PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM
KONTEKS SOSIOLOGI HUKUM
Oleh : Hj. Awaliatun Nikmah, S.Ag
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Penegakan hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan
hukum, maka sudah semestinya seluruh energi dikerahkan agar hukum mampu bekerja
untuk mewujudkan nilai-nilai moral dalam hukum. Kegagalan dalam hukum untuk
mewujudkan nilai hukum tersebut merupakan ancaman bahaya akan bangkrutnya hukum
yang ada. Hukum yang miskin implementasi terhadap nilai-nilai moral akan
berjarak serta terisolasi dari masyarakatnya. Keberhasilan penegakan hukum akan
menentukan serta menjadi barometer legitimasi hukum ditengah-tengah realitas
sosialnya.[1]
Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia secara
konsisten dan berksinambungan adalah kunci utama untuk memberantas
koruptor-koruptor yang telah merugikan negara. Namun ditengah perjalanan dalam
membarantas korupsi, lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapatkan
berbagai rintangan dan halangan salah satunya berupa upaya mengkriminalisasi
beberapa pimpinan KPK, namun counter attack yang dilakukan oleh
koruptor-koruptor untuk melemahkan gerakan KPK harus kandas ditengah jalan
karena mendapatkan dukungan yang luar biasa dari masyarakat, sehingga kasus
kriminalisasi pimpinan KPK terpaksa dihentikan dengan alasan Sosiologis.
Upaya
lainnya untuk menyelamatkan lembaga KPK dari praktek kriminalisasi adalah
dengan menggunakan hak pengesampingan perkara (depooner) oleh Jaksa
Agung melalui mekanisme Pasal 35 huruf c Undang-Undang Kejaksaan RI yang
berbunyi : “ Jaksa agung mempunyai wewenang mengesampingkan perkara demi
kepentingan umum”. Hal ini merupakan asas oppurtunitas Jaksa Agung untuk
tidak melakukan penuntutan suatu perkara pidana demi kepentingan umum.
Suatu pemahaman serta pengkajian
secara sosiologis terhadap hukum, termasuk penegakannya, merupakan suatu
kebutuhan yang minta dipenuhi untuk saat-saat seperti sekarang ini. Yang
dimaksud “saat-saat seperti sekarang” ini adalah masa suatu masyarakat, dalam
hal ini Indonesia, tengah mengalami perubahan-perubahan, suatu kurun zaman yang
ditandai oleh perubahan sosial.[2]
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
pandangan aliran sosiologi terhadap hukum ?
2. Bagaimana
pandangan sosiologi hukum terhadap pemberantasan korupsi ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pandangan Aliran Sosiologi Terhadap Hukum
Aliran ini dipelopori oleh Hammaker, Eugen Erlich
dan Max Weber. Menurut aliran sosiologi, hukum merupakan hasil interaksi sosial
dalam masyarakat. Hukum adalah gejala masyarakat, karenanya perkembangan hukum
(timbulnya, berubahnya dan lenyapnya) sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Perkambangan hukum merupakan kaca dari perkembangan masyarakat.[3]
Oleh sebab itu menurut aliran sosiologis, hukum
bukanlah norma-norma atau peraturan-peraturan yang memaksa orang berkelakuan
menurut tata tertib yang ada dalam masyarakat, tetapi kebiasaan-kebiasaan orang
dalam pergaulannya dengan orang lain, yang menjelma dalam perbuatan atau
perilakunya di masyarakat. Hammaker, yang meletakkan dasar sosiologi hukum di
Belanda menyatakan, hukum itu bukan suatu himpunan norma-norma, bukan himpunan
peraturan-peraturan yang memaksa orang berkelakuan menurut tata tertib
masyarakat, tetapi suatu himpunan peraturan-peraturan yang menunjuk ‘kebiasaan’
orang dalam pergaulannya dengan orang lain didalam masyarakat itu.[4]
Menurut Soekanto, aliran Sosiological
Jurispridence yang dipelopori oleh Eugen Erlich (1826-1922) yang berasal
dari Asutria, bukunya yang terkenal “Fundamental Principle of The Sociology
of Law”. Erlich mengatakan bahwa ajarannya adalah berpokok pada perbedaan
antara hukum positif (kaidah-kaidah hukum) dengan hukum yang hidup di
masyarakat. Erlich juga mengatakan bahwa pusat perkembangan dari hukum bukanlah
terletak pada badan-badan legislatif, keputusan-keputusan badan yudikatif atau
ilmu hukum, tetapi senyatanya adalah justru terletak di dalam masyarakat itu
sendiri. Kemudian dalam hal tata tertib di masyarakat dilaksanakan pada
peraturan-peraturan yang dipaksakan oleh negara.[5]
Tokoh penting lainnya ialah Roscoe Pound (1870-1964),
yang berasal dari Amerika mengemukakan bahwa hukum itu harus dilihat atau
dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi dalam rangka
memenuhi akan kebutuhan sosial, serta tugas ilmu hukumlah untuk mengembangkan
suatu kerangka kebutuhan-kebutuhan sosial dapat terpenuhi secara maksimal. [6]
Pound juga membedakan dalam mempelajari hukum, ada
hukum sebagai suatu proses yang hidup di masyarakat
(law in action) dan ada hukum yang tertulis (law in the books).
Ajaran pound ini bukanlah satu atau sebagian hukum saja tetapi semua bidang
hukum baik subtantif maupun ajektif. Sehingga hukum tersebut apakah sudah
sesuai dengan yang senyatanya. Malah Pound menambahkan kajian sosiologi hukum
itu sampai kepada putusan dan pelaksanaan pengadilan, serta antara isi suatu
peraturan dengan efek-efek nyatanya.[7]
Leon Duguity terkenal dengan konsepsi ‘Solidaritas
Sosial’ menyatakan bahwa berlakunya
hukum itu sebagai suatu realita, ia diperlukan oleh manusia yang hidup bersama
dalam masyarakat. Hukum tidak tergantung pada kehendak penguasa, tetapi
bergantung kepada kenyataan sosial. Berlakunya hukum berdasarkan solidaritas
dari para anggota masyarakat untuk menaatinya. Suatu peraturan adalah hukum
apabila mendapat dukungan dari masyarakat secara efektif. Menurut Duguity,
pembentuk undang-undang tidak menciptakan hukum, tetapi hanya
mentransformasikan saja hukum yang hidup dalam masyarakat menjadi suatu bentuk
yang bersifat teknis yuridis.[8]
B.
Pandangan Sosiologi Hukum Terhadap Pemberantasan Korupsi
Dalam literatur sosiologi
lazim disebutkan bahwa tindakan korupsi sedikitnya melibatkan empat komponen
penting yaitu: birokrat, politisi, pelaku bisnis, dan masyarakat. Mereka melakukan tindakan terencana dan
sistematis memindahkan harta publik (milik rakyat) menjadi harta privat. Mereka juga memanfaatkan harta publik untuk
kepentingan pribadi, baik dengan memfaatkan kelemahan regulasi maupun dengan
melanggar peraturan-peraturan yang berlaku.
Jaringan sosial yang mereka beragam, bergantung pada asal inisiatif
korupsi (inisiatif siapa), pihak-pihak yang ditempatkan sebagai perantara, dan
mekanisme yang dipergunakan untuk memindahakan atau memanfaatkan harta publik
yang dikorupsi.
Korupsi adalah suatu perbuatan yang sudah lama
dikenal di dunia dan di Indonesia. Syed H. Alatas yang pernah meneliti korupsi
sejak Perang Dunia Kedua menyebutkan, esensi korupsi adalah melalui penipuan
dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan. Beliau membagi korupsi ke dalam
tujuh macam, yaitu korupsi transaksi, memeras, investif, perkerabatan, defensif,
otogenik dan dukungan. Indonesia berusaha untuk memberantas korupsi sejak
1950-an dengan mendirikan berbagai lembaga pemberantas korupsi, terakhir Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) suatu “ superbody ” dengan kewenangan istimewa.
Peraturan perundang-undangan
merupakan wujud dari politik hukum institusi Negara dirancang dan disahkan
sebagai undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Secara parsial,
dapat disimpulkan meskipun pemerintah dan bangsa Indonesia serius melawan dan
memberantas tindak pidana korupsi di negeri ini, namun demikian masih tebang pilih, begitu kira-kira pendapat
beberapa praktisi dan pengamat hukum terhadap gerak pemerintah dalam menangani
kasus korupsi akhir-akhir ini.
Suap
terjadi hampir di semua aspek kehidupan dan dilakukan oleh seluruh lapisan
masyarakat. Banyak yang belum memahami bahwa suap, baik memberi maupun
menerima, termasuk tindak korupsi. Suap dianggap sebagai bentuk primitif dan
induk korupsi. Suap adalah awal lahirnya budaya koruptif dalam skala luas yang
terjadi saat ini.
Contoh
paling sederhana di masyarakat kita adalah bila seseorang ingin membuat KTP
dalam waktu satu hari langsung jadi padahal ketentuanya satu minggu, seseorang
yang akan membuat KTP itu memberikan uang tambahan/tips kepada pegawai kecamatan
agar KTP itu jadinya satu hari.
Realitas di sekitar kita, program pengaspalan jalan oleh pemerintah
berupa pemberian aspal gratis yang harus diambil oleh RT/RW ke kantor
setempat, tetapi ketika hendak diambil, maka jangan ditanya kalau RT\RW diminta untuk mengisi blanko kuetansi kosong dengan pesan :” kalau tidak bersedia
mengisi ya, tidak dapat aspal gratis, kalau sudah diteken silahkan ambil
aspalnya “. Selain itu sering kita mendengar berita di media ketika musim
pendaftaran anak sekolah SD, SMP, SMU, yang di cap sekolah Favorit malah kita
sendiri yang menyediakan uang ekstra agar anak kita dapat diterima.
setempat, tetapi ketika hendak diambil, maka jangan ditanya kalau RT\RW diminta untuk mengisi blanko kuetansi kosong dengan pesan :” kalau tidak bersedia
mengisi ya, tidak dapat aspal gratis, kalau sudah diteken silahkan ambil
aspalnya “. Selain itu sering kita mendengar berita di media ketika musim
pendaftaran anak sekolah SD, SMP, SMU, yang di cap sekolah Favorit malah kita
sendiri yang menyediakan uang ekstra agar anak kita dapat diterima.
Dari
contoh dan realitas diatas suap memakai bahasa lain yang bukan terang- terangan
mengatakan ini adalah suap hanya “membantu”. Sebenarnya membantu ini adalah hal
yang lumrah tapi disalah gunakan demi kepentingan yang lain dan akhirnya justru
disalahgunakan demi keuntungan pribadi dan saling menguntungkan antara pemberi
dan penerima.
Banyak pengamat menengarai bahwa besaran korupsi dan
jumlah koruptor di negara-negara berkembang sejajar dengan besaran dana dan
jumlah lembaga donor yang masuk ke negara-negara tersebut. Artinya kehadiran lembaga donor sesungguhnya
ikut menyuburkan korupsi, terutama ketika lembaga-lembaga peradilan tidak
memiliki kapasitas dan integritas yang kuat dalam mencegah dan memberantas
tindakan korupsi. Di Indonesia sendiri
korupsi merebak subur sekali ketika dana dari lembaga-lembaga donor (baik
berupa ibah atau bunga berbunga lunak) mengucur deras di negeri ini, terutama ketika
rejim Orde Baru membuka kran lebar bagi kehadiran investasi.
Siasat dikembangkan oleh agen-agen lembaga donor
dalam melakukan konspirasi dengan birokrat dan politisi bisa beragam. Agen-agen lembaga donor bisa mendorong
birokrat dan politisi membentuk sistem yang lazim disebut two parallel
hierarchies. Dalam sistem ini birokrat dan politisi menempatkan diri sebagi
patron, mereka melakukan korupsi melalui client-nya masing-masing, yaitu
pengusaha/pelaku bisnis (sebagai client birokrat) dan konsultan/profesional
(sebagai client politisi).
Agen-agen lembaga donor tersebut juga bisa memerankan broker, terutama
ketika persekongkolan antara birokrat, politisi, dan kelompok kepentingan
dinilai tidak efektif. Tetapi tujuannya
sama yaitu bagaimana agar baik birokrat maupun politisi memberi kemudahan
(fasilitas) kepada lembaga-lembaga donor melalui keputusan politik.
Apabila analisis jaringan seperti digambarkan dalam
diagram-diagram tersebut dipergunakan untuk mengurai tindakan korupsi, maka
sedikitnya ada tiga pelajaran yang dapat kita petik. Pertama, para koruptor melembagakan codes bahwa korupsi bisa dilakukan
dengan cara menyesuaikan diri dengan prosedur administratif yang berlaku. Dengan kata lain korupsi tidak harus
dilakukan dengan cara melanggar ketentuan atau rambu-rambu yang berlaku. Mereka bisa membangun siasat canggih,
sehingga acapkali sulit dibuktikan secara hukum. Mereka cerdas beradaptasi pada pelbagai
bentuk aturan hukum yang berlaku. Kedua, mereka mengembangkan prinsip saling
untung atau sama-sama diuntungkan.
Artinya semua pihak yang terlibat dalam tindakan korupsi sama-sama dapat
menikmati uang rakyat yang berhasil dikantongi.
Keuntungan tersebut dibagi berdasarkan peran atau kontribusi yang
diberikan untuk meneguk hasil korupsi.
Ketiga, mereka melembagakan sikap dan tindakan yang saling
mengunci. Artinya semua pihak yang
terlibat mengembangkan code untuk
tidak saling membocorkan hasil korupsi.
Karena itu mudah dipahami apabila banyak koruptor setelah di pengadilan
berhasil dari segala bentuk jeratan, karena pihak-pihak yang terlibat segera
menghilangkan barang bukti.
Kerap dinyatakan bahwa salah satu kunci sukses upaya
pemberantasan korupsi adalah partisipasi masyarakat. Peran masyarakat dirasakan semakin berarti
kita disadari bahwa pengawasan melekat dan pengawasan fungsional ditengarai
tidak berjalan seperti diharapkan.
Pemerintah memang telah menyusun pelbagai macam sistem atau prosedur,
supaya uang rakyat tidak mudah dipindahkan atau dimanfaatkan untuk kepentingan
pribadi. Namun dalam kenyataannya
beragam peraturan yang melekat dalam sistem atau prosedur tersebut berhasil
disiasati sedemikian rupa, sehingga mereka masih dapat melakukan tindakan
korupsi. Pemerintah memang telah
mempunyai lembaga-lembaga yang mampu melakukan fungsi kontrol. Tetapi dalam kenyataannya acapkali kalah
dengan kiat-kiat yang dibangun oleh koruptor.
Pertanyaannya kemudian adalah seberapa efektif
pengawasan masyarakat digerakkan untuk menekan tindakan korupsi ? Tidak mudah menjawab pertanyaan ini, terutama
karena masyarakat sendiri terbelah kedalam beberapa kategori. Kategori pertama adalah anggota masyarakat
yang masa bodoh terhadap pelbagai tindakan korupsi. Mereka mengembangkan sikap dan tindakan yang
dapat digolongkan sebagai fatalistik, artinya tidak peduli pada segala bentuk
tindakan korupsi. Mereka tahu bahwa
tindakan korupsi ada di mana-mana, atau dilakukan dalam semua level
pemerintahan. Mereka sadar bahwa dampak
korupsi sangat buruk baik kehidupan mereka.
Mengerti mengerti bahwa tindakan korupsi bisa menghancurkan
sendiri-sendi kehidupan ekonomi, politik, dan kultural. Tetapi mereka merasa tidak bisa berbuat
banyak. Pemberantasan korupsi kemudian
mereka taruh dan pertaruhkan kepada pihak-pihak berwewenang seperti kepolisian,
lembaga pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan.
Kategori kedua adalah anggota masyarakat yang
melakukan perlawanan secara radikal, dalam arti mengerahkan kekuatan yang
dimiliki untuk melawan pelbagai bentuk korupsi.
Dari segi kelembagaan, perlawanan itu bisa dilakukan dengan membentuk
lembaga-lembaga baru yang memang didirikan untuk memberantas korupsi. Perlawanan itu juga bisa dilakukan dengan
memanfaatkan lembaga yang sudah ada.
Dari segi program, perlawanan itu bisa dilakukan dengan menggerakan
pelbagai elemen masyarakat untuk secara kolektif menekan birokrat, politisi,
dan kalangan bisnis supaya tidak melakukan konspirasi yang merugikan
negara. Perlawanan itu bisa juga
dilakukan dengan cara melakukan intervensi perencanaan dan implementasikan
kebijakan dan program pembangunan supaya tidak ikut larut dalam skenario para
koruptor.
Kategori ketiga
adalah anggota masyarakat yang menawarkan alternatif-alternatif untuk
pemberantasan korupsi. Kalangan ini pada
prinsipnya sebenarnya juga melakukan perlawanan terhadap tindakan korupsi,
tetapi tidak dilakukannya secara radikal.
Kegiatan utama kalangan ini adalah melakukan pendidikan anti korupsi,
antara lain melalui workshop, seminar, menyebarkan leaflet, mengadakan dialog
di media massa dan sejenisnya.
Kegiatan-kegiatan tersebut ditujukan kepada semua kalangan, seperti
birokrat, politisi, konsultan, profesional, dan politisi supaya lebih memahami
akar, proses, dan dampak negatif tindakan korupsi.
Kalangan yang selama ini terlihat pasrah, atau tidak
melakukan perlawanan dan tidak menawarkan alternatif dalam kegiatan
pemberantasan korupsi, memiliki alasan yang beragam. Pertama, mereka yang tidak lagi semangat anti
korupsi karena memang tidak memiliki kemauan atau motivisi, bisa karena tidak
tahu bagaimana melawan korupsi, atau bisa karena tidak tahu, dan bisa juga
karena tidak mampu bersikap, bertindak, dan menciptakan gerakan anti
korupsi. Mereka merasa berhadapan dengan
“tembok tebal” yang rasanya tidak mungkin lagi dijebol. Kedua, mereka yang sebenarnya pernah melakukan
perlawanan terhadap tindakan korupsi, atau pernah menawarkan
alternatif-alternatif aksi anti korupsi.
Tetapi mereka kalah (gagal), lalu terpinggirkan, bahkan sebagian hidup
dalam suasana panik. Baik kalangan yang
pasrah (fatalistik) karena tidak memiliki kemauan, ketahuan, dan kemampuan
maupun kalangan pasrah (fatalistik) karena kalah, marginal, dan hidup dalam
kepanikan, sebenarnya hidup dalam suasana yang disana hampir tidak ada
security, safety, dan certainty. Karena
mereka tidak berdaya, maka diperkirakan kalangan inilah yang selama ini
melembagakan mitos bahwa korupsi adalah bagian dari budaya. Dalam benak mereka korupsi tidak mungkin
dihapus karena menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan hidup dan kehidupan. Korupsi dianggap sebagai tabiat yang lazim
melekat dalam pelbagai aktivitas sosial.
Dalam masyarakat kini
ditengarai sedang terjadi tarik menarik antara kalangan yang pasrah, atau tidak
melakukan perlawanan dan tidak menawarkan alternatif dalam kegiatan
pemberantasan korupsi, dengan kalangan yang melakukan perlawanan dan yang
menawarkan alternatif-alternatif untuk pemberantasan korupsi. Kalangan yang disebutkan terakhir ini nampak
melewati jalan terjal. Perjuangan mereka
melewati hadangan yang amat berat, yang dibangun diatas konspirasi (birokrat,
politisi, pelaku bisnis, konsultan).
Bolehjadi sebagian mereka kini sudah frustasi karena merasa segala jurus
yang dibangun dan dikembangkan tidak mempan menembus sasaran. Sementara itu, kalangan yang pasrah, kini
semakin memperoleh pembenar, terutama ketika masyarakat kita masih didera
kemiskinan atau kesenjangan, integritas dan kapasitas lembaga peradilan yang
masih rendah, dan sanksi hukum yang diberikan kepada koruptor masih dinilai
ringan.
UPAYA MEMBERANTAS KORUPSI :
1.
Percepatan
pemberlakuan ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK" ;
2.
Penegakan
hukum yg tegas dan konsisten dengan sanksi berat kepada pelaku korupsi (hukuman
mati) ;
3.
Meningkatkan
komitmen, konsisten dengan sanksi berat kepada pelaku korupsi ;
4.
Menata
kembali organisasi, memperjelas, transparansi, mempertegas tugas dan fungsi yg
diemban oleh setiap instansi ;
5.
Menyempurnakan
sistem ketatalaksanaan meliputi: perumusan kebijakan (agar tidak terjadi
penyalahgunaan kebijakan), perencanaan penganggaran, pelaksanaan, pelaporan dan
evaluasi pertanggungjawaban kinerja serta Kualitas Pelayanan masyarakat ;
6.
Memperbaiki
manajemen kepegawaian ;
7.
Mengembangkan
budaya kerja/tertib/malu melakukan KKN ;
8.
Meningkatkan
transparansi, akuntabilitas dan pelayanan prima.
Wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi :
1.
Mengkoordinasikan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi ;
2.
Menetapkan
sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi ;
3.
Meminta
informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi
yang terkait ;
4.
Melaksanakan
dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi ;
5.
Meminta
laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi ;
6.
Berani
menindak pelaku korupsi yang melarikan diri ke negara lain.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Hukum dan
masyarakat merupakan sebuah entitas yang tidak dapat dipisahkan. Hukum lahir
dari adanya interaksi antar masyarakat dan masyarakat dalam menjalani
kehidupannya sangat memerlukan hukum agar terciptanya kedamaian dan ketertiban.
Norma-norma yang hidup ditengah masyarakat mengkristal dalam wujud hukum, hukum
yang dinamis dan multi dimensi yang bisa menjawab semua permasalahan yang ada
ditengah masyarakat oleh karena itu aliran sosiologis berpendapat bahwa hukum
adalah hasil interaksi masyarakat. Untuk
itu hukum harus mencerminkan tentang nilai-nilai yang hidup ditengah-tengah
masyarakat.
Esensinya hukum dan masyarakat adalah dua hal yang
tidak dapat dipisahkan. Dengan adanya putusan ini menjadi bukti bahwa keadilan
menurut hukum berbeda dengan keadilan yang hidup ditengah masyarakat. Untuk itu
diperlukan perubahan menuju kepada hukum yang lebih mencerminkan keadilan
ditengah masyarakat.
Dari teori yang telah kami sajikan, dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut :
- Korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan
(uang negara atau perusahaaan) dan sebagainya untuk keuntungan pribadi
atau orang lain serta selalu mengandung unsur “penyelewengan” atau dishonest (ketidakjujuran).
- Korupsi di Indonsia dimulai sejak era Orde Lama
sekitar tahun 1960-an bahkan sangat mungkin pada tahun-tahun sebelumnya.
Korupsi di Indonesia semakin banyak sejak akhir 1997 saat negara mengalami
krisis politik, sosial, kepemim-pinan dan kepercayaan yang pada akhirnya
menjadi krisis multidimensi.
- Rakyat kecil umumnya bersikap apatis dan acuh tak
acuh. Kelompok mahasiswa sering menanggapi permasalahan korupsi dengan
emosi dan demonstrasi.
- Fenomena umum yang biasanya terjadi di Indonesia
ialah selalu muncul kelom-pok sosial baru yang ingin berpolitik, namun
sebenarnya banyak di antara mereka yang tidak mampu. Mereka hanya ingin
memuaskan ambisi dan kepentingan pri-badinya dengan dalih “kepentingan
rakyat”.
- Peran serta pemerintah dalam pemberantasan korupsi
ditunjukkan dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan aparat hukum
lain. KPK yang ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk mengatasi,
menanggulangi dan memberantas korup-si.
- Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dlam
memberantas tindak korupsi di Indonesia, antara lain :upaya
pencegahan (preventif), upaya penindakan (kuratif), upaya edukasi
masyarakat/mahasiswa dan upaya edukasi LSM (Lembaga Swada-ya Masyarakat).
DAFTAR PUSTAKA
Anthon F. Susanto, Ilmu hukum
Non Sistemik Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, Genta
Publishing, Yogyakarta, 2010
Bambang Widodo Umar, Paradigma
Sosiologi Hukum, Jakarta, 2010
Eddy Os Hiariej, Staf Pengajar
Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM dalam “Quo Vadis” Kasus Bibit-Chandra? Opini Harian Kompas, 28 April 2010
Muhammad Siddiq Tgk. Armia, Perkembangan
Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 2008
Laporan dan rekomendasi Tim
Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum Atas Kasus Chandra M Hamzah dan
Bibit Samad Rianto
Satjipto Rahardjo, Penegakan
Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009
Soetandyo Wignjosoebroto, Dari
Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional, Rajawali Pres, Jakarta, 1993
[1]
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta
Publishing, Yogyakarta, 2009, Hal. viii
[3] Muhammad Siddiq
Tgk. Armia, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Pradnya Paramita,
Jakarta, 2008, Hal. 9
[4]
Ibid, Hal. 10
[5] Sabian Usman, Dasar-Dasar
Sosiologi Hukum, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2009. Hal. 155
[6]
Ibid
[7]
Ibid, Hal. 157
[8] Op. Cit. Muhammad Siddiq Tgk. Armia,
hal. 10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar