian membuktikan bahwa motivasi penetapan hukum-hukum Syariat Islam adalah untuk merealisasikan kemaslahatan bagi manusia atau menghindarkan kesulitan bagi manusia.[9]



b.
Munasib (kemaslahatan) yang tidak diakui
Rasulullah Muhammad saw menjelaskan sanksi atas orang yang senggama ketika melakukan puasa Ramadhan ada tiga, yaitu pertama, memerdekakan budak, jika tidak mampu harus puasa dua bulan berturut-turut, dan jika tidak mampu juga hendaklah memberi makan 60 orang miskin.
Bolehkah sanksi tersebut diatur sedemikian rupa untuk disesuaikan dengan pelanggarnya? Contohnya jika senggama tersebut dilakukan orang kaya tentu ia dapat membayar sanksi pertama yaitu pembebasan budak dengan mudah, sehingga ia dapat melakukan senggama beberapa kali. Bolehkah sanksinya ditukar dengan sanksi yang lebih berat yaitu puasa dua bulan berturut-turut demi mewujudkan kemaslahatan  yaitu dapat mencegahnya melakukannya lagi ?
Para ahli fiqh tidak memperbolehkannya, karena terdapat dalil yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala (Pembuat hukum Islam) tidak mengakui kemaslahatan tersebut, yaitu teks hadis Rasulullah saw di atas telah menentukan urutan sanksinya, yaitu pertama ialah membebaskan budak, meskipun puasa dua bulan mungkin akan lebih mampu mencegah melakukannya karena jauh lebih berat bagi pelanggarnya.[10]
Contoh lain ialah ketaatan secara berlebih-lebihan kepada agama Islam. Sikap seperti itu pernah dilakukan sebagian Sahabat Nabi di masanya, sampai-sampai mereka tidak makan untuk berpuasa secara terus menerus, tidak kawin, tidak tidur di malam hari untuk mengerjakan shalat.
Menurut akal, ketaatan secara berlebih-lebihan kepada agama Islam adalah maslahat (bermanfaat). Akan tetapi Rasulullah Muhammad saw tidak mau menerimanya. Buktinya sabda Rasulullah saw kepada mereka :
لا رهبانية فى الاسلام
“Tidak ada sistem kependetaan dalam Islam.”
Selanjutnya Rasulullah saw bersabda kepada para Sahabat yang melakukan perbuatan tersebut :
أما والله إنى لأخشاكم لله وأتقاكم له , لكنى أصوم وأفطر , وأصلى وأرقد , وأتزوج النساء , فمن رغب عن سنتى فليس منى (رواه البخارى ومسلم والنسائى)
“Demi Allah, saya lebih takut kepada Allah dari pada kamu, saya lebih takwa kepada Allah dari pada kamu. Meskipun demikian saya puasa dan berbuka, shalat, tidur dan kawin dengan perempuan. Siapa yang tidak suka dengan cara yang saya lakukan berarti ia tidak termasuk umatku.”



c.
Munasib (kemaslahatan) yang tidak diakui dan tidak ditolak
Ada pula munasib yang tidak ditemukan dalil yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala (Pembuat hukum) mengakuinya atau menolaknya, baik dalil berupa nash (teks) maupun ijma’ (konsensus) fuqaha’. Artinya tidak terdapat dalam Syariat Islam sesuatu yang menyetujuinya maupun yang menolaknya.
Bagian yang ketiga inilah yang menjadi bidang perbedaan pendapat di kalangan fuqaha’ tentang apakah boleh menjadikannya sebagai ta’lil (faktor) penetapan hukum.
Mazhab Maliki menyebut bagian ketiga ini dengan مصالح مرسلة  (mashalih mursalah). Imam Haramain dari pendukung mazhab Syafii menyebutnya استدلال (Istidlal). Gazali dari pendukung mazhab Syafii juga menyebutnya    استصلاح  (Istishlah). Demikianlah beberapa nama yang diberikan para faqih, namun hakikatnya satu yaitu munasabah (kemaslahatan) yang tidak ditemukan dalil yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala (Pembuat hukum) mengakuinya atau menolaknya.



d.
Pembagian maslahah yang tidak diakui dan tidak ditolak
Untuk menentukan sikap, perlu diketahui lebih dahulu pembagian maslahah (manfaat) yang tidak ditemukan dalil yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala (Pembuat hukum) mengakuinya atau menolaknya kepada tiga bagian. Pembagian ini semata-mata ditinjau dari segi kekuatan maslahah itu sendiri.
Pertama, dharuriyyat, (mesti) yaitu maslahah (manfaat) yang menjadi landasan kehidupan keagamaan dan dunia bagi manusia. Artinya, apabila maslahah (manfaat) ini tidak terwujud, akan menimbulkan ketidakstabilan kehidupan manusia di dunia, dan selanjutnya akan lenyap pula kebahagiaan hidup di akhirat. Kemaslahatan yang termasuk dalam kelompok dharuriyyat ada lima, yaitu melindungi kelestarian agama Islam, jiwa manusia, akal manusia, keturunan manusia dan harta kekayaan manusia.
Kedua, hajiyyat (penting), yaitu kemaslahatan-kemaslahatan yang bertujuan mempermudah pelaksanaan hukum Islam. Apabila kemaslahatan yang tergolong hajiyyat (penting) tidak diterapkan, maka orang-orang Islam akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan hukum-hukum Islam, meskipun tidak sampai mengganggu kehidupan itu sendiri.
Contohnya dalam bidang ibadat ialah Syariat Islam menetapkan hukum-hukum yang dapat memberikan keringanan (rukhshah) seperti memperbolehkan orang yang musafir dan lain-lain melakukan shalat qashar (menyingkatkan shalat dari empat rakaat menjadi dua rakaat) dan shalat jamak (menggabungkan waktu pelaksanaan dua shalat dalam satu waktu, seperti menggabungkan pelaksanaan waktu shalat Zhuhur dan ‘Ashar pada waktu Zhuhur atau waktu ‘Ashar).
Dalam bidang muamalat, Syariat Islam memperbolehkan bermacam-macam akad (kontrak), seperti jual beli, sewa menyewaf, upah mengupah, dan lain-lain. Diperbolehkannya bermacam-macam akad tersebut memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mereka, meskipun tidak mustahil dalam akad-akad (kontrak-kontrak) tersebut terkandung hal-hal yang mungkin akan mengecewakan seperti tipu daya. Namun seandainya akad-akad (kontrak-kontrak) tersebut dilarang, dengan alasan mungkin akan mengecewakan, tentu akan menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam masyarakat.
Ketiga, tahsiniyyat (pelengkap), yaitu kemaslahatan-kemaslahatan yang bertujuan mewujudkan adat kebiasaan yang baik dan terpuji (moral), seperti bersuci ketika akan melakukan shalat, berpakaian yang baik, memakai harum-haruman, melarang makan makanan yang kotor, berlaku lemah lembut, memberikan perlindungan atas wanita dalam melaksanakan perkawinan dengan cara mewajibkan wali, dan lain sebagainya.
Ketiga macam maslahah di atas, yaitu dharuriyyat, hajiyyat dan tahsiniyyat, merupakan titik tolak bagiprinsip maslahat mursalah. Karena sudah menjadi kepercayaan bahwa Allah Ta’ala dalam menetapkan hukum-hukum selalu mengindahkan kemaslahatan manusia. Perhatian Allah Ta’ala tersebut bukan sebagai kewajiban-Nya, akan tetapi sebagai karunia-Nya kepada manusia.
Atas dasar kepercayaan tersebut banyak fuqaha’ yang menggunakan maslahah mursalah sebagai salah satu metode penetapan hukum


5.
Urf
Urf  menurut bahasa‘Urf adalah sesuatu yang telah sering dikanal oleh manusia dan telah menjadi tradisinya, baik berupa ucapan atau perbuatannya dan atau hal meninggalkan sesuatu juga disebut adat.
‘Urf itu ada dua macam, yaitu ‘Urf shohih dan ‘Urf fasid. ‘Urf shohih adalah sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia dan tidak pula beertentangan dengan syara’. Sedangkan ‘Urf fasdi adalah sesuatu yang telah saling dikelan oleh manusia tetapi bertentangan dengan syara’.
Hukum dari ‘Urf shohih adalah harus dipelihara dalam pembentukan hukum dan dalam pengadilan. Bagi seorang Mujtahid harus memeliharanya dalam waktu membentuk hukum. Seorang Qhadi juga harus memeliharanya ketika mengadili.
Ulama berkata, “ Adat itu adalah syari’at yang dikukuhkan sebagai hukum”. Imam Malik mendasarkan sebagian hukumnya kepada amal perbuatan penduduk Madinah. Imam Abu Hanifah bersama-sama muridnya berbeda pendapat dalam beberapa hukum dengan dasar atas perbedaan ‘Urf mereka. Bahkan Imam Syafi’I mengubah sebagian hukum yang telah menjadi pendapatnya (ketika di Baghdad) ketika telah berada di Mesir, dikarenakan perbedaan ‘Urf. Contoh : saling pengertian manusia terhadap jual beli dengan cara saling memberikan tanpa adanya sighot lafdliyah.


6.
Istishab
Istishab menurut bahasa adalah pengakuan adanya perhubungan. secara istilah adalah menetapkan hukum terhadap sesuatu berdasar keadaan sebelumnya sehingga ada dalil yang menyebutkan atas perubahan keadaan tersebut. Contoh : Apabila seoran mujtahid ditanyai tentang hukum sebuah perjanjian dan ia tidak menemukan jawaban di nash dan tidak pula menemukan dalil syar’i yang membicarakan hukumnya mala ia memutuskan dengan kebolehan perjanjian tersebut berdasar kaidah :
ان الاصل فى الا شياء الاء با حه

F.
Macam macam Ijtihad
Dari segi pelaku ijtihad dibagi dua :


1.
Ijtihad fardi : yaitu ijtihad yang dilakukan oleh satu orang


2.
Ijtihad jamai : yaitu ijtihad yang dilakukan oleh beberapa orang secara kolektif


Dari segi pelaksanaan :


1.
Ijtihad Intiqai : yaitu ijtihad untuk memilih salah satu pendapat terkuat diantara beberapa pendapat yang ada.


2.
Ijtihad Insyai : yaitu mengambi konklusi hukum baru terhadap suatu permasalahan yang belum ada ketetapan hukumnya.
D.
SIMPULAN
Ijtihad merupakan suatu proses penetapan hukum islam yang berkaitan erat dengan bidang fiqih, bidang hukum yasng berkenaan dengan amal atau perbuatan. oleh karena itu, menurut ulama fiqih, ijtihad tidak terdapat dalam ilmu kalam dan tasawuf, karena ijtihad hanya berkenaan dengan dalil-dalil zhanni, sedangka ilmu kalam menggunakan dalil yasng qhati’, baik dalam Al-Qur’an mapun Sunnah.
Ijtihad digambarkan ada beberapa persamaan dan perbedaan, adapun yang menjadi dasar hukum ijtihad ialah Al-Qur’an dan Sunnah.
Hukum ijtihad bagi orang itu bisa wajib ‘ain, wajib kifayat, Sunah atau haram, bergantung pada kapasitas orang tersebut.
Dewasa ini umat islam dihadapkan kepada sejumlah peristiwa keinginan yang menyangkut berbagai aspek kehidupan. Melihat persoalan-persoalan diatas umat islam dituntut untuk keluar dari kemelut itu. Karena itu ijtihad menjadi sangat penting meskipun tidak bisa dilakukan oleh setiap orang.



DAFTAR PUSTAKA

A. Djazuli, Ilmu Fiqh,Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, Jakarta, Kencana, 2005, cet. 3.
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2000.
Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta, Gema Media, Cet. I , 2001.
Amir Syarifudin, Pembaharuan Pemikiran dalam hukum Islam, Padang Angkasaraya, cet. 2, 1993.
A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Pustaka Progressif, 1997, cet.25.
Dr. Wahbah Zuhaily, Ushulul Al Fiqh Al Islamy, (Damaskus : Dar Al Fikr).
Kaidah fiqh, الاسلام صالح لكل زمان ومكان
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Hidakarya Agung, Jakarta, 1990, cet. 8.


.  .








[1]Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta, Gema Media, Cet. I , 2001, hal. 98-99.

[2] Amir Syarifudin, Pembaharuan Pemikiran dalam hukum Islam, Padang Angkasaraya, cet. 2, 1993,hal. 110
[3] Sesuai dengan kaidah fiqh, الاسلام صالح لكل زمان ومكان

[4] A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Pustaka Progressif, 1997, cet.25 ,hal. 217; Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Hidakarya Agung, Jakarta, 1990, cet. 8, hal. 92-93.
[5] A. Djazuli, Ilmu Fiqh,Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, Jakarta, Kencana, 2005, cet. 3, Hal. 71

[6] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2000,  hal 162.
[7] A. Djazuli, op.cit, bandingkan dengan pendapat Ibrahim Husen yang dikutip oleh Abdul Manan, dalam Reformasi Hukum Islam di Indonesia, hal161-162
[8] Dr. Wahbah Zuhaily, Ushulul Al Fiqh Al Islamy, (Damaskus : Dar Al Fikr), II, hal. 757
[9] Ibid., hal. 752
[10] Ibid., hal. 753