METODE PENETAPAN HUKUM ISLAM BERDASARKAN
IJTIHAD
Oleh : Hj. Awaliatun Nikmah, S.Ag.,M.H.
|
||||
I.
|
PENDAHULUAN
Semua umat Islam sepakat bahwa
sumber hukum Islam yang pertama adalah Al-Quran. Adapun sumber hukum yang kedua
adalah As-Sunnah yang merupakan penjelasan yang tersurat ataupun tersirat
dari kehidupan Rasulullah. Kedua dasar dan sumber hukum ini saling kait dan
terikat. Apa yang ada di dalam Al-Quran adalah sumber awal yang melegitimasi
segala hukum sesudahnya.
Dalam perjalanan sejarahnya, hukum
Islam menjadi suatu kekuatan yang dinamis dan kreatif. Hal ini dapat dilihat
dari instruksi Nabi kepada para sahabat dalam menghadapi realitas sosiologis
umat pada waktu itu. Dalam melakukan ijtihad, para sahabat waktu itu tidak
mengalami problem metodologis apa pun karena bila mendapatkan kesulitan dalam
menyimpulkan hukum, mereka dapat langsung berkonsultasi dengan Nabi. Pada
masa ini ijtihad masih sangat terbatas terutama pada masalah-masalah
keperdataan.
Keadaan demikian tiba-tiba berubah
setelah Rasulullah wafat. Sejak itu para sahabat mulai dihadapkan pada
masalah-masalah baru dan krusial terutama tentang siapa yang pantas
menggantikan Nabi untuk memimpin umat dan kasus-kasus lain yang belum
mendapatkan legalitas syara’. Satu-satunya pilihan bagi para sahabat adalah
melakukan ijtihad dengan berpedoman kepada Al-Quran, hadis, dan
tindakan-tindakan normatif Nabi yang pernah mereka saksikan.
Hukum Islam sebagai suatu pranata
sosial memiliki dua fungsi, pertama sebagai kontrol sosial dan kedua sebagai
nilai baru dalam proses perubahan social. Jika yang pertama Hukum Islam
ditempatkan sebagai blue print atau cetak biru Tuhan yang
selain sebagai control social juga sekaligus sebagai social
engineering (rekayasa sosial) terhadap keberadaan suatu komunitas masyarakat.
Sementara
yang kedua Hukum Islam merupakan produk sejarah yang dalam batas-batas
tertentu diletakan sebagai justifikasi terhadap tuntutan perubahan sosial
budaya dan politik. Oleh karena itu dalam konteks ini, Hukum Islam dituntut
akomodatif terhadap persoalan umat tanpa kehilangan prinsip-prinsip dasarnya.
Karena itu apabila para pemikir tidak memiliki kesanggupan atau keberanian
untuk mereformasi dan mengantisipasi setiap persoalan yang muncul dalam
masyarakat dan mencari penyelesaian hukumnya, maka Hukum Islam akan
kehilangan aktualisasinya.[1]
Perubahan
keadaan dan situasi membawa perubahan dalam cara berfikir dan berubah pada
cara menginterpretasikan kehendak Tuhan dalam memformulasikan dalam peraturan
hukum kehendak Tuhan tentang tingkah laku manusia meliputi semua bidang
kehidupan baik yang berhubungan antara manusia dengan Tuhan disebut ibadah,
maupun yang menyangkut hubungan manusia dengan manusia yang disebut hukum
muamalah.
Adapun
bidang ibadah terutama yang hanya menyangkut hubungan pribadi dengan Tuhan
maka tidak ada perubahan pemikiran tentang itu karena semuanya didasarkan
atas suatu dogma yang tidak dimasuki oleh akal manusia yang disebut syariah merupakan al-Nushush muqoddasah (nash
yang suci) yang bersifat ta’abbudi dan ghairu ta’aqul ma’na.
Reformasi
atau pembaharuan dimulai oleh interpretasi teks kehendak Tuhan. Interpretasi
hanya berlaku terhadap ayat Tuhan yang tidak qoth’i penunjukannya
terhadap hukum dan diturunkan dalam bentuk tidak terurai. Tentang sunnah
interpretasi akan berlaku terhadap sunnah yang autensitasnya diragukan
. Begitu pula terhadap sunnah yang sudah diakui autensitasnya tetapi
penunjukannya terhadap hukum belum tegas.[2]
Dari
penjelasan diatas terdapat dua produk hukum Islam yaitu pertama, Hukum Islam produk
wahyu yang disebut syariah dan bersifat qoth’i ( al- Nushush
muqoddasah) nash yang suci tidak terdapat campur tangan akal manusia (ghairu
ta’aqul ma’na) yang berlaku universal. Sedangkan kedua yaitu Hukum
Islam produk akal yang disebut fiqih bersifat dhanni (dugaan) ta’aqul
ma’na (dapat dilacak secara rasional) yang
berlaku kondisional. Fiqh merupakan hukum Islam produk akal yang
kondisional sebagai refleksi produk sejarah
kemanusiaan yang tidak bisa diberlakukan secara
universal. Sifat yang demikian itulah maka hukum Islam dari hasil produk akal
ini selalu dapat diperbaharui sesuai tingkat kemajuan dan perkembangan zaman.[3] Dari
sini pembaharuan Islam mutlak adanya .
Berangkat dari latar belakang tersebut diangkat makalah ini dengan judul,
“Metode Penetapan hukum Islam Berdasarkan Ijtihad”.
|
|||
II.
|
PERMASALAHAN
Dari beberapa pernyataan diatas, maka penulis dapat memetakan
berbagai permasalahan sebagai berikut :
|
|||
|
a.
|
Bagaimana pengertian dan dasar hukum ijtihad?
|
||
|
b.
|
Bagaimana perkembangan ijtihad ?
|
||
|
c.
|
Bagaimana ruang lingkup dan syarat-syarat ijtihad?
|
||
|
d.
|
Sejauh mana hukum dan Mmasa berlaku ijtihad ?
|
||
|
e.
|
Bagaimana dalil-dalil ijtihadi?
|
||
|
f.
|
Macam-macam ijtihad ?
|
||
III.
|
PEMBAHASAN
|
|||
|
A.
|
Pengertian dan Dasar Hukum
Ijtihad
Ijtihad secara bahasa terambil dari kata al-Jahdu dan al-Juhd yang
artinya kekuatan, kemampuan, usaha sungguh-sungguh, kesukaran, kuasa dan daya
ijtihad.[4] Dalam
arti luas adalah mengarahkan segala kemampuan dan usaha untuk mencapai
sesuatu yang diharapkan.[5] Seakar
dengan kata ijtihad adalah jihad dan mujahadah. Dimana ketiga term tersebut
pada intinya adalah mencurahkan segenap daya dan kemampuan dalam rangka
menegakan agama Allah meski lapangannya berbeda. Ijtihad lebih bersifat upaya
sunguh-sungguh yang dilakukan seseorang yang telah memenuhi persyaratan
dengan penalaran dan akalnya dalam rangka mencari dan menemukan hukum yang tidak ditegaskan secara jelas dalam al Qur’an maupun hadits dan
orang yang melakukan hal tersebut dikenal dengan sebutan mujtahid. Jihad
titik tekannya adalah upaya sungguh-sungguh dengan fisik dan materil dalam
menegakan kalimah Allah dengan cara-cara dan bentuk- bentuk yang tidak
terbatas dan orangnya dikenal dengan mujtahid. Sedangkan mujahadah menitikberatkan pada upaya sungguh-sungguh dengan hati dalam melawan dorongan hawa nafsu
agar mau tunduk melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi
laranganNya. Orang yang melakukan hal tersebut seringkali disebut salik atau murid.
Oleh karena itu, tidak setiap hasil ijtihad dapat dijadikan sumbangan
dalam pembaharuan hukum Islam dan mendapatkan legitimasi dari para pakar
hukum Islam kecuali apabila memperhatikan dua hal pokok tersebut di atas
yaitu, pertama, Pelaku pembaharuan Hukum Islam adalah orang yang
memenuhi kualitas sebagai mujtahid,
kedua , Pembaharuan itu dilakukan di tempat-tempat
ijtihad yang dibenarkan oleh syara.[6]
A. Dzajuli menyebutkan ada tiga macam cara yang dapat dilakukan dalam
berijtihad, yaitu : Pertama, dengan memperhatikan kaidah-kaidah bahasa (linguistik). Kedua, dengan menggunakan kaidah qiyas (analogi)
dengan memperhatikan asal, cabang, hukum asal dan illat hukum. Ketiga,
dengan memperhatikan semangat ajaran Islam atau roh syari'ah. Oleh karena
itu, dalam hal ini, kaidah-kaidah kulliyah Ushul Fiqh, kaidah-kaidah kulliyyah
fiqhiyyah, prinsip-prinsip umum hukum Islam dan dalil-dalil kulli sangat
menentukan. Dalam hal ini bisa menempuh cara-cara istishlah,
istishab, maslahah mursalah, sadz dzari'ah, istihsan dan sebagainya.[7]
Para ulama mendefinisikan ijthad sebagai usaha dan upaya sungguh-sungguh
seseorang (beberapa orang) ulama yang memiliki syarat-syarat tertentu untuk
merumuskan kepastian atau penilaian hukum mengenai sesuatu (atau beberapa)
perkara yang tidak terdapat kepastian hukumnya secara eksplisit dan tegas
baik dalam al Qur’an maupun dalam al hadits. Di dalam
al qur’an banyak ayat yag mendesak menggunakan pikiran dan mengharuskan
mengambil i’tibar, seperti firman Allah surat al Hasyr ayat 23.
uqèd ª!$#
Ï%©!$# Iw
tm»s9Î) wÎ)
uqèd
à7Î=yJø9$#
â¨rà)ø9$# ãN»n=¡¡9$#
ß`ÏB÷sßJø9$#
ÚÆÏJøygßJø9$#
âÍyèø9$# â$¬6yfø9$# çÉi9x6tGßJø9$# 4 z`»ysö6ß «!$#
$£Jtã cqà2Îô³ç ÇËÌÈ
“ Dialah
Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, yang Maha Suci, yang Maha Sejahtera,
yang Mengaruniakan Keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha perkasa, yang
Maha Kuasa, yang memiliki segala Keagungan, Maha suci Allah dari apa yang
mereka persekutukan”.
Selain itu, ada juga ayat
yang secara terbuka menyatakan pengakuanya terhadap prinsip ijtihad dengan
menggunakan metode qiyas, seperti surat al Nisa’ ayat 105.
!$¯RÎ) !$uZø9tRr& y7øs9Î)
|=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ zNä3óstGÏ9
tû÷üt/
Ĩ$¨Z9$#
!$oÿÏ3
y71ur& ª!$#
4 wur
`ä3s? tûüÏZͬ!$yù=Ïj9
$VJÅÁyz
ÇÊÉÎÈ
“ Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah
wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak
bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat”.
Ayat ini dan beberapa ayat berikutnya diturunkan
berhubungan dengan pencurian yang dilakukan Thu'mah dan ia menyembunyikan barang
curian itu di rumah seorang Yahudi. Thu'mah tidak mengakui perbuatannya itu
malah menuduh bahwa yang mencuri barang itu orang Yahudi. hal ini diajukan
oleh kerabat-kerabat Thu'mah kepada Nabi s.a.w. dan mereka meminta agar Nabi
membela Thu'mah dan menghukum orang-orang Yahudi, Kendatipun mereka tahu
bahwa yang mencuri barang itu ialah Thu'mah, Nabi sendiri Hampir-hampir
membenarkan tuduhan Thu'mah dan kerabatnya itu terhadap orang Yahudi.
Kata “ aroka Allahu “ pada ayat diatas mencakup
penetapan hukum berdasarkan nash dan yang berdasarkan proses penetapan hukum
dari hukum yang ditetapkan langsung dari nash.
|
||
|
B.
|
Perkembangan Ijtihad
Telah menjadi bagian dari kasih Allah bahwa Allah
tidak akan membiarkan hamba-Nya dalam keadaan sia-sia. Sifat dan kasih Allah
itu terinfestasi pada dikirimkannya Rosul yang menyampaikan kabar gembira dan
peringatan karena rahmat-Nya kepada manusia. Allah mengakhiri rangkaian
kerosulan dengan Nabi SAW dan nabi berijtihad dalam banyak masalah keduniaan
dan keagamaan. Jika ijtihad Rosul sesuai dengan kehendak Allah maka wahyu
turun untuk menguatkanya dan jika tidak maka wahyupun datang menjelaskan cara
yang benar dalam masalah tersebut. Diantara ijtihad beliau adalah keizinan
beliau bagi orang yag mengajukan alasan dan tertingggal dalam perang tabuk
dan Allah menjelaskan yang benar kepada nabi dengan firman-Nya yaitu surat al
Taubah 44.
w
çRÉø«tFó¡o
tûïÏ%©!$# cqãZÏB÷sã «!$$Î/
ÏQöquø9$#ur
ÌÅzFy$#
br& (#rßÎg»yfã
óOÎgÏ9ºuqøBr'Î/ öNÍkŦàÿRr&ur 3 ª!$#ur
7OÎ=tæ tûüÉ)GßJø9$$Î/ ÇÍÍÈ
“ orang-orang
yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, tidak akan meminta izin kepadamu
untuk tidak ikut berjihad dengan harta dan diri mereka. dan Allah mengetahui
orang-orang yang bertakwa”.
Ketika wilayah Islam menjadi semakin luas karena
terjadinya penaklukan daerah baru, maka muncullah kasus-kasus dan peristiwa
baru yang tidak ada nash yang menjelaskan ketentuan hukumnya namun memerlukan
penyelesaian. Metode mereka dalam menyelesaikan masalah yang tidak ada
nashnya adalah pertama mereka mencari jawaban dari kitab Allah, jika tidak
menemukan jawaban maka mereka mencari dalam sunnah Rosul. Dan jika tetap
tidak berhasil maka mereka mengumpulkan orang muhajirin dan anshor yang ahli
dalam menggunakan ra’yi serta terpercaya. Apabila mereka sependapat mengenai
sesuatu maka pendapat itu ditetapkan sebagai keputusan hukum yang sah. Tetapi
ijma’ seperti ini tidak berlangsung lama. Mereka akhirnya terpisah-pisah dan
menyebar setelah memperluas wilayah taklukan khususnya setelah wafatnya Umar
ra. Berbagai peperangan dan wilayah tempat tinggal mereka telah memperjauh
jarak antara mereka dengan lingkungan mereka menjadi berbeda-beda. Mereka
sering berhadapan dengan peristiwa hukum yang tidak ada penjelasanya dalam al
qur’an dan hadis. Hal demikian memaksa mereka untuk membandingkanya dengan
sebahagian ketetapan hukum syari’at yang telah dikenal serta mencari
ketetapan hukumnya melalui ijtihad terutama menyangkut dengan perbedaan
pendapat yang bersumber dari dalil-dalil.
Ijtihad para sahabat bukanlah hanya
sekedar keinginan tanpa pertimbangan, melainkan merupakan hasil dari sebuah
nalar yaitu mewujudkan maslahat dan menghindari mafsadat. Setelah sahabat
datanglah masa tabi’in. Mereka ini belajar fiqih kepada sahabat sampai
selesai, mereka ikuti dasar-dasar dan cara-cara sahabat dalam
beristidlal. Disamping itu pula para tabi’in juga mempelajari dalam bidang
apa saja para sahabat memelihara maslahat. Mereka juga berbeda pendapat
mengenai memelihara dan mempertimbangkan maslahat tersebut. Ijtihad pada masa
tabi’it tabi’in adalah ijtihad mutlak yaitu ijtihad yang didasarkan pada
nalar dan pembahasan serta berusaha keras untuk menemukan sisi kebenaran
tanpa terikan pada pendapat seorang mujtahid lainnya kecuali pendapat itu
merupakan pendapoat seorang sahabat yang diduga bersumber dari sunnah Rosul.
Metode pertama dipimpin oleh imam abu Hanifah.
Penggunaan ra’yu yang begitu besar itu adalah disebabkan karena kota Irak
belum lama mengalami kemajuan dalam bidang budaya dan oleh karena itu pula
Irak dilanda erbagai persoalan rumit serta kasus yang banyak yang memaksa
mereka untuk menguasai seluk beluk ijtihad secara mendalam sesuai dengan
kelas kasusnya.
Metode kedua dipimpin oleh Imam Malik.
Metode ini lebih banyak berpegang pada sunnah secara khusus, amal penduduk
madinah menghindari penggunaan ra’yi secara umum. hal itu sebagaimana
disebutkan oleh ibnu Kholdun, adalah disebabkan karena kehidupan disana lebih
cenderung pada corak keprimitifan dengan pengertian bahwa penduduknya
sederhana seklai kehidupannya, mirip dengan kehidupan Rosul.
|
||
|
C.
|
Ruang Lingkup dan Syarat Ijtihad
Dalam
memberi batasan bagi ruang lingkup ijtihad, al Amidi mengatakan, “ Bidang
yang dapat diijtihadi adalah hukum-hukum syara’ yang dalilnya bersifat dzanni.
Maksud dari dalil dzanni adalah untuk membedakan dari hukum-hukum yang
dalilnya bersifat qoth’i (pasti), Seperti sholat lima waktu, sholat lima
waktu bukan merupakan bidang ijtihad karena orang yang keliru dalam sholat
dipandang berdosa, sedangkan masalah-masalah ijtihadiyah itu adalah masalah
dimana orang yang keliru dalam ijtihadnya tidak berdosa “.
Kemudian untuk berijtihad,
peristiwa yang dihadapi haruslah peristiwa yang hukumnya tidak terdapat dalam
nash. Dan berdasarkan ini, maka ruang lingkup ijtihad dapat menampung
kegiatan panggilan hukum bagi peristiwa hukum baru pada saat tidak
terdapatnya nash. Hal itu dilakukan dengan jalan berpegang pada tanda-tanda
yang telah dipancangkan sebagai petunjuk bagi hukum, seperti qiyas.
Sahnya ijtihad itu terletak pada diketahuinya dasar-dasar syari’at serta enam syarat dibawah ini :
Mujtahid harus mengetahui
bahasa arab, yaitu pengetahuan bahasa dan i’rob, mengetahui secara menyeluruh
mengenai hakekat dan majaz, mengetahui secara menyeluruh mengenai percakapan
yang menyangkut perintah, larangan, umum, khusus, mutlaq, muqoyyad, dalil
kitab dan sebagainya.
Ia harus mengetahui dari
kitab Allah segala yang berkaitan dengan berbagai ketentuan berupa umum dan
khusus, mufassar dan mujmal, nasikh dan mansukh, serta dapat menggunakan
dzahir dan mujmal tepat pada apa yang dimaksud oleh suatu ayat, dapat
menggunakan nash tepat pada tujuan penggunaan nash.
Ia juga harus seorang yang
tsiqot dan dipercaya dan tidak memandang mudah terhadap masalah-masalah
agama.
Mengetahui kandungan
sunnah berupa ketentuan hukum yang meliputi:
|
||
|
|
1.
|
Mengetahui tentang thuruq
sebuah hadis yaitu mengenai mutawatir dan ahad.
|
|
|
|
2.
|
Mengetahui para perowi
hadis dan kesalehan perawinya.
|
|
|
|
3.
|
Menguasai lafal-lafal yang
bebas dari ihtimal dan lafal-lafal yang dimasuki ihtimal.
|
|
|
|
4.
|
Mengetahui perkataan
sahabat dan tabi’in tentang berbagai hukum serta sebagian besar fatwa fuqoha.
|
|
|
|
5.
|
Mengetahui
qiyas, dasar-dasar yang boleh dicari illatnya serta sifat yang boleh
dijadikan dan yang tidak boleh dijadikan illat-nya, serta mengetahui
kaidah-kaidah pentarjihan beberapa dalil.
|
|
|
D.
|
Hukum dan Masa Berlaku Ijtihad
Ijtihad menjadi wajib ’ain
apabila seorang mujtahid dihadapkan kepada peristiwa baru dan ia tidak
mengetahui hukumnya, atau apabila ia ditanyakan mengenai suatu peristiwa yang
terjadi dan tidak ada mujtahid lain selain dia. Kewajiban dimaksud harus
dilaksanakan secepatnya jika khawatir akan berlalunya perisiwa tersebut tanpa
menurut jalur yang dikehendaki syara’.
Ijtihad menjadi wajib
kifayah jika disuatu negeri terdapat lebih dari seorang mujtahid dan tidak
khawatir akan berlalunya peristiwa hukum. Apabila sebagian mujtahid telah
menentukan hukumnya maka tuntutan untuk berijtihad pada yang lainya menjadi
gugur. Dan jika mereka tidak bersedia berfatwa padahal mereka mampu memberi
jawabanya maka seluruhya dosa.
Ijtihad menjadi sunnah
dengan melihat peristiwa-peristiwa yang belum pernah terjadi tetapi boleh
jadi ia terjadi dalam waktu dekat.
Ijtihad menjadi haram
apabila ia bertentangan dengan nash al qur’an dan hadis ataupun ijma’ ulama’.
Mengenai masa belakunya
ijtihad, Apakah ijtihad itu telah terputus? jawaban yang benar yang didukung
oleh dalil-dalil aqli dan naqli ialah bahwa ijthad itu akan tetap ada sampai
terjadinya kiamat besar. ia tidak boleh terputus. Salah satu alasanya adalah
sabda Rosul :
“ Akan tetap ada
segolongan dari umatku yang berjuang menegakkan yang hak, mereka tidak dapat
dibinasakan oleh orang yang ingin mengalahkan mereka sampai kiamat “
Memperjuangkan yang hak
tak mungkin berhasil tanpa ilmu, dan tak ada ilmu tanpa ijtihad. Disamping
itu jikalau masa itu hampa mujtahid, maka pasti terjadi kesepakatan antara penduduk
atas suatu kesesatan, padahal kesepakatan terhadap kesesatan adalah dosa.
|
||
|
E.
|
Dalil-dalil Ijtihadi
|
||
|
|
1.
|
Ijma’
Ijma’
menurut bahasa arab berarti kesepakatan atau sependapat dengan suatu hal,
menurut istilah ijma’ adalah kesepakatan semua mujtahidin di antara umat
islam pada suatu masa setelah kewafatan Rasulullah SAW, atas hukum syar’i
mengenai suatu kejadian / kasus.
Syarat terbentuknya ijma’ menurut syara’ ada empat :
|
|
|
|
|
a.
|
Adanya sebilangan para
mujtahid pada waktu terjadinya suatu peristiwa, karena kesepakatan itu tidak
dapat dicapai kecuali dengan beberapa pendapat, yang masing-masing
diantaranya sesuai dengan lainnya.
|
|
|
|
b.
|
Adanya kesepakatan
semua mujtahid umat islam atas suatu hukum syara’ mengenai suatu peristiwa
pada waktu terjadinya, tanpa memandang negeri mereka, kebangsaanya atau
kelompoknya.
|
|
|
|
c.
|
adanya kesepakatan mereka itu dangen
menampilkan pendapat masing-masing mereka secara jelas mengenai suatu
kejadian, baik penampilan itu berupa ucapan atau perbuatan atau penampilan
pendapat menjatuhkan secara menyendiri.
|
|
|
|
d.
|
dapat direalisir kesepakatan dari semua
mujtahid atas suatu hukum.
|
|
|
|
Ijma’ dapat dijadikan sebagai dasar hukum atau dipastikan kehujjahannya
sesuai dengan friman Allah SWT yang terdapat pada surat An-Nisa ayat 59
yaitu:
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#þqãYtB#uä
(#qãèÏÛr& ©!$#
(#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$#
Í<'ré&ur
ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx«
çnrãsù
n<Î)
«!$# ÉAqߧ9$#ur
bÎ)
÷LäêYä.
tbqãZÏB÷sè?
«!$$Î/ ÏQöquø9$#ur
ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºs ×öyz
ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ
“ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” .
Lafal Amri artinya
ialah hal atau keadaan, dan ia umum, yang meliputi hal-hal duniawi. Dan Ulil
Amri duniawi ialah para raja, pemimpin dan penguasa. Sedangkan ulil amri
agamawi ialah para mujtahid dan ahli fatwa agama (hukum). Sebagai contoh adalah setelah rosul
meninggal diperlukan pengangkatan pengganti beliau yang disebut dengan
khalifah. maka kaum muslimin pada waktu itu sepakat mengangkat Abu Bakar
sebagai kholifah pertama. Sekalipun pada mulanya ada yang tidak setuju dengan
pengangkatan beliau, namun
pada akhirnya semua kaum muslimin menyetujuinya
|
|
|
|
2.
|
Qiyas
Qiyas menurut bahasa berarti menyamakan ,
membandingkan atau mengukur seperti menyamakan si A dengan si B karena
keduanya memiliki tinggi yang sama, wajah yang sama dan berat yang sama.
Secara istilah qias adalah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa
yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkan dengan suatu kejadian
yang telah ditetapakan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan
illat/sifat diantara kejadian atau peristiwa itu. Ketika mujtahid akan
mengetahui hukum suatu kejadian tentu ia akan meneliti apakah dalam Al Quran
terdapat nash (teks) yang menjelaskan hukumnya? Jika tidak ada, ia meneliti
apakah dalam Sunnah terdapat nash (teks) yang menjelaskan hukumnya? Jika tidak
ada, ia meneliti apakah terdapat ijma’ yang telah menetapkan hukumnya? Jika
tidak ada, ia meneliti apakah ia dapat menetapkan hukumnya dengan qiyas. Arti
qiyas ialah memberlakukan hukum yang sudah berlaku sebelumnya pada kejadian
baru yang belum jelas hukumnya. Qiyas ini dapat diterapkan apabila antara
kejadian yang lama dan yang baru terdapat persamaan dari segi illat (sebab
timbul hukumnya).[8] Contoh : narkotika diqiaskan dengan meminum
khamar.
|
|
|
|
3.
|
Istihsan
Menurut
bahasa artinya menganggap baik sesuatu, sedangkan menurut istilah Ulama Ushul
ialah berpindahnya seorang mujtahid dari tuntunan Qiyas jail kedapa Qiyas
Khafi. Atau dari hukum kulli kepada hukum
pengecualian, karena ada dalil yang menyebabkan mencela akalnya, dan
dimenangkan baginya perpindahan ini. Jadi apabila terjadi sesuatu
kejadian dan tidak terdapat nash mengenai hukumnya, maka untuk
membicarakan hal itu ada dua segi yang bertentangan, yaitu : Pertama : segi nyata yang menghendaki suatu hokum. Kedua : segi tersembunyi yang menghendaki hukum lain
Dan pada mujtahid sendiri
sudah terdapat dalil yang memenangkan segi pandangan secra tersembunyi, maka
perpindahan dari segi pandangan yang nyata inilah yang menurut syara’ disebut
dengan istihsan.
Para Ulama yang
menggunakan hujjah istihsan, ialah kebanyakan Ulama Hanafiyah. Dalil mereka
atas kehujjahannya yaitu bahwasanya mengambil dalil dengan istihsan itu
hanyalah istidlal dengan Qiyas khafi yang menang atas Qiyas jail dengan dalil
yang menuntut kemenangannya, atau istidlal dengan maslahah mursalah (kepentingan umum) atas pengecualian bagian hukum kulli.
Semua ini adalah istidlal yang sahih.
Terdapat sebuah kelompok
mujtahid yang menentang istihsan dan menggapnya sebagai istinbat hukum syara
dengan kemauan hawa nafsu dan rasa enak. Pimpinan kelompok ini adalah Imam
Syafi’I, hal mana telah dinukil dari padanya, bahwa ia berkata : “siapa
melakukan istihsan berarti ia telah membentuk syari’at. Artinya orang
tersebut memulai hukum syari’at dirinya sendiri.
Contoh : Syari’
melarang jual beli benda yang ada atau mengadakan akad pada sesuatu yang
tidak ada. Namun ia memberi kemurahan secara istihsan pada pemesanan, sewa
menyewa, muzaro’ah, mukhobaroh dll. Semuanya itu adalah akad sedangkan sesuatu
yang diakadkan tidak ada pada waktu akad berlangsung. Segi istihsannya adalah
kebutuhan manusia dan kebiasaan mereka.
|
|
|
|
4.
|
Maslahah mursalah
Adalah
suatu kemaslahatan dimana syar;i tidak mensyariatkan suatu hukum untuk
merealisir kemaslahatan itu dan tidak ada dalil yang menunjukkan atas
pengakuanya atau pembatalanya. Contoh kemaslahatn
yang karenanya para sahabat mensyariatkan pengadaan penjara, pencetakan mata
uang, penetapan tanah pertanian, memungut pajak. Dalam ilmu Ushululfiqh
dikenal sebuah istilah مصالح مرسلة (mashalih mursalah) atau استصلاح (istishlah). Untuk memahami maksudnya
berikut ini disebutkan tiga contoh
:
|
|
|
|
|
a.
|
Munasib (kemaslahatan) yang diakui
Dalam Islam terdapat hukum-hukum yang ditetapkan untuk melindungi
agama Islam, jiwa manusia, akal manusia, keturunan manusia dan harta kekayaan
manusia.
Misalnya jihad dan hukuman mati atas orang yang murtad diterapkan
untuk melindungi agama Islam. Qishash ditetapkan untuk melndungi jiwa manusia
dari upaya menyakiti dan membunuhnya. Diharamkannya meminum minuman untuk
melindungi akal manusia dari mabuk. Sanksi potong tangan atas pencuri, begitu
juga ganti rugi atas harta yang diambil dengan cara yang tidak sah untuk
melindungi harta manusia dari kesewenang-wenangan orang lain. Diharamkannya
zina untuk melindungi keturunan manusia. Diizinkan tidak puasa Ramadhan bagi
orang musafir dan sakit untuk memberikan kemudahan bagi orang yang musafir
dalam menjalankan ibadah puasa.
Semua
ulama sepakat berpendapat bahwa semua tujuan-tujuan hukum tersebut, yaitu
melindungi agama Islam, jiwa manusia, akal manusia, keturunan manusia dan
harta kekayaan manusia, dapat dijadikan landasan penetapan hukum, karena
penelitian membuktikan bahwa motivasi penetapan hukum-hukum Syariat Islam
adalah untuk merealisasikan kemaslahatan bagi manusia atau menghindarkan
kesulitan bagi manusia.[9]
|
|
|
|
b.
|
Munasib
(kemaslahatan) yang tidak diakui
Rasulullah Muhammad saw menjelaskan sanksi atas orang yang senggama
ketika melakukan puasa Ramadhan ada tiga, yaitu pertama, memerdekakan budak,
jika tidak mampu harus puasa dua bulan berturut-turut, dan jika tidak mampu
juga hendaklah memberi makan 60 orang miskin.
Bolehkah
sanksi tersebut diatur sedemikian rupa untuk disesuaikan dengan pelanggarnya?
Contohnya jika senggama tersebut dilakukan orang kaya tentu ia dapat membayar
sanksi pertama yaitu pembebasan budak dengan mudah, sehingga ia dapat
melakukan senggama beberapa kali. Bolehkah sanksinya ditukar dengan sanksi
yang lebih berat yaitu puasa dua bulan berturut-turut demi mewujudkan kemaslahatan yaitu dapat mencegahnya melakukannya lagi ?
Para ahli fiqh tidak memperbolehkannya, karena terdapat dalil yang
menunjukkan bahwa Allah Ta’ala (Pembuat hukum Islam) tidak mengakui
kemaslahatan tersebut, yaitu teks hadis Rasulullah saw di atas telah
menentukan urutan sanksinya, yaitu pertama ialah membebaskan budak, meskipun
puasa dua bulan mungkin akan lebih mampu mencegah melakukannya karena jauh
lebih berat bagi pelanggarnya.[10]
Contoh lain ialah ketaatan
secara berlebih-lebihan kepada agama Islam. Sikap seperti itu pernah
dilakukan sebagian Sahabat Nabi di masanya, sampai-sampai mereka tidak makan
untuk berpuasa secara terus menerus, tidak kawin, tidak tidur di malam hari
untuk mengerjakan shalat.
Menurut akal, ketaatan
secara berlebih-lebihan kepada agama Islam adalah maslahat (bermanfaat). Akan
tetapi Rasulullah Muhammad saw tidak mau menerimanya. Buktinya sabda
Rasulullah saw kepada mereka :
لا رهبانية فى الاسلام
“Tidak ada sistem
kependetaan dalam Islam.”
Selanjutnya
Rasulullah saw bersabda kepada para Sahabat yang melakukan perbuatan tersebut
:
أما والله إنى لأخشاكم لله وأتقاكم له , لكنى أصوم وأفطر ,
وأصلى وأرقد , وأتزوج النساء , فمن رغب عن سنتى فليس منى (رواه البخارى ومسلم والنسائى)
“Demi Allah, saya lebih takut kepada
Allah dari pada kamu, saya lebih takwa kepada Allah dari pada kamu. Meskipun
demikian saya puasa dan berbuka, shalat, tidur dan kawin dengan perempuan.
Siapa yang tidak suka dengan cara yang saya lakukan berarti ia tidak termasuk
umatku.”
|
|
|
|
c.
|
Munasib (kemaslahatan)
yang tidak diakui dan tidak ditolak
Ada pula munasib yang tidak ditemukan dalil yang menunjukkan bahwa Allah
Ta’ala (Pembuat hukum) mengakuinya atau menolaknya, baik dalil berupa nash
(teks) maupun ijma’ (konsensus) fuqaha’. Artinya
tidak terdapat dalam Syariat Islam sesuatu yang menyetujuinya maupun yang
menolaknya.
Bagian
yang ketiga inilah yang menjadi bidang perbedaan pendapat di kalangan fuqaha’
tentang apakah boleh menjadikannya sebagai ta’lil (faktor) penetapan hukum.
Mazhab
Maliki menyebut bagian ketiga ini dengan مصالح مرسلة (mashalih mursalah). Imam Haramain
dari pendukung mazhab Syafii menyebutnya استدلال (Istidlal). Gazali dari pendukung
mazhab Syafii juga menyebutnya استصلاح (Istishlah). Demikianlah beberapa nama yang diberikan para faqih, namun
hakikatnya satu yaitu munasabah (kemaslahatan) yang tidak ditemukan dalil
yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala (Pembuat hukum) mengakuinya atau
menolaknya.
|
|
|
|
d.
|
Pembagian maslahah yang
tidak diakui dan tidak ditolak
Untuk menentukan sikap, perlu diketahui lebih
dahulu pembagian maslahah (manfaat) yang tidak ditemukan dalil yang
menunjukkan bahwa Allah Ta’ala (Pembuat hukum) mengakuinya atau menolaknya
kepada tiga bagian. Pembagian ini semata-mata
ditinjau dari segi kekuatan maslahah itu sendiri.
Pertama, dharuriyyat, (mesti)
yaitu maslahah (manfaat) yang menjadi landasan kehidupan keagamaan dan dunia
bagi manusia. Artinya, apabila maslahah (manfaat) ini
tidak terwujud, akan menimbulkan ketidakstabilan kehidupan manusia di dunia,
dan selanjutnya akan lenyap pula kebahagiaan hidup di akhirat. Kemaslahatan
yang termasuk dalam kelompok dharuriyyat ada lima, yaitu melindungi
kelestarian agama Islam, jiwa manusia, akal manusia, keturunan manusia dan
harta kekayaan manusia.
Kedua, hajiyyat (penting), yaitu kemaslahatan-kemaslahatan yang bertujuan
mempermudah pelaksanaan hukum Islam. Apabila kemaslahatan yang tergolong hajiyyat (penting) tidak diterapkan, maka
orang-orang Islam akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan hukum-hukum
Islam, meskipun tidak sampai mengganggu kehidupan itu sendiri.
Contohnya dalam bidang
ibadat ialah Syariat Islam menetapkan hukum-hukum yang dapat memberikan
keringanan (rukhshah) seperti memperbolehkan orang yang musafir dan lain-lain
melakukan shalat qashar (menyingkatkan shalat dari empat rakaat menjadi dua
rakaat) dan shalat jamak (menggabungkan waktu pelaksanaan dua shalat dalam
satu waktu, seperti menggabungkan pelaksanaan waktu shalat Zhuhur dan ‘Ashar
pada waktu Zhuhur atau waktu ‘Ashar).
Dalam bidang muamalat, Syariat Islam memperbolehkan bermacam-macam
akad (kontrak), seperti jual beli, sewa menyewaf, upah mengupah, dan
lain-lain. Diperbolehkannya bermacam-macam akad tersebut memberikan kemudahan
kepada masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mereka, meskipun tidak mustahil
dalam akad-akad (kontrak-kontrak) tersebut terkandung hal-hal yang mungkin
akan mengecewakan seperti tipu daya. Namun seandainya akad-akad
(kontrak-kontrak) tersebut dilarang, dengan alasan mungkin akan mengecewakan,
tentu akan menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam masyarakat.
Ketiga, tahsiniyyat (pelengkap), yaitu kemaslahatan-kemaslahatan
yang bertujuan mewujudkan adat kebiasaan yang baik dan terpuji (moral),
seperti bersuci ketika akan melakukan shalat, berpakaian yang baik, memakai
harum-haruman, melarang makan makanan yang kotor, berlaku lemah lembut,
memberikan perlindungan atas wanita dalam melaksanakan perkawinan dengan cara
mewajibkan wali, dan lain sebagainya.
Ketiga
macam maslahah di atas, yaitu dharuriyyat,
hajiyyat dan tahsiniyyat, merupakan titik
tolak bagiprinsip maslahat mursalah. Karena sudah menjadi kepercayaan
bahwa Allah Ta’ala dalam menetapkan hukum-hukum selalu mengindahkan
kemaslahatan manusia. Perhatian Allah Ta’ala tersebut bukan sebagai
kewajiban-Nya, akan tetapi sebagai karunia-Nya kepada manusia.
Atas
dasar kepercayaan tersebut banyak fuqaha’ yang menggunakan maslahah mursalah sebagai salah satu metode penetapan
hukum
|
|
|
5.
|
Urf
Urf menurut bahasa‘Urf
adalah sesuatu yang telah sering dikanal oleh manusia dan telah menjadi
tradisinya, baik berupa ucapan atau perbuatannya dan atau hal meninggalkan
sesuatu juga disebut adat.
‘Urf
itu ada dua macam, yaitu ‘Urf shohih dan ‘Urf fasid. ‘Urf shohih adalah
sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia dan tidak pula beertentangan
dengan syara’. Sedangkan ‘Urf fasdi adalah sesuatu yang telah saling dikelan
oleh manusia tetapi bertentangan dengan syara’.
Hukum
dari ‘Urf shohih adalah harus dipelihara dalam pembentukan hukum dan dalam
pengadilan. Bagi seorang Mujtahid harus memeliharanya dalam waktu membentuk
hukum. Seorang Qhadi juga harus memeliharanya ketika mengadili.
Ulama
berkata, “ Adat itu adalah syari’at yang dikukuhkan sebagai hukum”. Imam
Malik mendasarkan sebagian hukumnya kepada amal perbuatan penduduk Madinah.
Imam Abu Hanifah bersama-sama muridnya berbeda pendapat dalam beberapa hukum
dengan dasar atas perbedaan ‘Urf mereka. Bahkan Imam Syafi’I mengubah
sebagian hukum yang telah menjadi pendapatnya (ketika di Baghdad) ketika
telah berada di Mesir, dikarenakan perbedaan ‘Urf. Contoh : saling
pengertian manusia terhadap jual beli dengan cara saling memberikan tanpa
adanya sighot lafdliyah.
|
|
|
|
6.
|
Istishab
Istishab
menurut bahasa adalah pengakuan adanya perhubungan. secara istilah adalah
menetapkan hukum terhadap sesuatu berdasar keadaan sebelumnya sehingga ada
dalil yang menyebutkan atas perubahan keadaan tersebut. Contoh : Apabila
seoran mujtahid ditanyai tentang hukum sebuah perjanjian dan ia tidak
menemukan jawaban di nash dan tidak pula menemukan dalil syar’i yang
membicarakan hukumnya mala ia memutuskan dengan kebolehan perjanjian tersebut
berdasar kaidah :
ان الاصل فى الا شياء الاء با حه
|
|
|
F.
|
Macam macam Ijtihad
Dari
segi pelaku ijtihad dibagi dua :
|
||
|
|
1.
|
Ijtihad fardi :
yaitu ijtihad yang dilakukan oleh satu orang
|
|
|
|
2.
|
Ijtihad jamai :
yaitu ijtihad yang dilakukan oleh
beberapa orang secara kolektif
|
|
|
|
Dari segi pelaksanaan :
|
||
|
|
1.
|
Ijtihad Intiqai : yaitu
ijtihad untuk memilih salah satu pendapat terkuat diantara beberapa pendapat
yang ada.
|
|
|
|
2.
|
Ijtihad Insyai : yaitu
mengambi konklusi hukum baru terhadap suatu permasalahan yang belum ada
ketetapan hukumnya.
|
|
D.
|
SIMPULAN
Ijtihad merupakan suatu proses penetapan hukum
islam yang berkaitan erat dengan bidang fiqih, bidang hukum yasng berkenaan
dengan amal atau perbuatan. oleh karena itu, menurut ulama fiqih, ijtihad
tidak terdapat dalam ilmu kalam dan tasawuf, karena ijtihad hanya berkenaan
dengan dalil-dalil zhanni, sedangka ilmu kalam menggunakan dalil yasng
qhati’, baik dalam Al-Qur’an mapun Sunnah.
Ijtihad digambarkan ada beberapa persamaan dan perbedaan, adapun yang menjadi
dasar hukum ijtihad ialah Al-Qur’an dan Sunnah.
Hukum ijtihad bagi orang itu bisa wajib ‘ain, wajib kifayat, Sunah atau haram, bergantung
pada kapasitas orang tersebut.
Dewasa ini umat islam dihadapkan kepada sejumlah peristiwa
keinginan yang menyangkut berbagai aspek kehidupan. Melihat
persoalan-persoalan diatas umat islam dituntut untuk keluar dari kemelut itu.
Karena itu ijtihad menjadi sangat penting meskipun tidak bisa dilakukan oleh
setiap orang.
|
|||
DAFTAR PUSTAKA
A. Djazuli, Ilmu Fiqh,Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam,
Jakarta, Kencana, 2005, cet. 3.
Abdul Manan, Reformasi
Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2000.
Ahmad Rofiq, Pembaharuan
Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta, Gema Media, Cet. I , 2001.
Amir Syarifudin, Pembaharuan
Pemikiran dalam hukum Islam, Padang Angkasaraya, cet. 2, 1993.
A.W. Munawwir, Kamus
al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Pustaka Progressif, 1997, cet.25.
Dr. Wahbah Zuhaily, Ushulul Al Fiqh Al
Islamy,
(Damaskus : Dar Al Fikr).
Kaidah fiqh, الاسلام صالح لكل زمان ومكان
Mahmud
Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Hidakarya Agung, Jakarta, 1990, cet.
8.
|
. .
[1]Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum
Islam di Indonesia, Yogyakarta, Gema Media, Cet. I , 2001, hal. 98-99.
[2] Amir
Syarifudin, Pembaharuan Pemikiran dalam hukum Islam, Padang
Angkasaraya, cet. 2, 1993,hal. 110
[4] A.W.
Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Pustaka
Progressif, 1997, cet.25 ,hal. 217; Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia,
Hidakarya Agung, Jakarta, 1990, cet. 8, hal. 92-93.
[5] A. Djazuli, Ilmu Fiqh,Perkembangan dan
Penerapan Hukum Islam, Jakarta, Kencana, 2005, cet. 3, Hal. 71
[6] Abdul
Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, PT. Raja
Grafindo Persada, 2000, hal 162.
[7] A. Djazuli, op.cit,
bandingkan dengan pendapat Ibrahim Husen yang dikutip oleh Abdul Manan,
dalam Reformasi Hukum Islam di Indonesia, hal161-162
[8] Dr. Wahbah Zuhaily, Ushulul
Al Fiqh Al Islamy, (Damaskus : Dar Al Fikr), II, hal. 757
[9] Ibid., hal.
752
[10] Ibid., hal.
753