IDE PEMIKIRAN HASBI ASH
SHIDDIEQY
TENTANG HUKUM ISLAM DI
INDONESIA
Oleh : Hj. Awaliatun Nikmah, S.Ag, M.H.
|
|||
A.
|
PENDAHULUAN
Secara sosiologis, hukum merupakan refleksi tata
nilai yang diyakini oleh masyarakat sebagai suatu pranata dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Hal ini berarti, bahwa muatan hukum itu
seharusnya mampu menangkap aspirasi masyarakat yang tumbuh dan berkembang,
bukan hanya bersifat kekinian, namun juga menjadi acuan dalam mengantisipasi
perkembangan sosial, ekonomi dan politik di masa depan.[1]
Dengan
demikian, hukum itu tidak hanya sebagai norma statis yang hanya mengutamakan
kepastian dan ketertiban, namun juga berkemampuan untuk mendinamisasikan
pemikiran serta merekayasa perilaku masyarakat dalam menggapai cita-cita.
Dalam
perspektif Islam, hukum akan senantiasa berkemampuan untuk mendasari dan
mengarahkan berbagai perubahan sosial masyarakat. Hal ini mengingat,
bahwa hukum Islam[2]
itu mengandung dua dimensi :
|
||
|
1.
|
Hukum Islam dalam kaitannya dengan syari'at[3]
yang berakar pada nash qath'i berlaku universal dan menjadi asas
pemersatu serta mempolakan arus utama aktivitas umat Islam sedunia.
|
|
|
2.
|
Hukum Islam yang berakar pada nas
zhanni yang merupakan wilayah ijtihadi yang produk-produknya
kemudian disebut dengan fiqhi.[4]
|
|
|
Dalam pengertiannya yang kedua inilah, yang
kemudian memberikan kemungkinan epistemologis hukum, bahwa setiap wilayah
yang dihuni umat Islam dapat menerapkan hukum Islam secara berbeda-beda,[5] sesuai dengan konteks permasalahan yang dihadapi.
Di Indonesia, sebagaimana negeri-negeri lain
yang mayoritas penduduknya beragama Islam, keberdayaannya telah sejak lama
memperoleh tempat yang layak dalam kehidupan masyarakat seiring dengan
berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, dan bahkan pernah sempat menjadi hukum
resmi Negara.[6]
Setelah kedatangan bangsa penjajah (Belanda)
yang kemudian berhasil mengambil alih seluruh kekuasaan kerajaan Islam
tersebut, maka sedikit demi sedikit hukum Islam mulai dipangkas, sampai
akhirnya yang tertinggal-selain ibadah-hanya sebagian saja dari hukum
keluarga (nikah, talak, rujuk, waris) dengan Pengadilan Agama sebagai
pelaksananya.[7]
Meskipun
demikian, hukum Islam masih tetap eksis, sekalipun sudah tidak seutuhnya.
Secara sosiologis dan kultural, hukum Islam tidak pernah mati dan bahkan
selalu hadir dalam kehidupan umat Islam dalam sistem politik apapun, baik
masa kolonialisme maupun masa kemerdekaan serta sampai masa kini.
Berdasarkan hal
tersebut, wacana yang dikembangkan dalam pemikiran keislaman menjadi kurang
empiris dan mengakibatkan terbengkalainya sederet nomenklatur permasalahan
sosial-politik yang terjadi di masyarakat, yang telah menggerakkan Soekarno
untuk ikut memberikan kritik terhadap kerangka pikir yang selama ini dipakai
oleh para ulama. Kungkungan pola pikir para ulama yang berpacu pada
fahm-u‘l-‘ilm li ‘l-inqiyâd ketika memahami doktrin hukum Islam yang terdapat
di dalam khazanah literatur klasik membuat eksistensi hukum Islam tampak
resisten, tidak mampu mematrik diri, dan sebagai konsekuensinya ia menjadi
panacea bagi persoalan sosial-politik. Para ulama secara umum telah melupakan
sejarah dan menganggap bahwa mempelajari sejarah tidaklah begitu penting
sehingga kritik atas dimensi ini menjadi tidak ada.
Dengan demikian, pandangan mereka terhadap fiqh adalah
sebagai kebenaran ortodoksi mutlak, yang absolutitasnya menutup kritik dan
pengembangan, dan bukan sebagai pemikiran yang yang bersifat nisbi, yang
membutuhkan kritik dan pengembangan. Maka, perlulah sebuah pemikiran dan
pandangan baru yang dapat menggeser paradigma dari pola fahm-u ‘l-‘ilm li
‘l-inqiyâd ke pola fahm-u ‘ilm li ‘l-intiqâd.
Dari titik berangkat
kenyataan sosial dan politik seperti itulah pemikiran fiqh Indonesia hadir,
ia terus mengalir dan salah satunya disosialisasikan oleh Hasbi Ash-Shiddieqy
.
|
||
B.
|
PERMASALAHAN
Permasalahan merupakan
upaya uatuk menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan apa saja yang
ingin kita carikan jawabannya. Merujuk pada keterangan itu, maka yang menjadi
pokok permasalahan :
|
||
|
1.
|
Bagaimana biografi dari TM. Hasbi Ash Shiddieqy?
|
|
|
2.
|
Bagaimana ide pemikiran TM. Hasbi Ash Shiddieqy tentang hukum Islam di
Indonesia?
|
|
|
3.
|
Bagaimana metode istimbath hukum TM. Hasbi Ash Shiddieqy?
|
|
C.
|
PEMBAHASAN
|
||
|
1.
|
Biografi Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy
Nama lengkap dia Teungku
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy. Dia lahir di Lhoksumawe pada 10
Maret 1904 dan berasal dari keluarga ulama-pejabat. Nama belakangnya, memang
dinisbahkan kepada Abubakar Ash-Shiddiq R.A. dan -menurut silsilahnya- Hasbi
adalah keturunan ke-37.
Mulai usia delapan tahun
dia sudah nyantri di berbagai pesantren di Aceh. Hasbi pernah menjadi murid
Syaikh Al-Kalali, tokoh pembaharu asal Singapura. Lewat Al-Kalali, Hasbi
mendapat kesempatan ‘berkenalan’ dengan kitab-kitab para ulama seperti Fatawa
karya Ibnu Taimiyah dan Zâdul Ma’âd karya Ibnu Qayyim.
Hasbi lalu ke Surabaya
belajar kepada Syaikh Ahmad as-Surkati, di Al-Irsyad. Dia di kelas takhasus
selama satu setengah tahun. Di periode ini dia berkesempatan melihat kiprah
kaum pembaharu di Jawa yang bergerak secara terorganisasi.
Hasbi tumbuh menjadi
seorang pemikir yang berkelas. Pada 1957, Hasbi ke Pakistan menghadiri
International Islamic Colloquium yang diselenggarakan University of Punjab.
Dia menyampaikan makalah dalam bahasa Arab: ”Sikap Islam terhadap Ilmu
Pengetahuan”.
Bisa dibilang Hasbi
berbeda dengan rata-rata intelektual Muslim Indonesia. Kecemerlangan
intelektualitas mereka -antara lain bisa dimaknai dengan penyampaian ide-ide
pembaharuan baru terlihat setelah mereka pulang dari berhaji atau belajar di
Timur Tengah. Tapi, sampai wafat pada 9 Desember 1975, Hasbi belum
berkesempatan berhaji dan menuntut ilmu di Timur Tengah. (Catatan: Dia
meninggal di Asrama Haji Jakarta, sesaat sebelum berangkat berhaji).
Dalam mengusung ide-ide
pembaharuan, Hasbi tampak berani menantang arus. Sikapnya yang tegas,
menyebabkan dia dimusuhi, diasingkan, bahkan ditahan oleh pihak yang tidak
sepaham.Ada contoh pengalaman pahit. Di awal kemerdekaan, Hasbi ditahan oleh
Gerakan Revolusi Sosial di Lembah Burnitelong dan Takengon selama satu tahun
lebih, tanpa alasan jelas. Hasbi tidak pernah diinterogasi maupun diadili.
Tapi, ”Ada kemungkinan karena sikap pembaharuannya,” tulis www.unmuha.ac.id,
situs milik Universitas Muhammadiyah Aceh ’edisi’ 7/11/2011.
Masih di situs yang
sama, di tahanan Hasbi berhasil menyelesaikan buku Al-Islam setebal 1.404
halaman dalam dua jilid. Buku ini diterbitkan pada 1951 dan terus dicetak
ulang.
Dalam meyakini
kebenaran, Hasbi bisa tampil seperti ‘manusia bebas’. Dalam arti, jika sedang
membahas sebuah masalah, bisa saja dia berdialog, berdebat, atau berpolemik
dengan kawan-kawan seorganisasinya (dalam hal ini Muhammadiyah dan PERSIS).
Dia merasa tidak terbebani oleh pendapat organisasi tempat dia bergabung.
Bahkan, berani pula dia berbeda pendapat dengan jumhur ulama, satu sikap
langka di saat itu.
Hasbi produktif menulis.
Lebih dari 70 judul buku di berbagai bidang (seperti tafsir, hadits, fiqh,
dan pedoman ibadah) telah ditulisnya. Sebagian buku-buku itu masih terus
dicetak ulang hingga kini.
|
|
|
2.
|
Ide Pemikiran TM. Hasbi Ash Shiddieqy tentang
Hukum Islam di Indonesia
Pada masa awal persiapan
kemerdekaan Republik Indonesia, perbincangan tentang hukum Islam dari aspek
fiqh semakin surut karena semua umat Islam disibukkan dengan pembentukkan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, kesibukkan tersebut tidak pernah
membuat Hasbi ikut terlena untuk melupakan agenda pembaruan hukum Islam di
Indonesia kendatipun banyak para pembaru Muslim di masanya yang mendirikan
organisasi-organisasi kemsyarakatan (Ormas).
Menurutnya, hukum Islam
harus mampu menjawab persoalan-persoalan baru, khususnya dalam segala cabang
dari mu‘âmalah, yang belum ada ketetapan hukumnya. Ia harus mampu hadir dan
bisa berpartisipasi dalam membentuk gerak langkah kehidupan masyarakat. Para
ulama (lokal) dituntut untuk memiliki kepekaan terhadap kebaikan (sense of
mashlahah) yang tinggi dan kreatifitas yang penuh dengan tanggung jawab dalam
upaya merumuskan alternatif fiqh baru yang sesuai dengan situasi dan kondisi
masyarakat yang dihadapinya.
Nalar pemikiran yang
digunakan oleh Hasbi dengan gagasan fiqh Indonesia adalah satu keyakinan
bahwa prinsip-prinsip hukum Islam sebenarnya memberikan ruang gerak yang
lebar bagi pengembangan dan ijtihad-ijtihad baru.Menurutnya, hingga tahun
1961, salah satu faktor yang menjadi penghambat adalah adanya ikatan
emosional yang begitu kuat (fanatik, ta‘ashshub) terhadap madzhab yang dianut
oleh umat Islam. Dan untuk membentuk fiqh baru ala Indonesia, diperlukan
kesadaran dan kearifan lokal yang tinggi dari banyak pihak, terutama ketika
harus melewati langkah pertama, yaitu melakukan refleksi historis atas
pemikiran hukum Islam pada masa awal perkembangannya. Perspektif ini
mengajarkan bahwa hukum Islam baru bisa berjalan dengan baik jika ia sesuai
dengan kesadaran hukum masyarakat. Yakni, hukum yang dibentuk oleh keadaan
lingkungan atau dengan kebudayaan dan tradisi setempat (adat dan ‘urf), bukan
dengan memaksakan format hukum Islam yang terbangun dari satu konteks
tertentu kepada konteks ruang dan waktu baru. Maka, kita dapat menyimpulkan
bahwa ide fiqh Indonesia yang telah dirintis olehnya berlandaskan pada konsep
bahwa hukum Islam (fiqh) yang diberlakukan untuk umat Islam Indonesia adalah
hukum Islam yang sesuai dan memenuhi kebutuhan rakyat Indonesia, selama itu
tidak bertentangan syari’at.
Salah satu contoh kasus,
adalah perdebatan Hasbi dengan A. Hasan tentang boleh tidaknya jabat tangan
antara laki-laki dan perempuan. Terlepas dari tidak adanya dalil pasti dan
alasan yang rasional tentang pengharaman jabatan tangan antara laki-laki dan
perempuan maka ia berpendapat bahwa tradisi jabat tangan antara laki-laki dan
perempuan bukan sesuatu yang berbahaya untuk dilakukan.
Ada juga contoh kasus
yang lain, TM. Hasbi Ash Shiddieqy menegaskan, bahwa sekiranya menyetubuhi
istri yang sedang beristihadah tidak dibolehkan, tentulah ada turun wahyu
kepada nabi untuk mencegah perbuatan itu, karena perbuatan itu terjadi di
zaman wahyu masih diturunkan.
Golongan yang kedua
berkata, Tuhan mencegah kita menyetubuhi perempuan yang sedang haid, karena
haid itu kotor mendatangkan penyakit. Kalau demikian maka hal itu dapat juga
berlaku pada istihadah.[8] TM.
Hasbi Ash Shiddieqy mengemukakan, sesungguhnya menetapakan keharaman sesuatu,
hendaklah dengan dalil qath'i. Sedangkan dalil qath'i yang mengharamkannya
tidak dijumpai. Di samping itu dapat juga di pahamkan bahwa kebolehan
bersenggama tersebut dari Nabi SAW setelah diwajibkannya shalat.
Kesimpulannya, bersenggama dengan istri yang heristihadah, dibolehkan. Akan
tetapi, perlu diingat soal kesehatan. Jika mengganggu kedua belah pihak atau
salah satu pihak, hendaklah dasar keharaman ini diutamakan, dalam hal
ini ada baiknya ditanyakan advis dokter.[9]
Berikut beberapa karya Hasbi :
|
|
|
|
a.
|
Koleksi Hadis-hadis Hukum, 9 Jilid.
|
|
|
b.
|
Mutiara Hadis 1 (Keimanan).
|
|
|
c.
|
Mutiara Hadis 2 (Thaharah dan Shalat).
|
|
|
d.
|
Mutiara Hadis 3 (Shalat).
|
|
|
e.
|
Mutiara Hadis 4 (Jenazah, Zakat, Puasa, Iktikaf dan
Haji).
|
|
|
f.
|
Mutiara Hadis 5 (Nikah dan Hukum Keluarga,
Perbudakan, Jual Beli, Nazar dan Sumpah, Pidana dan Peradilan, Jihad).
|
|
|
g.
|
Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an.
|
|
|
h.
|
Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis.
|
|
|
i.
|
Sejarah
dan Pengantar Ilmu Tafsir
|
|
|
j.
|
Islam dan HAM (Hak Asasi Manusia): Dokumenter
Politik Pokok-pokok Pikiran Partai Islam dalam Sidang Konsituante 4 Februari
1958.
|
|
|
k.
|
Kriteria Antara Sunnah dan Bid‘ah.
|
|
|
l.
|
Pedoman Shalat.
|
|
|
m.
|
Pedoman Puasa.
|
|
|
n.
|
Pedoman Zakat.
|
|
|
o.
|
Pedoman Haji.
|
|
|
p.
|
Tafsir Al-Qur’an An-Nur.
|
|
|
Di antara karya-karya
Hasbi, Tafsir Al-Qur’an An-Nur disebut-sebut sebagai karyanya yang paling
fenomenal. Disebut demikian karena tidak banyak ulama Indonesia yang mampu
menghasilkan karya tafsir semacam itu.
Karena kepakarannya
dalam ilmu hadits, pada tahun 1960 dia diangkat menjadi Guru Besar di bidang
Ilmu Hadits. Sejak itu dia juga menjadi dekan di Fakultas Syariah IAIN Sunan
Kalijaga Jogjakarta hingga tahun 1972.
Atas prestasi dan
jasa-jasanya terhadap perkembangan Perguruan Tinggi Islam dan perkembangan
ilmu pengetahuan keislaman di Indonesia dia dinugerahi gelar Doktor Honoris
Causa oleh Universitas Islam Bandung (UNISBA) dan IAIN Sunan Kalijaga pada
tahun yang sama, 1975.
Situs
www.uin-malang.ac.id 18/11/2011 juga menyebut Hasbi sebagai tokoh yang sangat
gigih dalam memerjuangkan pendidikan Islam. “Melihat tanah kelahiran dan
sejarah hidupnya, seorang ulama yang memiliki karya tulis sedemikian
banyak itu, adalah merupakan prestasi yang sangat luar biasa,” tulis situs
Universitas Islam Negeri Malang itu.
|
|
|
3.
|
Metode Istimbath Hukum TM. Hasbi Ash Shiddieqy
Metode istinbath TM.
Hasbi Ash Shiddieqy berpijak pada prinsip mashlahah mursalah, keadilan,
kemanfaatan, serta sadd-u ‘l-zarî‘ah. Semua prinsip itu, merupakan prinsip
gabungan dari setiap madzhab. Maka, untuk memberikan pemahaman yang baik, ia
menawarkan metode analogi-deduktif yaitu suatu model istinbâth hukum yang
pernah dipakai oleh Imam Abû Hanîfah untuk membahas satu permasalahan yang
tidak ditemukan ketentuan hukumnya dalam khazanah pemikiran klasik. Dengan
demikian, untuk memudahkan penerapan metode di atas, ia menggunakan
pendekatan sosial-kultural-historis dalam segala proses pengkajian dan
penemuan hukum Islam.
TM. Hasbi Ash Shiddieqy
dalam menggunakan metode istinbath
hukumnya telah memposisikan al-Qur'an sebagai basis awal dalam menentukan
hukum terhadap suatu peristiwa yang muncul di masyarakat. Jika al-Qur'an
tidak menunjukkan aspek hukumnya secara tegas, maka Hasbi menggunakan Hadits
sebagai sumber hukum yang kedua. Demikian pula manakala al-Qur'an dan Hadits tidak memberi petunjuk secara qat’i, maka Hasbi menggunakan ijma’, qiyas,
ra’yu dan urf. Ijma’ yaitu kesepakatan para mujtahid umat Islam pada suatu
masa atas sesuatu perkara hukum syara. Qiyas yaitu menghubungkan sesuatu
persoalan yang tidak ada ketentuan hukumnya di dalam nash dengan sesuatu
persoalan yang telah disebutkan oleh nash, karena di antara keduanya terdapat
pertautan (persoalan), illat hukum. Hukum Islam yang berakar pada nas zhanni
yang merupakan wilayah ijtihadi yang produk-produknya kemudian disebut
dengan fiqhi.[10] Tentang
masalah ‘urf, Hasbi menyebutkan, bahwa
karena pentingnya kedudukan adat kebiasaan dalam fikih, maka para fukaha
membahas masalah urf secara teliti.
Sebab urf itu ada yang menyangkut agama di samping hanya sekadar mengatur
tertib hubungan antarmanusia, baik yang berhubungan dengan hukum maupun yang
menyangkut moral.[11]
|
|
D.
|
SIMPULAN
Perjalanan intelektualitas Hasbi cukup mengesankan.
Misal, dia bisa menulis banyak buku. Atau, dia bisa menduduki jabatan sebagai
Guru Besar dan membimbing banyak sarjana. Bersama prestasinya yang lain,
Hasbi layak untuk disebut pemikir besar. Hal itu menjadi mungkin terjadi
karena kepakarannya. Padahal, kita tahu, dia tak tamat SD dan berasal dari
kota yang sangat kecil. Tapi, semangat belajar yang dipunyainyalah yang
membedakannya dengan rata-rata orang.
Hasbi telah membuat sejarah. Buku-buku yang
diwariskannya, akan membuatnya ‘kekal’ lantaran buku-buku itu InsyaAllah masih akan
terus dicari dan dibaca sampai ke berbagai generasi sesudahnya. Pikiran-pikiran Hasbi dalam menetapkan suatu
hukum berpijak pada prinsip mashlahah mursalah, keadilan, kemanfaatan, serta
sadd-u ‘l-zarî‘ah, pikiran pikiran tersebut masih akan terus dikaji oleh berbagai kalangan dan
dengan berbagai media. Hasbi
masih ‘hidup’ bersama kita dan terus memberi banyak inspirasi. Misal,
“Sekalipun berasal dari kota kecil dan dengan sarana terbatas serta
lingkungan yang kerap tak bersahabat, kita tetap berpeluang menjadi ‘orang
besar’ berkontribusi untuk sebesar-besar kemaslahatan umat manusia”.
|
||
E.
|
SARAN
Berdasarkan
berbagai uraian di atas, maka penulis memberikan saran kepada para generasi
islam bahwa prospek penerapan hukum Islam di Indonesia cukup cerah, oleh
karena itu bagi generasi islam terbuka lebar untuk menerapkan dan
mengembangkan hukum islam di Indonnesia.
Hal
tersebut
didasarkan pada berbagai kenyataan positif, antara lain :
|
||
|
1.
|
Berbagai kebijakan dan kebijaksanaan
pemerintah selaku penyelenggara Negara yang memberi peluang bagi berperannya
hukum Islam.
|
|
|
2.
|
Telah
terwujudnya berbagai peraturan dan perundang-undangan yang membuat hukum
Islam menjadi lebih eksis sebagai sub system dalam system hukum nasional.
|
|
|
3.
|
Adanya upaya yang
cukup maksimal dari kalangan umat Islam dan pakar hukum Islam melalui dakwah
dan pendidikan, sehingga selain dapat lebih meningkatkan kualitas iman juga
kesadaran untuk melaksanakan hukum secara maksimal.
|
|
|
Sekian semoga
bermanfaat bagi semuanya, jazakumullah khairul jaza.
|
||
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Kuwait: Dar
al-Qalam, 1978) ;
Ali Syafie, Fungsi Hukum Islam dalam
Kehidupan Ummat, dalam Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam ;
Amrullah Ahmad, SF. Dkk., Dimensi
Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta: Gema Insani Press, 1966) ;
Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat
Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988, cet III),
Juhaya S. Praja, Hukum Islam di
Indonesia ;
Muhammad Abdul Ghani al-Bayiqani, al-Madkhal
Ila Ushul al-Fiqh al-Maliki, Beurit Libanon: Dar Ribnan Littiba’ah wa al-Nasyr, 1968 ;
Nouruzzaman Shiddieqy, Jeram-Jeram
Peradaban Muslim (Cet. I: Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996) ;
TM. Hasbi Ash
Shiddieqy, Koleksi Hadits-Hadits Hukum, jilid I, Jakarta: PT
Magenta Bhakti Guna, 1994 ;
|
. .
[1] Amrullah Ahmad, SF. Dkk., Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum
Nasional (Jakarta: Gema Insani Press, 1966), h. ix
[2] Hukum Islam merupakan koleksi daya upaya para fuqaha dalam
menerapkan syariat Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Lihat Hasbi
Ash-Shiddieqy, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988, cet
III), h. 44
[3] Syariat mempunyai dua pengertian: umum dan khusus. Secara umum,
mencakup keseluruhan tata kehidupan dan Islam termasuk pengetahuan tentang
ketuhanan. Dalam pengertian khusus, ketetapan yang dihasilkan dari pemahaman
seorang muslim yang memenuhi syarat tertentu tentang al-Qur'an dan sunnah
dengan menggunakan metode tertentu (Ushul Fiqhi), Lihat: Juhaya S.
Praja, Hukum Islam di Indonesia…, h. vii
[4] Fiqih adalah hukum syara' yang bersifat praktis diperoleh melalui
dalil-dalil yang terinci. Lihat: Abd. Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqhi,
(Kuwait: Dar al-Qalam, 1978), h. 11
[7] Ali Syafie, Fungsi Hukum Islam dalam Kehidupan Ummat, dalam
Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam …, h. 93
[8]
TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Koleksi Hadits-Hadits Hukum,
jilid I, Jakarta: PT Magenta Bhakti Guna, 1994, hlm. 192
[10]
Muhammad Abdul Ghani
al-Bayiqani, al-Madkhal Ila Ushul al-Fiqh al-Maliki, Beurit Libanon: Dar Ribnan Littiba’ah
wa al-Nasyr, 1968, hlm. 107.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar