Laman

Senin, 21 Februari 2011

HUKUM POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF ISLAM



A.
PENDAHULUAN
Jika kita berbicara tentang hukum tentu akan terkait erat dengan kata adil, sebab hukum dibuat untuk mencipakan keadilan. Kaitannya dengan bagaimana hukum poligami dalam perspektif Islam tentunya berkaitan erat dengan bagaimana menciptakan keadilan di dalam kehidupan berpoligami menurut Islam . Secara terminologi kata poligami berasal dari bahasa Inggris “polygami “ yang bermakna mempunyai istri/beristri lebih dari seorang ;
 Perkawinan bertujuan untuk menciptakan keluarga yang sakinah , mawaddah wa rahmah ( Vide Q.s Ar Ruum : 31 Jo Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. pasal 3 Kompilasi Hukum Islam ) karena poligami adalah melaksanakan perkawinan untuk yang kedua dan seterusnya ( sampai keempat ), tentu tujuan poligami adalah berbanding lurus dengan tujuan perkawinan pertama, namun dengan syarat tertentu , syarat yang mutlak yang ditawarkan al Qur’an hanya satu tidak ada yang lain yaitu ‘”adil “ sedangkan syarat yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ada syarat alternatif maupun syarat komulatif ( vide Pasal 4 dan 5 UU Nomor 1 Tahun 1974 ) ;
Dalam makalah ini penulis akan mencoba menguraikan persoalan poligami bagaimana hukumnya dan bagaimana sebenarnya Islam menyikapi poligami berpijak dari dalil yang termaktub di dalam Q.S. An Nisa ‘ayat 2-3 sebagai berikut :
(#qè?#uäur #yJ»tFuø9$# öNæhs9ºuqøBr& ( Ÿwur (#qä9£t7oKs? y]ŠÎ7sƒø:$# É=Íh©Ü9$$Î/ ( Ÿwur (#þqè=ä.ù's? öNçlm;ºuqøBr& #n<Î) öNä3Ï9ºuqøBr& 4 ¼çm¯RÎ) tb%x. $\/qãm #ZŽÎ6x. ÇËÈ  
Artinya : “ dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar “ ;
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ  
Artinya : “dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil , maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya “ ;
Ayat 3 surat al-Nisa sebagaimana yang ditulis dimuka secara ekplisit seorang suami boleh beristri lebih dari seorang sampai batas maksimal empat orang dengan syarat mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya itu. Ayat ini melarang menghimpun dalam saat yang sama lebih dari empat orang istri bagi seorang pria. Ketika turun ayat ini, Rasulullah memerintahkan semua pria yang memiliki lebih dari empat istri, agar segera menceraikan istri-istrinya sehingga maksimal setiap orang hanya memperistrikan empat orang wanita [1];
Menurut pendapat Rasyid Ridho bahwa ayat 2 Q.S An Nisa’ tersebut adalah gambaran dari tradisi zaman jahiliyah yang tidak manusiawi, yaitu wali dari anak yatim mengawini anak yatimnya tanpa memberi hak mahar dan hak-hak lainnya dan ia bermaksud untuk makan harta anak yatim dengan cara yang tidak sah serta ia menghalangi anak yatimnya kawin dengan orang lain agar ia tetap leluasa menggunakan harta anak tersebut, demikian pula tradisi zaman jahiliyah yang mengawini istri banyak ( lebih dari empat ) dengan perlakuan yang tidak adil dan dan tidak manusiawi, kemudian turunlah ayat 3 Q.S.An Nisa’[2] ;  
Ayat 3 Q,S An Nisa’ ( dasar dibolehkannya poligamai dengan maksimal empat istri ) tersebut tidak berdiri sendiri di dalam ayat yang lain (Q,S An Nisa’ayat 129 )  Allah SWT berfirman :
`s9ur (#þqãèÏÜtFó¡n@ br& (#qä9Ï÷ès? tû÷üt/ Ïä!$|¡ÏiY9$# öqs9ur öNçFô¹tym ( Ÿxsù (#qè=ŠÏJs? ¨@à2 È@øŠyJø9$# $ydrâxtGsù Ïps)¯=yèßJø9$$x. 4 bÎ)ur (#qßsÎ=óÁè? (#qà)­Gs?ur  cÎ*sù ©!$# tb%x. #Yqàÿxî $VJŠÏm§ ÇÊËÒÈ  
Artinya : “ dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang “ ;

B.
PERMASALAHAN
Membahas hukum poligami bukan hanya sekedar membahas sunah Rasul ( suatu perbuatan yang pernah dijalani oleh Rasulullah Nabi Muhammad SAW ), karena Nabi Rasulullah SAW berpoligami di sepuluh terakhir usianya kalau demikian halnya berarti poligami hukum asalnya adalah sunah, sebagaimana pendapat/ pernyataan  Syaikh bin Baz [3] ;
Syaikh bin Baz berpendapat bahwa syarat adil yang dimaksud di dalam Q.S. An Nisa’ ayat 3 tersebut di atas adalah adil dalam kapasitas perbuatan lahiriyah semisal adil di dalam membagi nafkah maupun giliran, adapun adil yang dimaksud di dalam Q.S. An Nisa’ ayat 129 adalah adil di dalam kapasitas bathin/perasaan, yakni adil di dalam membagi kasih sayang dan kecenderungan hati kepada para istri, inilah perbuatan adil yang sangat sulit dilakukan manusia, kaena di luar kemampuannya ;
Menurut Syaikh bin Baz antara ayat 3 Q.S. An Nisa’ dengan ayat 129 Q.S. An Nisa’ tidak ada pertentangan dan tidak ada nasikh mansukh jadi masing-masing bediri sendiri ;
Permasalahan yang muncul apakah memang pendapat Syaik bin Baz itulah yang dijadikan dasar oleh para pelaku poligami dengan alasan mengikuti sunnah Rasul ? ;
Menengok ke belakang, apa sebenarnya yang menjadi dasar/sebab/’illat hukum timbulnya poligami, hal ini dapat dicermati dari peristiwa poligami Rasulullah SAW di sepuluh terakhir usianya, 25 tahun perkawinannya beliau menjalani hanya dengan perkawinan yang monogami dengan Khadijah RA. Tiga atau empat tahun sesudah meninggalnya Khodijah RA, baru Nabi SAW melakukan awal poligami dengan Aisyah RA pada tahun kedua atau ketiga Hijriyah, semua istri-istri Nabi SAW selain Aisyah adalah janda-janda yang berusia di atas 45 tahun, yang mendasari beliau melakukan poligami karena adanya perintah Allah ( karena faktor agama dan bukanlah untuk kepentingan dunia ). Pernikahan poligami beliau itu dilangsungkan untuk suatu hikmah dan bukan untuk menuruti hawa nafsu belaka. Pernikahan itu pula untuk mengokohkan, memperkuat dan menyebarkan dakwah dan bukan untuk bersenang- senang, juga semata-mata adalah untuk kebaikan Islam dan kaum muslimin[4] ;
Sesungguhnya diantara tujuan mulia dari pernikahan beliau adalah untuk memuliakan dan memberi penghargaan bagi seorang wanita yang lanjut usia sehingga tidak lagi menarik hati laki-laki. Sementara wanita itu telah menghibahkan dirinya untuk Nabi. Maka Nabipun menikahi wanita tersebut dan menggolongkannya dalam deratan isteri-isterinya, demi untuk memuliakan wanita itu sebagaimana yang ia harapkan ;
Mengapa beliau tidak memilih semua isteri-isterinya atau minimal mayoritas daripada isterinya, gadis-gadis perawan yang cantik-cantik? Bukankah kita semua mengetahui bahwa hal itu merupakan hal yang sangat mudah bagi beliau jika saja beliau menghendakinya ;
Masalah poligami menjadi konflik yang berkepanjangan baik dalam umat Islam maupun dari luar Islam terutama dari musuh-musuhnya. Hal itu disebabkan adanya sebagian individu umat Islam yang tidak begitu memahami akan urgensi poligami dalam kehidupan insan secara naluri maupun urgensinya ditinjau dari segi dakwah Islamiyah ;
Disamping itu masalah poligami ini telah dijadikan sasaran empuk oleh musuh Islam untuk menghujat Islam dengan ajaran-ajarannya yang agung. Tuduhan dan hujatan itu kadang langsung diarahkan kepada pembawa risalah ini, seorang Nabi yang diakui kemuliaan akhlak dan kesucian kehormatannya, bukan saja diakui oleh umat Islam itu sendiri tapi juga oleh mereka yang bersikap netral dan obyektif  dari luar Islam  ;
Poligami merupakan permasalahan dalam perkawinan yang paling banyak diperdebatkan sekaligus controversial. Poligami ditolak dengan berbagai macam argumentasi baik yang bersifat normative, psikologis bahkan selalu dikaitkan dengan ketidakadilan gender. Para penulis barat sering mengklaim bahwa poligami adalah bukti bahwa ajaran Islam dalam bidang perkawinan sangat diskriminatif terhadap perempuan. Poligami dikampanyekan karena dianggap memiliki sandaran normative yang tegas dan dipandang sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan fenomena selingkuh dan prostitusi[5] ;
Permasalahan yang lain muncul karena di era zaman muthaakhirin ini paraktek Poligami hampir semua dilatarbelakangi nafsu, seringkali ditanggapi negatif oleh para musuh Islam, mereka mengatakan bahwa hal itu merupakan bukti bahwa beliau adalah seorang yang memiliki kelainan seksual atau seorang yang senang menuruti hawa nafsu. Padahal bila kita telusuri dengan seksama, akan nampak bagi kita bahwa pernikahan Nabi dengan isteri-isterinya itu tidak memiliki unsur pemuasan nafsu, akan tetapi terkandung di dalamnya tujuan-tujuan yang mulia bagi umat Islam khususnya dan sejarah kemanusiaan pada umumnya ;
Maka menjadi kewajiban bagi kita semua untuk menjelaskan hakikat yang sebenarnya agar keagungan kepribadian beliau tidak tercemari oleh isu-isu yang senantiasa disebarkan oleh mereka yang benci jika ajaran Islam mendapatkan tempat yang layak di hati para pemeluknya ;

C.
PEMBAHASAN

Pada era zaman sekarang ini praktek poligami menuai berbagai macam tanggapan dan pendapat tentang hukumnya, diantara pendapat-pendapat ulama tentang hukum poligami :
·         M.Quraish Shihab : Q.S. An Nisa’ ayat 3 di atas tidak membuat satu peraturan tentang poligami, dan tidak pula mewajibkan poligami ataupun menganjurkannya, jadi Q.S.An Nisa’ ayat 3 tersebut hanya berbicara tentang bolehnya poligami. Bolehnya poligami itupun hanya sebagai pintu darurat, artinya pintu itu tidak boleh ( haram ) dibuka apabila tidak dalam keadaan darurat, semisal seorang istri yang mandul atau seorang istri yang terjangkit penyakit parah yang sulit untuk disembuhkan, lalu bagaimana suaminya apabila menghadapi keadaan tersebut ? bagaimana ia akan menyalurkan nafsu biologisnya atau memperoleh dambaan anak ? maka itulah pintu poligami baru bisa dibuka, jadi untuk membuka pintu poligami itu syaratnya berat, poligami itu mirip pintu darurat dalam sebuah pesawat terbang, yang boleh dibuka hanya dalam keadaan emergency tertentu [6];
·         Muh.Abduh : Poligami hukumnya hanya ada dua yaitu boleh dan tidak boleh ( haram ). Boleh apabila dalam keadaan memaksa seperti istri tidak bisa mengandung, juga kebolehan poligami mensyaratkan suami harus berbuat adil terhadap istri-istrinya, ini ada syarat yang sangat berat, seandainya manusia bersikeras ingin berlaku adail tetap saja manusia tidak bisa berlaku adil dalam membagi kasih sayangnya[7] ;
·         Muhammad Asad : Kebolehan poligami untuk beristri maksimal empat ( Q.S.An Nisa’ayat 3 ) tersebut dibatasi dengan syarat juga yaitu “ apabila kamu takut, tidak mampu berbuat adil maka kawinilah satu saja “ karena beliau berpendapat untuk membuat perkawinan majemuk / poligami itu hanya sangat mungkin dalam kasus-kasus yang luar biasa dan dalam kondisi yang luar biasa juga “[8] ;
·         Masjfuk Zuhdi : Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko atau madarat dari pada manfaatnya, karenanya manusia menurut fitrahnya manusia mempunyai watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh, watak-watak tersebut akan mudah timbul dalam kadar yang tinggi jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis, oleh sebab itu hukum asal perkawinan dalam Islam adalah monogami. Dengan demikian poligami hanya diperbolehkan bila dalam keadaan darurat, misalnya istri mandul, atau istri terkena penyakit yang menyebabkan tidak bisa memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri [9];
·         Aktifis Kaum Feminis Liberal Prof.DR. Siti Musdah Mulia di dalam bukunya yang berjudul  “Islam Menggugat Poligami “ mengharamkan syariat poligami karena dianggap sebagai pelanggaran terhadap HAM. Hal ini tampak jelas pada bab Kesimpulan: “Kesimpulannya, aspek negatif poligami lebih besar daripada aspek positifnya. Dalam istilah agama, lebih banyak mudharatnya ketimbang maslahatnya dan sesuai dengan kaidah fiqhiyah segala sesuatu yang lebih banyak mudharatnya harus dihilangkan. Mengingat dampak buruk poligami dalam kehidupan sosial, poligami dapat dinyatakan haram lighairih (haram karena eksesnya). Karena itu, perlu diusulkan pelarangan poligami secara mutlak sebab dipandang sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia” [10] ;
Judul buku tersebut banyak yang menentang, karena tidak tepat Islam tidak menggugat Poligami, yang benar seharusnya “Siti Musdah Mulia Menggugat Poligami “karena dialah yang menggugat, bukan Islam ;
Dari berbagai macam pendapat mengenai Hukum Poligami Sepanjang yang penulis ketahui, Aqidah yang kita punyai mestinya membimbing kita untuk percaya bahwa Islam membolehkan (mohon dibedakan dari menganjurkan / mensunahkan) berpoligami tetapi dengan berbagai macam syarat yang teramat berat dan penuh ancaman, bahkan Nabi pun melarang Ali ra untuk memadu Fathimah yang menurut keyakinan penulis, bukan karena Emosi Beliau, tetapi karena ilmu dan
pengetahuan beliau yang luas terhadap kemungkinan yang akan terjadi
serta domino effect-nya terhadap perkembangan Islam yang baru saja
lahir jika Ali memadu Fathimah. Namun pun begitu, Rasulullah tidak melarang umat untuk berpoligami karena Allah saja membolehkannya dengan QS 4: 2-3 tersebut.
Jadilah kemudian Rasul membuat poligami sebagai sebuah solusi dari
permasalahan sosial umat yang menjadi alternatif solusi yang terbuka
terhadap ketetapan hukum syariah ;
Jadi menurut penulis, maka jalan keluarnya bukanlah dengan melarang apa yang dibolehkan oleh Allah seperti yang banyak disuarakan oleh para pendukung gerakan feminis akhir-akhir ini, tetapi seharusnya memberikan pemahaman tentang ajaran Islam terkait poligami dengan segala seluk-beluknya. Selain itu, umat tidak boleh salah paham terhadap peran Islam dalam mengatur dan memperkecil peluang untuk berpoligami. Pemerintah Indonesia telah mengatur masalah poligami ini melalui produk hukumnya yang berupa UU nomor 1 Tahun 1974 Pasal 3, 4 dan 5 yang bunyinya sebagai berikut :
Pasal 3
(1) Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri. Seorang wanitahanya boleh memiliki seorang suami.
(2)  Pengadilan, dapat  memberi izin kepada seorang  suami untuk  beristeri lebih  dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Pasal 4                                                          
(1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal  ini hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. istri tidak dapat memnjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5
(1)  Untuk  dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan sebagaimana  dimaksud  dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini harus memenuhi syarat-syarat berikut:
a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b. adanya kepastian  bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-
isteri dan anak-anak mereka.
c. adanya jaminan  bahwa suami akan  berlaku adil terhadap isteri-isteri  dan anak-anak mereka.
Secara historis, poligami telah sangat lama mendahului Islam. Poligami sudah menjadi kebiasa­an umat manusia semenjak zaman primitif, dan budaya ini sudah umum dikenal di berbagai kalangan bangsa di dunia. Mereka melakukannya karena berbagai sebab dan kebutuhan. Kenyataan ini membuktikan, bukan Nabi Muhammad (baca: agama Islam) yang memprakarsai poligami. Islam hanyalah menetap­kan batasan dan syarat-syarat pemberian batasan. Karena itu, agar poligami ini tepat guna, tidak dilakukan oleh sembarang orang dengan semaunya sehingga menimbulkan banyak penderitaan pada istri-istri dan kesengsaraan pada anak, maka memberikan pengajaran, pendidikan, dan pemahaman yang tepat dan benar sangat dibutuhkan sebagai jalan keluarnya. Dengan demikian, orang yang punya keinginan, akan berpikir lebih matang sebelum mengambil keputusan untuk melakukan poligami ;
D.
KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat disimpulakan sebagai berikut :

1.
Bahwa Islam ( Q.S.An Nisa’ ayat 2-3 ) tidak mewajibkan ataupun menganjurkan poligami, melainkan hanya membolehkan ;

2.
Batasan jumlah istri dalam poligami maksimal empat orang ;

3.
Kebolehan poligamipun Islam membatasi dengan adanya syarat  yang tidak ringan,yang menurut penulis  sejalan dengan batasan yang diberikan oleh UU nomor 1 Tahun 1974 Pasal 3, 4 dan 5 ;
DAFTAR PUSTAKA
1.
Shihab, M. Quraish, 1999, Wawasan al-Qur’an, Bandung; Mizan  ;
2.
Ridho, Rasyid, Tafsir al-Manar, Mesir; Dar al-Manar ;
3.
Majalah Al Balagh, edisi 102 Fatwa Ibnu Baz ;
4.
M. Quraish Shihab, 2001, Perempuan, Jakarta; Lentera Hati ;
5.
Nurudin, Amiur dan Tarigan, Ahmad Azhari, 2004, Hukum Perdata di Indonesia, Jakarta; Pernada Media ;
6.
M. Quraish Shihab, ” Ibarat Emergensy Exit di Pesawat “, dalam Tabloid Republika Dialog Jum’at, tgl. 8 Desember 2006 ;
7.
Nasution, Khoiruddin, 1996, Riba dan Poligami; Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh, Jakarta; Pustaka Pelajar ;
8.
Engineer, Asghar Ali, 2003, Pembebasan Perempuan, Yogyakarta; LKIS ;
9.
Zuhdi, Masjfuk, 1989, Masail Fiqhiyyah, Jakarta; CV. Haji Masagung ;
10.
Siti Musdah Mulia “Islam Menggugat Poligami “ ;








[1] Shihab, M. Quraish, 1999, Wawasan al-Qur’an, Bandung; Mizan.hal.199
[2] Ridho, Rasyid, Tafsir al-Manar, Mesir; Dar al-Manar. Hal. 347-348 ;
[3] Majalah Al Balagh, edisi 102 Fatwa Ibnu Baz ;
[4] M. Quraish Shihab, 2001, Perempuan, Jakarta; Lentera Hati hal. 24
[5] Nurudin, Amiur dan Tarigan, Ahmad Azhari, 2004, Hukum Perdata di Indonesia, Jakarta; Pernada Media. Hal. 156.
[6] M. Quraish Shihab, ” Ibarat Emergensy Exit di Pesawat “, dalam Tabloid Republika Dialog Jum’at, tgl. 8 Desember 2006.
[7] Nasution, Khoiruddin, 1996, Riba dan Poligami; Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh, Jakarta; Pustaka Pelajar.hal. 100.
[8] Engineer, Asghar Ali, 2003, Pembebasan Perempuan, Yogyakarta; LKIS. Hal.: 117 .
[9] Zuhdi, Masjfuk, 1989, Masail Fiqhiyyah, Jakarta; CV. Haji Masagung.hal. 12.
[10] Siti Musdah Mulia “Islam Menggugat Poligami “ hal.: 193-194.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar